Langsung ke konten utama

SERINGAI

(Disclaimer: Cerita ini merupakan fiksi belaka yang mengambil latar tempat di dunia nyata. Jika ada kesamaan tokoh dan alur cerita, hal itu merupakan sebuah ketidaksengajaan semata)

Perjalanan pulang dari Jogja menuju ke Purworejo yang biasanya bisa kutempuh dalam waktu maksimal 2 jam, malam ini pasti akan terasa lebih lama. Mungkin karena kondisi mental dan pikiranku yang tidak baik-baik saja. 

Yup...! Hari ini sidang skripsiku gagal! Aku harus mengulang lagi minggu depan.

Siapa yang tidak gentar dengan kenyataan pahit seperti itu? Aku yakin, sekuat apapun mental seseorang, pasti akan merasa terpuruk dan tertekan. Kendati demikian, aku tetap memilih untuk pulang kampung ke Purworejo yang jaraknya 60 km lebih dari kosku di Sleman.

***

Motor Supra tua tahun 2006 milik Bapak membawaku turun dari arah utara di Condong Catur menuju ke barat melewati ring road

Kulirik jam Casio di pergelangan tangan kiriku, menunjukkan pukul 17.40. Bulan Juni yang cerah, langit masih nampak merah merekah tetapi hatiku marah. Dan entah, ini hanya perasaanku yang mentalnya sedang down atau memang karena aku jarang sekali membawa laptopku pulang kampung, tapi tas ransel di punggungku ini rasanya berat sekali, seperti membawa dua ton batu kali.

Sebenarnya itu lebay, kawan! 

Aduh! Kenapa pula aku harus membawa laptop pulang ke rumah? Eh, ya, maksudnya, aku ingin cepat-cepat mengerjakan revisi skripsiku.

Tapi sumpah, berat!!!! Ya Tuhan, ini berat...berat sekali beban hidupku!

Ok, cukup.

Nyaris saja aku menangis di jalan.

Ah, jangan! 

Kata Bapak, pria boleh menangis, tapi sesekali saja dan rasanya, tadi siang sudah cukup air mata yang kuteteskan.

Yang penting aku sudah berusaha. Masih ada kesempatan ujian ulang minggu depan, kini waktunya untuk mengisi ulang energi dan menjernihkan pikiran.

Kulanjutkan perjalanan di atas motor dengan tubuh lemas membungkuk dan mata sedikit mengantuk. 

Pukul 18.05, matahari sudah lenyap sepenuhnya, disambut angin malam yang bergelora.

Lampu motorku menyorot tajam sepanjang ring road utara yang gelap sampai ke daerah Pelem Gurih, Gamping. Terang benderang lampu di persimpangan besar itu dan cahayanya menusuk masuk ke mata melalui kaca helmku, aku pun membuka mata lebar-lebar agar tak hanyut dalam kelelahan, kubuang napas sambil bergumam, "Perjalanan masih panjang."

***

Pukul 18.30, aku tiba di Jalan Jogja-Wates km. 13, area Sedayu, kabupaten Bantul. Tubuhku sudah tegak tapi rasa kantuk justru memuncak, maka kuputuskan untuk menepi di muka warung makan terdekat yang ada di tikungan setelah lampu merah Sedayu. Warung soto itu sudah tutup, aku yang sedikit lapar jadi tidak perlu tergoda untuk mampir makan, hehe.

Masih tetap duduk di atas motor, kuteguk air dari tumbler. Aku tak bermaksud untuk berhenti lama sebab kurang dari satu kilometer lagi, ada pom bensin di kiri jalan, rencananya aku akan mengisi bensin di sana dan melepas kantuk sejenak sambil video call dengan pacarku di Purworejo.

Kutarik napas, mengumpulkan tenaga dan mengatur kedua spion sebelum melanjutkan perjalanan sampai tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara sirine dari kejauhan.

Jalanan sangat sepi, membuat raungan sirine itu menggema syahdu, semakin dekat dan terus mendekat. Lalu bersama terang benderang lampunya yang menyilaukan, muncullah sebuah mobil ambulans berwarna putih yang terlihat di kaca spion kanan motorku. 

Secepat kilat, ambulans itu melewatiku.

Beberapa detik setelahnya, aku bergegas untuk melanjutkan perjalanan. 

***

500 meter kemudian, aku berhenti di pom bensin, seharusnya aku menepi dan beristirahat sejenak, tapi SPBU itu tutup. 

Sial!

Sebenarnya tujuan utamaku ingin mampir di pom bensin itu bukanlah untuk mengisi bahan bakar melainkan lebih kepada ingin beristirahat saja. 

Okey, aku pun bablas dalam kecepatan sedang. 

Tentunya aku hapal dengan jalanan yang menjadi rute rutinku untuk pulang pergi seminggu sekali, dua minggu sekali atau sebulan sekali ini dan dalam jarak kurang dari 3 km lagi, tepatnya saat sudah masuk di area Sentolo, kabupaten Kulon Progo, ada SPBU lain di kanan jalan, aku bisa berhenti di sana, tetapi e eh...lagi lagi! Hambatan lagi!

Baru aja sampai di jembatan Bantar yang menjadi jembatan penghubung antara kabupaten Bantul dan Kulon Progo dengan aliran sungai Progo di bawahnya atau sekitar 1 km sebelum SPBU yang kumaksud tadi, aku melihat kalau di ujung jalan keluar dari jembatan tersebut, macet parah di jalannya yang menanjak.

Sebenarnya, terasa sedikit aneh sebab beberapa kilometer sebelumnya, terutama saat aku berhenti untuk meneguk air, jalanan sangat sepi. Entah dari arah berlawanan maupun dari arahku sendiri, tak ada satu pun kendaraan yang kutemui, kecuali ambulans putih besar dengan sirinenya yang menyanyi kencang sepanjang jalan.

Yang paling menarik perhatian, ambulans yang tadi menyalipku, kini terlihat kesulitan untuk menembus kemacetan. Sirinenya terus bernyanyi, supirnya membunyikan klakson tapi kendaraan lain di depannya tidak ada yang menyingkir untuk memberi jalan.

Wah, aku langsung merasa tertantang untuk memberi bantuan. 

Seperti ada kekuatan lain, mataku yang tadinya loyo, kini melek seketika. 

Kupacu motor tuaku dengan kecepatan 80 km/jam. 

Makin dekat dengan kemacetan, kusalip ambulans itu sembari menekan klakson berulang kali, sekeras mungkin sambil berteriak, "Kasih jalan! Ada ambulans, woy...!

Otomatis, berbagai kendaraan yang menutupi jalan pun langsung menepi dengan cepat dan yessss! Aku sukses membukakan jalan bagi ambulans...!

Alunan sirine terdengar mendayu-dayu sepanjang satu kilometer berikutnya setelah melewati area perumahan warga, sawah dan juga asrama Brimob dengan pom bensin di seberangnya, di mana semestinya aku berhenti untuk beristirahat sambil menelepon pacarku. Tapi, ya sudah, lah, bensinku masih cukup untuk sampai di rumah dan tentunya pacarku tidak perlu dihubungi sekarang pun tidak apa-apa, besok siang aku bisa datang ke rumahnya sebab kami hanya tetangga desa.

Kulajukan motorku menembus berbagai jenis kendaraan yang menepi dengan diikuti oleh ambulans berjenis Elf itu di belakangku dan sirinenya yang terus berkicau pilu. 

Sampai di Jalan Jogja-Wates Km. 18, tepatnya sebelum proyek tol di perempatan Salamrejo, kuturunkan kecepatan motorku sebab ternyata itulah awal dari kemacetan yang menghantui sepanjang hampir empat kilometer. 

Kacau sekali di sana. Sistem buka tutup sudah diberlakukan tapi kendaraan besar seperti truk gandeng, bus dan mobil travel benar-benar menumpuk di barisan depan. Kendaraan lain yang berukuran lebih kecil membunyikan klakson karena truk yang lamban bergerak maju.

Petugas kepolisian dan beberapa warga yang berjaga memberi kode agar aku dan ambulans di belakangku mengambil sisi kiri.

Salah satunya berujar kepadaku, "Ngawal to, Mas?"¹

"Nggih,"² jawabku, singkat.

"Mlebu liwat kene, Mas!"³ Bapak itu meniup peluitnya dan memberi aba-aba pada kendaraan yang masih menumpuk agar menepi sampai mentok di sisi kiri jalan.

Wah, aku merasa tersanjung, padahal, kan aku bukan siapa-siapanya pasien di dalam ambulans tapi karena aku sedikit berjasa dengan membukakan jalan, maka aku mendapat hak istimewa untuk melewati titik utama kemacetan.

Dalam jarak beberapa meter kemudian, aku pun mulai melihat titik terang, apa penyebab kegaduhan itu?

Sambil terus menyetir motorku, perlahan-lahan kusaksikan sisa kecelakaan tragis di mana batang baja raksasa milik sebuah crane dari proyek tol rupanya jatuh dan menimpa bagian depan dari mobil berjenis city car berwarna silver, tepat di lampu merah perempatan Ngelo, kecamatan Salamrejo, masih di wilayah kabupaten Kulon Progo.

Posisi puing baja dari crane yang jatuh di atas mobil itu melintang sampai ke tengah jalan menyebabkan evakuasi berjalan lambat, berujung pada kemacetan panjang. 

Pandanganku tak ingin usai dari mobil naas tersebut, merinding sekali rasanya, spontan saja aku berucap, "Ya Tuhan, mengerikan sekali...!"

Hanya sekilas mata, siapapun yang menyaksikannya langsung bisa menyimpulkan kalau pengemudi city car silver⁴ di dalamnya takkan bisa selamat!!!

Benar-benar ringsek.

***

Anehnya, aku mulai mencium bau..bau yang tidak biasa.

Seperti bau bau amis.

Anyir, mungkin.

Pelan-pelan kuperhatikan pelat nomor dari mobil silver korban kecelakaan itu.

Berpelat AA, sama seperti milikku.

***

Aku dan ambulans sudah melesat cepat, meninggalkan kemacetan parah di belakang kami.

Konsentrasiku sempat hilang selama beberapa menit.

Aku yang tadinya sudah merasa lega karena bisa lolos dari kemacetan sembari menuntun ambulans dengan kedok "pengawalan" seolah-olah aku adalah keluarga atau kerabat pasien yang ada di dalam ambulans, kini justru merasa cemas dan kikuk sendiri setelah melihat kecelakaan mengerikan yang tentu akan meninggalkan luka, selamanya di hati keluarga korban.

Ditambah lagi, bau-bau yang menyengat pertanda banyak darah yang tersirat.

Bau anyir, amis, darah segar.

***

Perjalananku di depan ambulans itu terus berlanjut, semakin kami jauh dari lokasi kecelakaan, lalu lintas pun kembali normal dihiasi redupnya lampu jalan serta sorot-sorot lampu dari berbagai jenis kendaraan. 

Hanya saja...kukira ambulans tadi akan berhenti di rumah sakit terdekat, RS Queen Latifa misalnya. Rupanya tidak, ambulans putih tetap melaju di belakangku setelah kami melewatkan RS Queen Latifa di Jalan Jogja-Wates Km. 21.

Baik, mungkin mereka menuju rumah sakit lainnya di sekitar kota Wates, itu berarti masih lima sampai enam kilometer lagi jaraknya dari sini.

Jiwaku sudah teralihkan dari rasa sedih akibat kegagalan sidang skripsiku hari ini tapi kini aku mulai diliputi perasaan yang lain. Perasaan janggal, tak menentu.

Di atas motor yang melaju 80 km/jam, aku tersadar dari pikiranku yang buyar sambil menengok ke spion kanan motorku dan bertanya-tanya, "Jalanan sudah lengang, tapi kenapa ambulans ini tidak menyalipku? Kemana tujuannya? Kenapa dia memilih untuk tetap di belakangku, ya?"

Sirine terus menerus bergema.

Sorot lampunya menembus kegelapan.

Kok terasa makin gelap di sepanjang jalan?

Ah, mungkin itu hanyalah imbas dari rasa lelahku atau karena aku yang tadi sempat terjebak euforia sesaat karena jadi "pahlawan" bagi sebuah ambulans, sekarang harus kembali ke kehidupanku sendiri dan menyapa orangtuaku di rumah dengan berkata bahwa aku gagal?

Mungkin.

Dari kaca spion motorku, aku berusaha melihat pelat nomornya untuk meyakinkan diriku sendiri apakah ambulans itu berpelat AB atau AA? Maksudnya, jika memang berpelat AA, maka kemungkinan besarnya, ambulans itu menuju ke arah kampung halamanku. Tapi...sorot lampu jauhnya mengacaukan usahaku dan lampu sirine di atasnya yang menyala berputar serta berpendar sangat mengganggu penglihatanku di kaca spion.

Aku tak dapat melihat apa-apa. 

Saking silaunya lampu ambulans, jangankan pelat nomor, supirnya pun tak nampak dalam mataku.

Ya sudah.

Biar lah jika memang supir ambulans itu tak ingin menyalipku.

Anehnya, bau anyir masih tercium.

Sangat dekat.

Sangat sangat dekat.

***

Aku lelah, aku harus beristirahat. Rumahku masih berjarak dua puluh lima kilometer dari sini.

100 meter lagi, di kanan jalan, aku akan melewati sebuah pom bensin, lagi-lagi aku berpikir untuk berhenti di sana tapi supaya terlihat lebih sopan dan beretika di mata supir ambulans serta penumpangnya, maka aku tidak langsung memotong jalan untuk menyeberang ke kanan, tetapi pelan-pelan kuturunkan laju motorku, mengarahkannya ke kiri jalan sambil menyalakan lampu sein.

Itu merupakan bagian dari etika.

Aku pun berhenti, menoleh ke belakang. Sorot lampu jauh ambulans itu masih saja menyilaukan pandanganku. 

Makin lama, ambulans kian dekat, gema sirine pun meraung-raung lebih keras, menusuk gendang telingaku.

Dalam lajunya yang relatif sedang, ambulans itu makin dekat ke arahku.

Dugaanku, supirnya akan memberiku kode "terima kasih" dan "selamat tinggal" melalui suara klakson, sebab memang begitulah umumnya budaya masyarakat kita di jalanan, kan? 

Aku bersiap untuk mengangkat tangan, tanda perpisahan.

Tapi rupanya, tidak demikian.

Aku sedikit heran.

Dalam beberapa detik saja...ambulans putih berjenis Elf itu melintas tepat di depan mataku.

Tapi...mana supirnya???

Di mana supirnya?!

Tubuhku bergidik ngeri, tak percaya dengan apa yang kulihat! Seluruh sarafku terasa mati dan hampa. Mataku terbelalak sampai ingin melonjak keluar dari kelopaknya!

Aku tak dapat melihat supirnya! 

Seluruh kaca mobil ambulans itu bukanlah kaca yang punya intensitas kegelapan tinggi jadi aku berani bersumpah kalau aku tak dapat melihat supirnya!

Sejak kapan supir itu tidak berada di sana? Apa ambulans itu berjalan sendiri tanpa supir? Kenapa aku tidak menyadarinya dari tadi???

Ya Tuhan...

Seluruh tubuhku kaku, ketakutan.

Dan yang lebih menakutkan, tepat saat ambulans itu sudah melewatiku, di kursi belakangnya, nampak wajah seorang gadis muda cantik yang menoleh padaku sambil melambaikan tangan bersama seringai senyumnya yang menyeramkan...!

***

Mataku terbuka sedikit demi sedikit, perlahan-lahan, menatap lurus ke atas, kepada taburan bintang.

Langit bulan Juni terang benderang, .

Riuh ricuh di sekitar, banyak orang membentuk kerumunan, menatapku, terheran-heran.

Aku pun lebih heran, kesalahan apa yang sudah aku lakukan sehingga mereka menatapku demikian?

Akhirnya aku sadar kalau posisi tubuhku setengah terbaring lemas di pinggir jalan. Dua orang pria membantuku untuk duduk tegak.

Sedikit panik, kuraba-raba kedua saku belakang celana jeans serta saku-saku jaketku.

Seorang Bapak lantas berujar, "Tenang, le..iki hp karo dompetmu⁵, tadi langsung kami amankan."

Ia pun menyerahkan ponsel serta dompetku, katanya lagi, "Dicek dulu isinya."

"Matur nuwun⁶, Pak," sahutku sambil menegakkan badan. 

Tanpa mengecek isinya seperti saran si Bapak, aku langsung menyimpan kedua barang pribadiku itu ke kantong tas ranselku yang tergeletak di atas aspal. Yah, malu juga, kan?! Hanya ada dua puluh ribu perak di sana, mana mungkin orang lain akan tega mengambilnya!

Lalu seorang Ibu mendekatiku seraya memberi segelas teh hangat, kuteguk cepat-cepat tanpa banyak bertanya meskipun di sudut hatiku yang paling dalam, aku masih bingung, "Apa yang terjadi pada diriku, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang malang dan gagal ujian skripsi ini?!"

***

Dalam posisi masih terduduk di tepi jalan, selama bermenit-menit aku tetap ngeyel⁷ pada banyak orang di sana dan mengatakan kalau tadi aku sudah berada di sekitar pom bensin yang jaraknya tiga kilometer ke arah selatan.

Agaknya mereka kesal dan menganggapku aneh.

"Nak, kamu dari tadi di sini! Di perempatan lampu merah ini!" Ibu yang memberiku teh hangat itu berkata dengan nada lembut kemudian menunjuk ke traffic light dan jembatan layang di seberangnya. 

Tentu aku tahu persis kalau itu adalah perempatan Ngelo, Salamrejo. 

Terdiam kaku mulutku.

Kemudian Ibu itu menunjuk pria di sebelahnya seraya berkata, "Tadi, saya dan suamiku melihatmu memarkirkan motor di sini kemudian kamu memegang kepalamu dan tiba-tiba kamu terjatuh begitu saja."

Aku tetap diam.

Ibu tadi melanjutkan perkataannya, "Rumah kami di seberang jalan sana. Untung saja jalanan lagi sepi, kalau nggak, tentunya bahaya banget karena kamu tergeletak begitu saja di tepi jalan ini, le..."

Jalanan sepi???

Aku tadi lewat sini, jalanan sama sekali tidak sepi kok...! Macet, bahkan!

Otakku masih berusaha untuk mencerna ini semua dan jelas, aku tidak siap jika dianggap gila.

Kendati mulutku terkunci rapat, telingaku masih dapat mendengar desis-desis dari mulut warga lainnya, seperti, "Wah, beberapa waktu belakangan, kayaknya 'bocah-bocah pelat AA' sering ngantuk dan kelelahan di  sekitar sini."

Ditimpali oleh orang lain, "Iya. Soalnya perjalanan mereka, kan jauh, dari kota Jogja menuju ke Purworejo, Kebumen dan sekitarnya."

Suara yang lain: "Apa mungkin proyek tol ini terlalu mengganggu sehingga mereka yang pulang ngulon⁸, yang sudah terkuras tenaganya di jalan, jadi makin jenuh di area sini ya?"

Bocah-bocah pelat AA? Ya, aku tahu, begitulah cara mereka menyebut kami, perantau dari kota sebelah. Tapi, yang mereka maksud dengan "bocah-bocah pelat AA" sering ngantuk dan kelelahan di dalam kalimat mereka itu, konteksnya apa?

"Le, apa kami perlu menelepon orangtuamu atau kamu ingin beristirahat di rumah kami saja karena ini sudah larut malam? Kamu bisa lanjut pulang besok pagi," Ibu yang memberiku teh hangat itu berujar lagi.

Tak kujawab. Pandanganku kosong.

Riuh ricuh di sekitar terasa terus menggangguku. 

Pikiranku melambung jauh, sangat jauh dari tubuh dan jiwaku sendiri.

Bukannya aku tak menghargai usaha Ibu itu untuk menolongku, tapi demi Tuhan! Aku sendiri masih tak mengerti, apa yang terjadi? Jadi aku masih enggan memberi jawaban.

"Kamu anak mana, to, le?" Pria setengah baya di sebelah Ibu itu bertanya dengan nada tegas. Dia adalah suami dari Ibu yang memberiku teh hangat dan mereka tinggal di seberang jalan.

"Kamu anak mana? Purworejo? Kebumen?" Ulang si Bapak sebab aku masih tak memberi jawaban.

"Purworejo, Pak," aku menjawab, singkat.

"Jangan-jangan bocah ini linglung⁹ ya?" Suara seseorang, entah siapa?

Linglung? Rasanya tidak, aku baik-baik saja. Meskipun sidang skripsiku gagal, tapi aku masih sehat dan waras.

"Wah, bahaya! Suruh dia istirahat saja dulu di rumah warga atau antar saja ke klinik! Mungkin tensinya rendah," Sambung orang yang lain. 

Waduh! Aku tak punya riwayat tensi rendah!

"Iya! Jangan sampai seperti kejadian tempo hari!" suara lainnya lagi!

Memangnya kejadian apa di tempo hari?

"Tapi...gadis malang itu memang lagi apes, sih kayaknya," sambung lainnya lagi.

Apes? Siapa dia?

"Lagi apes atau emang sudah ditarget supaya jadi korban oleh para kontraktor serakah supaya proyek mereka lancar?!"

What the hell?!¹⁰ Apa mereka sedang membicarakan "tumbal proyek"?! 

Tidak, tidak! Ini gila!

"Hussshhh...! Ngawur!" tandas beberapa orang lainnya

"Wes wes, ojo podo gawe spekulasi!¹¹ Kasihan, lho anak ini!" suami dari Ibu yang memberiku teh hangat itu berusaha melindungi mentalku dari tekanan akibat omongan mereka yang meresahkan.

Aku diam, kulirik jam tangan, pukul sepuluh malam. Harusnya sekarang aku sudah tiba di rumah dengan aman.

"Le, sebaiknya sekarang kamu menenangkan diri dan istirahat saja di rumah kami. Nanti saya laporkan identitasmu ke pak RT."

Setelah jenuh mendengar ocehan dari mulut-mulut orang yang punya tujuan untuk menolongku tapi di sisi lain juga sedikit banyak juga menimbulkan kecemasan, akhirnya kuberanikan diri untuk memberi sepenggal kalimat.

Kataku, sambil memegangi kepala, "Pak, maaf merepotkan. Tapi saya sungguh-sungguh masih tidak mengerti, kenapa saya kembali lagi kesini? Seingat saya, tadi saya sudah sampai di pom bensin Sukoreno sambil membukakan jalan untuk sebuah ambulans, tapi kenapa sekarang saya kembali kesini lagi?" 

"Lhoh...untuk hal itu, kami juga tidak tahu. Atau sebaiknya kamu hubungi orangtuamu saja supaya mereka menjemputmu di sini?" tandas Bapak itu, cepat. Agaknya, Bapak ini pun sebenarnya juga menganggapku aneh serta linglung, hanya saja, beliau tidak menunjukkannya secara terang-terangan seperti orang-orang. 

Hanya ia dan istrinya yang masih sabar padaku sambil tetap berjongkok, menunggu keputusanku

Mataku berkeliling pada seluruh wajah yang menatapku sambil mengingat-ingat lagi, kejadian apa yang terakhir kali menimpaku selama perjalanan tadi? 

Sedikit demi sedikit, ingatan itu muncul.

"Pak," ucapku.

"Sudah berapa lama saya pingsan? Soalnya, sekitar jam 7 tadi, saya lewat sini, di sini macet sekali."

Bapak itu mengernyitkan keningnya lalu menoleh pada proyek tol di seberang jalan yang ditutupi oleh seng-seng tinggi. 

Ia pun menjawab, "Sudah tiga hari ini mereka berhenti."

Aku tertegun, bisu.

Suara desas, desus, desis pun kembali terdengar merdu.

"Wes, wes yo..bubar...! Bocah ra jelas¹². Mau ditolong kok malah masih ngeyel!" Ujar seseorang, kesal padaku.

"Ho oh. Bocah iki mendem opo kepiye?! Lha wong dalan iki lancar dari tadi kok!¹³" tandas yang lain.

Benar, kan?! Kini mereka mulai menuduhku gila atau mabok miras.

Satu persatu, orang-orang itu meninggalkanku. Ada yang langsung menyeberang jalan, ada yang menaiki kendaraannya, ada pula yang berlalu begitu saja, membuatku terduduk sepi hanya bersama Bapak dan Ibu pemberi teh hangat yang masih setia menemaniku.

Nampaknya mereka berdua tetap berusaha memberiku ruang yang cukup untuk berpikir.

Lambat laun, kutarik napas lega sebab tubuhku sudah terbebas dari tatapan banyak orang yang membuatku makin tertekan.

Pelan-pelan kedua mataku mulai berkeliling dan tiba-tiba berhenti di satu titik, di tengah jalan. 

Perempatan jalan itu sepi, terlihat proyek tol layang dengan tiang-tiang penyangga raksasa yang masih terbengkalai dan sebuah crane di dekat area yang ditutup oleh dinding semi permanen berbahan seng.

Crane itu...

"Maaf, ya, le kalo orang-orang tadi bicaranya aneh-aneh dan agak ngawur. Maklum, orang desa," kata Ibu pemberi teh hangat.

Padahal aku sendiri juga orang desa, hadehhh.

Telingaku mendengarnya tapi mulutku masih terkatup dan mataku terus fokus ke tengah jalan.

Si Bapak melanjutkan, "Soalnya kami, warga sekitar sini, kami juga masih trauma. Sejak proyek tol itu dimulai sebulan yang lalu, sering sekali terjadi kecelakaan."

Kecelakaan? Ya! Aku ingat kecelakaan itu! Tadi aku melewatinya, di sini! Tepat di area ini. Baghkan kecelakaan itu pula yang menyebabkan kemacetan panjang. Tapi sekarang??? Mana?! Secepat itu, kah semuanya dibereskan?!

"Saking seringnya kecelakaan, warga jadi mengaitkannya dengan hal-hal mistis. Ya, sekali lagi, maklum lah, namanya aja orang desa," tandas si Ibu.

"Iya, padahal, kan memang mungkin secara teknis, area ini terlalu sempit jika harus dibangun tol sebab jembatan layang di bagian barat itu masih difungsikan juga. Istilahnya, lalin jadi crowded gitu, yah...ujung-ujungnya sering terjadi kecelakaan. Kejadiannya macam-macam, entah itu pengendara motor yang tiba-tiba saja terpeselet di tengah jalan, pejalan kaki yang terserempet mobil dan yang terakhir, tiga hari lalu, benar-benar tragis, sampai proyek tol itu harus dihentikan sementara waktu karena keluarga korban yang menuntut keadilan."

Mataku yang tadi tegang, kini menyusut layu. Meskipun begitu, pandanganku tak ingin lepas dari satu titik di tengah jalan sana. 

Sementara itu, kegelapan menjalar makin hitam. Angin dingin musim kemarau menusuk-nusuk punggung serta dadaku.

Sedikit terisak, si Ibu melanjutkan omongan suaminya, "Korban itu seorang anak gadis, le..masih sangat muda, mahasiswa juga, sama sepertimu."

Mataku berkedip, mulai sadar dengan apa yang terjadi. Cepat-cepat, mulutku menyahut, "Dan dia mengendarai sebuah mobil berwarna silver? Pelat mobilnya AA? Sama seperti motor saya?"

Tak dapat kulihat langsung bagaimana reaksi kedua orang itu setelah mendengar perkataanku barusan sebab mataku masih tertuju ke arah lain, ke tengah jalan di mana seorang gadis menari-nari tersorot cahaya purnama di  bulan Juni yang terang benderang.

Sementara itu, Ibu yang memberiku teh hangat tiba-tiba menunjuk ke arah motorku dengan panik. Suaminya lantas turut terkejut setelah menoleh ke motorku yang terparkir dalam jarak sekitar tiga meter saja dari kami bertiga. 

Kudengar dengan jelas perkataan mereka berdua. Lantas kulayangkan pandangan kepada motor supra tua milikku itu. 

Si Ibu: "Ya Gusti...tangki motornya bocor... Ya Allah... Kasihan sekali kamu, nak.."

Si Bapak: "Untung saja kamu tidak melanjutkan perjalananmu... Wes, wes, ini sudah yang terbaik."

Si Ibu: "Iya, untungnya dia berhenti dan tidak sadarkan diri di sini. Memang takdir Tuhan yang menolongmu, nak... Tapi...kenapa tidak ada yang melihatnya dari tadi ya?

Si Bapak: "Mungkin karena kita semua fokus sama kondisi kesehatan anak ini, jadi tidak sempat memperhatikan kondisi motornya."

Samar-samar kulihat titik demi titik bensin menetes dari bagian bawah motorku. Karena motor itu terparkir jauh dari jangkauan cahaya lampu sehingga tak ada yang menyadarinya sejak tadi.

Si Ibu terus mengucapkan kalimat ucapan syukur dan si Bapak menyuruhku menghubungi keluargaku, lalu beliau pun menawariku untuk tidur di rumahnya saja, besok pagi motorku bisa diperbaiki di bengkel terdekat.

Kuangguk-anggukkan kepalaku, tanda setuju dan tak dapat mengucapkan kata-kata yang lain, selain: "matur nuwun". 

Mereka benar, betapa beruntungnya aku!

Jadi itulah alasannya, mengapa selama perjalanan ini, aku tak pernah "diijinkan" untuk berhenti di pom bensin mana pun!

Dengan tegar, kutundukkan kepala, kupejamkan mata sejenak saja agar bisa membenamkan pikiran sedalam-dalamnya dan mencerna seluruh kejadian yang kualami dalam sehari, mulai dari rasa sedih dan kecewaku pada skripsiku sendiri, lalu tentang perjalanan panjang malam ini dan bagaimana aku berulang kali mengurungkan niat untuk mampir di pom bensin, lantas pertemuanku dengan sebuah ambulans yang berakhir dengan keadaan aneh begini. 

Kini seluruh ingatan itu sudah lengkap.

Saat membuka mata perlahan-lahan, kuberanikan diri untuk menyeberangkan mata lagi ke tengah jalan sana.

Gadis bergaun duka itu masih menari-nari indah. Tubuhnya melayang-layang, bersama wangi darah yang sebelumnya pernah tercium juga olehku di dunia yang lain, beberapa jam sebelum ini.

Lalu ia menoleh ke arahku, menyeringai seram, sama persis seperti senyumnya yang sempat kulihat di dalam mobil ambulans.


Keterangan:

Bahasa Jawa dalam cerita ini merupakan dialek bahasa Jawa di daerah Kulon Progo dan sekitarnya

1. "Ngawal to, Mas?" (Bahasa Jawa): "Mengawal ambulans tersebut, ya Mas?" Di masyarakat Jawa, kata "Mas" merupakan panggilan yang lazim digunakan untuk memanggil seseorang meskipun umurnya lebih muda sebagai bentuk rasa sungkan dan hormat

2. "Nggih" (Bahasa Jawa): "Iya" bahasa Jawa dalam tingkatan yang halus/Kromo

3. "Mlebu liwat kene, Mas!" (Bahasa Jawa): "Masuk lewat sebelah sini, Mas!" maksudnya menunjukkan jalan untuk tokoh utama dalam cerita ini

4. City car silver (Istilah/Bahasa asing): istilah "city car" merujuk pada jenis mobil yang dirancang untuk penggunaan perkotaan. Sedangkan "silver" artinya perak. Artinya mobil city car berwarna perak

5. "Tenang, le..iki hp karo dompetmu" (Bahasa Jawa): "Tenang saja, le (thole), ini hp dan dompetmu." Le adalah kependekan dari "thole", artinya sapaan "nak" untuk anak lelaki dalam bahasa Jawa

6. Matur nuwun (Bahasa Jawa): Terima kasih

7. Ngeyel (Bahasa Jawa): Ngotot, bersikeras

8. Ngulon: berasal dari kata "kulon" artinya "barat", dalam konteks kalimat ini, "ngulon" berarti pulang/menuju ke arah barat. Orang Jawa/Jogja menyebutkan arah mata angin untuk menjelaskan satu tujuan dan di Jogja serta sekitarnya, masyarakat biasa menyebut kata "ngulon" bagi mahasiswa/perantau dari Purworejo dan sekitarnya

9. Linglung: bingung, dalam kalimat ini konteksnya merujuk pada bingung yang negatif akibat kehilangan kesadaran

10. "What the hell?! (Istilah asing/Bahasa Inggris): "Apa-apaan?!"

11. "Wes wes, ojo podo gawe spekulasi!" (Bahasa Jawa): "Sudah cukup, jangan berspekulasi lagi!"

12. "Wes, wes yo...bubar! Bocah ra jelas." (Bahasa Jawa): "Udah, lah yuk, bubar saja! Bocak nggak jelas."

13. "Ho oh. Bocah iki mendem opo kepiye?! Lha wong dalan iki lancar dari tadi kok!" (Bahasa Jawa): "Iya, nih. Anak ini mabuk atau kenapa, sih? Jalan ini lancar-lancar saja dari tadi kok!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEBUR

     Ibu sungguh-sungguh terobsesi menjadikanku aktris atau apapun itu yang bisa ditampilkan di televisi. Aku diantarnya ikut audisi demi audisi: menari, bernyanyi, berakting dan apapun itu yang biasa ditampilkan di televisi.      Anak kecil tak pernah tahu tentang tujuan hidupnya, orangtua yang bertugas membimbing anak-anak untuk mencapai cita-cita .      Itu yang selalu Ibu katakan.      Tak pernah sekalipun aku melawan sebab memang cuma Ibu yang mengurusku sendirian.      Hanya saja kelak ketika aku lepas dari masa remaja dan menjadi dewasa, aku tahu kalau terkadang ia tak sedang sungguh-sungguh seperti apa yang ia katakan. ***      “Aku lelah, Bu,” ucapku, memalingkan muka.      “ Casting ini untuk pemeran pendukung perempuan.”      “Lantas?”      “Hei! Bulan lalu seluruh uang Ibu sudah habis untuk berbagai treatmentmu di klinik kecanti...

Rekomendasi Pantai Hidden Gem di Gunung Kidul, Cocok buat Kaum Introvert yang Pengen Foto Liburannya Bersih dari Foto Manusia Lain

    Hei, Anda yang (katanya) introvert atau emang bener introvert parah seperti aku dan bestieku ini, bukankah di dalam hati Anda yang paling dalam, Anda tetap ingin jalan-jalan lalu berpamer ria di sosial media? Hhhh! Ngaku aja, deh!      Sebenernya yang paling penting bagi kaum introvert (mendang mending) adalah bisa berkelana kemana aja tanpa perlu memikirkan "harus/bakal bertemu siapa?" Jadi orang introvert itu sama sekali bukan katak dalam tempurung?! Ya dong!  (Karena katak bukan orang! Oke, skip!)       Nah, sekarang sebelum Anda berpikir terlalu jauh tentang mau healing kemana, sama siapa, nanti akan bertemu siapa, maka hal pertama yang Anda perlukan adalah keyakinan bahwa dompet Anda ada isinya, terutama buat beli bensin.       Jadi kalau di dompetnya cuma ada sepuluh ribu, ya jangan berpikir untuk ke pantai atau gunung dulu, ya cuk! Jangankan buat ke pantai, buat beli bensin dan starter motor thok, bisa-bisa...

TIGA KERAMAT

Kepala Suku/Ilustrator : Smavel Deck Ada tiga macam upacara adat yang akan mereka lakukan selama tiga hari berturut-turut. Aku wajib untuk ikut satu dari antara tiga itu. Tiga merupakan angka yang sakral bagi masyarakat suku di lembah Cendana ini. Dalam tujuh hari, mereka hanya boleh 3 hari bekerja. Hari-hari lainnya dipakai untuk beristirahat dan mengolah makanan. Anak umur 3 tahun wajib disunat. Remaja lelaki 13 tahun wajib hidup mandiri di pondoknya sendiri. Remaja putri umur segitu, yang belum menstruasi, wajib bekerja mencari ikan di rawa-rawa selama 3 hari berturut-turut untuk keluarganya. Jika sudah menstruasi, maka wajib dikawinkan dengan lelaki usia 1 3 tahun atau lebih. Ngeri memang mendengarnya, namun memang itulah alasanku datang kemari. Aku ingin tahu betul, bagaimana cara mereka bertahan hidup di bawah aturan yang sangat ketat, terkait angka-angka sakral yang telah mereka tetapkan sejak berabad-abad lalu. Mereka pun sangat terisolasi, jauh dari peradaban, ha...