(Disclaimer: Cerita ini merupakan kisah fiksi belaka. Jika ada penggambaran adegan yang bersifat sensitif, maka hal tersebut hanyalah imajinasi dari pengarang yang bertujuan agar pembaca dapat memahami jalannya cerita, tidak ada maksud dari pengarang untuk mengkampanyekan tindakan serupa, jadi mohon disikapi dengan bijak)
Peringatan! Konten sensitif yang menggambarkan kekerasan terhadap perempuan
![]() |
Ilustrasi/Gambar: AI |
Audrey duduk diam di tepi ranjang kos Brian, gadis itu masih menatap layar ponselnya. Ia baru saja memblokir salah satu teman kuliahnya di Instagram karena Brian yang meminta.
“Dia sering love story kamu,” kata Brian waktu itu. “Kamu pikir aku nggak lihat?”
Audrey tidak menjawab. Ia sudah terlalu lelah berdebat.
Ini bukan kali pertama Brian bersikap demikian. Dua hari lalu, saat ia menjemput Audrey di kampusnya, Brian melihat kalau pacarnya itu tengah mengobrol dengan beberapa kawan laki-laki sambil bersenda gurau. Rupanya hal itu menyulut kemarahan Brian, ia bertanya dengan detail kepada Audrey, siapa nama mereka dan apa yang mereka perbincangkan dengan Audrey?
Audrey menjelaskan kalau mereka hanya mengobrol ringan seputar materi kuliah dan Brian pun terdiam tapi bukan diam yang biasa, diam yang berkelanjutan sampai hari berganti, sampai Audrey merasa sungguh-sungguh didiamkan dan diabaikan.
Banyak hal kecil lainnya yang tak pernah membuktikan kalau Audrey melakukan perselingkuhan tapi tetap saja, Brian harus tahu serinci mungkin tentang kehidupan Audrey saat mereka sedang tidak melakukan aktivitas secara bersamaan.
Brian bukan sosok pemarah. Tapi diamnya bisa lebih mengerikan daripada teriakan. Matanya mengawasi terus, tangannya sering "menggenggam" terlalu kuat. Dan ketika ia cemburu, bukan kata-kata yang keluar—melainkan kontrol dalam bentuk manipulasi yang memojokkan.
Semuanya terjadi tanpa batasan, tanpa alasan.
Audrey jenuh.
Hari itu, Audrey memutuskan untuk mengetes batasannya.
Bukan untuk selingkuh. Tapi..hanya untuk membuka kedok api dalam dada Brian.
***
Selama beberapa hari terakhir, Audrey perhatikan sikap Brian. Semakin sering ia melihat nama “Randy” muncul di ponsel Audrey, semakin berubah tatapan matanya.
Kadang Audrey berpura-pura senyum saat membuka WhatsApp dari “Randy”.
Dan Brian tiba-tiba diam setelah itu, matanya seperti menerawang ke dinding kosong.
Suatu malam, Brian berkata: “Audrey, kamu nggak nyembunyiin apa-apa, kan?”
Audrey yang tahu kalau nyala api sudah lekas membakar dada Brian, langsung menyahut, “Apa maksud kamu?”
Jawab Brian, "Nggak papa, cuma… kamu selalu jujur kan, sama aku?”
Brian tersenyum, tapi jari-jarinya mengepal tangannya sendiri, ia geram.
Audrey mengangguk, namun hatinya berdegup kencang. Rasanya Audrey ingin menyerah, lalu menjauhkan ponsel dari jangkauannya supaya Brian bisa mengecek isi ponsel itu dan menemukan bukti kalau ia tak pernah berselingkuh.
Tapi Audrey mengurungkan niatnya, ia masih ingin melihat reaksi Brian.
Ia yakin kalau sebentar lagi Brian akan merebut lalu mengecek seluruh isi ponselnya dan ternyata...ya! Tidak ada apapun di sana. Ini hanya...seperti sebuah "prank"!
Nantinya, dengan sedikit nada mengejek, Audrey bisa bilang: "Sekarang kamu udah tahu sendiri, kan kalau dugaanmu itu salah?! Prasangkamu terlalu kejam dan akhirnya menyiksa kita berdua! Tolong, hentikan sifat burukmu!"
Hal semacam itu yang Audrey bayangkan akan terjadi.
Audrey tak pernah sadar kalau permainan ini sudah terlampau jauh.
Sangat jauh, hingga terlalu jauh untuk memutar balik.
***
Sampai tiba lah di suatu sore yang gelap, mendung dan berakhir dengan hujan. Audrey datang ke kos Brian dalam keadaan lelah setelah praktikum Biologi seharian. Ia tertidur begitu saja di atas kasurnya Brian, sementara itu tangannya masih menggenggam ponsel.
Brian yang duduk di kursi, melihat layar menyala.
"Randy" menelepon.
Panggilan pertama.
Brian mendekat.
Panggilan kedua. Tangan Brian bergetar dan hampir menyentuh ponsel itu untuk mengangkat panggilan telepon dari si Randy.
Matanya memerah. Nafasnya pendek, naik turun, tak teratur.
Tak ada gambar atau foto profil siapapun yang mampu menjelaskan: Siapakah gerangan sosok cowok yang sering berkomunikasi dengan pacarnya itu? Seganteng apa dia? Seperti apa penampilannya?
Tidak ada! Foto profil panggilan WhatsApp itu kosong.
(Gambar tangan pegang hp)
Hanya ada nama "Randy" yang terpampang di sana dan dia terus menerus menelepon.
Panggilan ketiga.
“Siapa dia, Aud?” bisik Brian dalam hati.
“Beraninya kamu bawa dia ke hidup kita…!”
Brian merebut ponsel Audrey dari tangan Audrey yang masih tertidur dan membanting ponsel itu ke sudut kamar.
Audrey terbangun karena kaget, tapi sebelum sempat berkata sepatah kata, Brian sudah mencengkeram bantal di tangannya dan—
Gelap.
Sunyi.
Mati.
![]() |
Ilustrasi/Gambar: AI |
***
Brian gemetar. Audrey tak bergerak.
“Audrey! Sayang, bangun! Sayang, tolong, bangun!!!”
Ia menepuk wajah manis Audrey, lalu mengguncang-guncang tubuhnya.
“AUDREY!!! YA TUHAN, AUDREY!”
Dia berharap Audrey hanya tertidur atau mungkin pingsan sebentar.
Kini ponsel Brian yang giliran berdering.
Dengan tangan gemetar, Brian meraih ponselnya dari meja.
Nomor tak dikenal. Tapi suara yang ia dengar sangat familiar: “Hallo, Brian. Audrey lagi sama kamu?”
Napas Brian terus naik turun, tak menentu. Ia tahu, itu suaranya siapa?
"Hallo, Brian. Ini Mamanya Audrey."
Ya, tentu saja Brian tahu, siapa itu? Tapi Brian masih belum menjawab.
"Eh, sorry, Tante ganti nomor nih. Audrey lagi sama kamu?"
"Ha...hallo, eh… iya, Tante. Audrey sekarang lagi di...di kos saya. Tapi..tapi dia masih tidur.” suara Brian terbata-bata.
“Oh, ya udah. Tolong bilang ke dia ya, besok Jumat sore, Tante jemput dia di kosnya. Soalnya, malam Minggu ada acara selametan di rumah Budenya. Tolong bilangin ke Audrey ya, Tante udah berkali-kali telepon, tapi handphonenya mati.”
Brian masih gugup, "Oh, i, iya, Tante…" Brian menoleh ke sudut kamar, tempat di mana ia melempar ponsel Audrey sampai ponsel itu mati.
"Mungkin handphonenya Audrey mati karena low bat."
“Oh gitu...tapi tadi sempat masuk kok, barusan aja, belum ada lima menit lalu.”
Dada Brian langsung berdegup lebih kencang lagi.
“Ha…? Barusan?”
Matanya membelalak. Tangannya gemetar. Ia melirik ke tubuh Audrey. Lalu ke ponsel retak di lantai, di sudut kamar.
"Iya, barusan. Ya mungkin, nggak lama setelahnya baru low bat."
“Oh, iya Tante…coba...coba saya cek dulu.” suara Brian hilang perlahan, redam, menelan kepahitan tak tertahankan.
“Oke deh. Tolong di-charge sekalian supaya kalau dia bangun, dia bisa langsung telepon balik.”
Diam.
Brian tak mampu menjawab apapun.
“Brian…?” Suara Mamanya Audrey memanggil Brian tapi hening, tak ada jawaban.
Ponselnya tergelincir dari tangan Brian dan jatuh ke lantai. Ia pun mulai merangkak menuju ke ponsel Audrey.
Perlahan-lahan, Brian menekuk lutut, menggapai ponsel itu dan menyalakannya.
Bisa menyala.
Dengan hati kacau tak terelakkan, Brian mendekati tubuh Audrey yang terbujur kaku tanpa nyawa itu. Tangan Brian gemetar, semakin dekat dangan tubuh Audrey, tubuh Brian makin mati rasa.
Ia tak yakin dengan apa yang telah ia perbuat pada kekasihnya itu.
Ia tak yakin kalau Audrey....
Tangan Brian yang gemetar itu lantas menggapai jari jemari Audrey yang mulai terasa dingin dan menempelkan telunjuk kiri gadis malang tersebut ke tombol power untuk membuka pengunci ponsel.
WhatsApp dibuka.
Kontak bernama ‘Randy’.
Masih sama seperti tadi, foto profilnya kosong tapi ketika chat dibuka...
Wajah Brian perlahan-lahan memucat. Ia bergumam kecil, seperti seseorang yang kehilangan nalar: “Bukan...ini sama sekali bukan…”
“Brian… Brian kamu masih di situ?” Samar-samar masih terdengar suara Mamanya Audrey dari seberang sana yang terpecah lewat speaker ponsel Brian.
![]() |
Ilustrasi/Gambar: AI |
***
Tangan kotor dan jahanam milik Brian menutupi wajahnya sendiri.
Bibir Brian gemetar. Matanya menatap tubuh Audrey yang kaku di ranjang dan sebuah bantal yang tergeletak di lantai, tak jauh dari ranjang itu.
Ia baru sadar: Audrey tahu ini akan terjadi.
Dan sekarang, tidak ada lagi yang bisa diperbaiki.
Dua hari lalu, Audrey memutuskan mengetes batasnya. Ia mengganti nama kontak “Mama” menjadi "Randy".
Di antara isak panik dan suara hujan yang makin deras di luar, Brian hanya bisa menatap kosong ke langit-langit kamar yang terasa semakin menyempit, seakan menelannya hidup-hidup dalam rasa bersalah yang tak akan pernah hilang, selamanya.
![]() |
Ilustrasi/Gambar: AI |
Komentar
Posting Komentar