(Disclaimer: Cerita ini merupakan kisah fiksi belaka. Jika ada penggambaran tentang perundungan yang mengikutsertakan gender tertentu, maka hal tersebut hanyalah imajinasi dari pengarang yang bertujuan agar pembaca dapat memahami jalannya cerita, tidak ada maksud dari pengarang untuk mengkampanyekan tindakan serupa, jadi mohon disikapi dengan bijak)
Sore itu, kabut tipis mulai turun dari lereng Gunung Malapa. Matahari bersiap tenggelam di balik punggung gunung, menyisakan cahaya jingga yang memantul lembut di permukaan kolam pemandian air panas Sumber Laras, sebuah tempat wisata terkenal di kaki gunung.
Biasanya selalu ramai di sore hari, tapi di kolam khusus pria yang terpisah dari area utama, hanya ada satu pengunjung — seorang pria muda bernama Raka, yang baru saja mulai berendam.
Ia turun perlahan ke dalam air hangat, ingin menikmati ketenangan sebelum hari benar-benar malam. Tapi baru saja rasa hangat menjalar di separuh tubuh, matanya langsung menangkap sesuatu —helaian rambut panjang hitam terurai mengambang di permukaan air, di ujung kolam.
Raka sempat bingung. “Mana mungkin ada wanita yang berendam di situ. Ini, kan kolam pria!” gumamnya.
Ia mendekat, setengah penasaran, setengah cemas.
Begitu jaraknya hanya tinggal satu meter, sosok itu mulai jelas. Rambut panjang menutupi wajahnya, tubuhnya setengah mengapung. Raka dengan gugup menyibak rambut itu—dan langsung terhuyung mundur.
Mata lebar yang terbuka, memutih pucat, menatap kosong padanya. Bibir membiru. Tubuh dingin.
"AAARRRGHH!!!"
Teriakan Raka mengoyak keheningan senja.
Beberapa menit kemudian, para staf, petugas keamanan dan pengunjung lain datang berlarian. Sirene polisi dan ambulans terdengar tak lama setelahnya. Seluruh kawasan pemandian Sumber Laras ditutup. Polisi menyelidiki tempat itu, namun muncul satu pertanyaan besar yang membuat semua orang kebingungan: “Kenapa ada perempuan mati di kolam pria?”
***
Tiga Hari Sebelumnya
Rombongan mahasiswa dari sebuah kampus swasta tiba di Sumber Laras. Di antara mereka ada Rio — seorang lady boy berambut panjang, dikenal feminin dan sering jadi bahan candaan kasar oleh teman-teman cowoknya.
Hari itu mereka mandi bersama di kolam pria, dan Rio — karena taruhan dan tekanan dari teman-temannya — dipaksa memakai daster wanita saat berenang.
Beberapa pemuda itu merekam video, tertawa, bahkan melempar batu ke arahnya.
Banu (sambil merekam pakai ponselnya): "Joget, woy! Joget!!! Hahaha."
Andri (melempar batu ke arah Rio): "Joget, dong, bencong!!!"
Sementara itu sekitar delapan pemuda lainnya tertawa terbahak-bahak, sangat kencang, hingga memecah keheningan senja yang berkabut dan lampunya redup di kaki gunung itu.
Mereka pun ikut-ikutan melempari Rio yang tengah berenang sambil menahan malu.
Awalnya mereka pikir semuanya hanya hiburan, tapi candaan itu berubah menjadi bencana yang mengerikan.
Salah satu batu mengenai pelipis Rio. Ia pun tak sadarkan diri, tenggelam sesaat.
Mulanya, mereka pikir, Rio hanya menyelam untuk menghilang sejenak karena merasa sangat malu dan tertekan. Tapi ketika mereka sadar kalau ia tak kunjung muncul setelah beberapa menit berada di dasar air, mereka mulai bergidik.
Dengan panik, Banu memanggil kawan-kawannya. Mereka mengangkat tubuh Rio yang sudah tak bergerak. Nafasnya berhenti. Wajahnya membiru.
Mereka ketakutan. Tak ada yang berani melapor.
Malam itu, setelah agak sepi, Banu dan pemuda lainnya yang membully Rio, mereka menggotong tubuh Rio diam-diam setelah memastikan kalau tak ada yang melihat perbuatan mereka.
Tubuh Rio yang sudah tak bernyawa dibawa ke belakang kamar ganti. Dari situ, Banu bisa melihat sangat jelas kalau ada pintu pagar kawat yang menghubungkan pemandian Sumber Laras dengan punggung gunung di belakangnya, maka Banu pun langsung menemukan cara tercepat untuk menghilangkan jejak Rio selamanya dari muka bumi.
Banu berbisik pada kawan-kawannya, "Cepat kalian curi handuk-handuk yang ada di kamar ganti!"
Andri dan Romi segera menimpali, "Setuju! Kita bungkus mayat ini pakai handuk."
"Lalu kita gotong dia melewati pintu itu," lanjut Banu lagi sembari menunjuk pintu kawat duri yang dilihatnya tadi.
***
Mereka menyusuri jalan ke hutan belakang pemandian. Suara burung liar di udara bergema, mengiring kepergian Rio yang malang.
Langkah kaki sepuluh pemuda itu bergesekan dengan rerumputan dan sesekali mereka merasa takut pada setan tapi mereka lebih takut jika ketahuan.
Setibanya di tengah hutan belantara, dengan alat seadanya yang mereka curi dari gudang hotel tempat mereka menginap, mereka pun menggali lubang dangkal, menaruh mayat Rio di sana dan menutupinya dengan tanah serta dedaunan.
Selesai.
Mereka pikir, semuanya berakhir.
Mereka salah.
***
Kembali ke Hari Penemuan
Tubuh Rio yang sama, lengkap dengan daster lusuh yang mulai membusuk, ditemukan mengapung di kolam pria. Tapi forensik menyatakan tubuh itu belum lama mati—baru beberapa jam sebelum ditemukan. Padahal, jika benar dia mati tiga hari lalu, itu mustahil.
Kamera CCTV di sekitar lokasi kolam rusak sejak minggu lalu karena sambaran petir. Tak ada saksi. Tapi pada akhirnya, satu petunjuk muncul dari arah tak terduga.
Seorang fotografer satwa liar, yang sedang menguji drone dengan kamera inframerah di kawasan hutan belakang pemandian, datang ke kantor polisi. Ia menunjukkan rekaman malam tiga hari sebelumnya: sepuluh orang pria membawa “sesuatu” di tandu darurat ke hutan. Awalnya dia mengira itu kawanan pemburu dengan hasil buruan.
Tapi ketika diperbesar dan kualitas gambarnya ditingkatkan, jelas: yang mereka gotong adalah tubuh manusia yang ditandu dan dibungkus handuk.
***
Penangkapan
Polisi pun menelusuri semua mahasiswa dalam rombongan hari itu. Dari catatan penginapan, daftar nama lengkap, dan rekaman drone, mereka menemukan kesepuluh pelaku yang untungnya masih ada di penginapan yang sama.
Uji forensik menunjukkan luka memar akibat lemparan benda tumpul, luka pada kepala, serta indikasi tubuh Rio sempat berada di lingkungan lembab selama tiga hari sebelum kembali masuk air.
Dan satu detail paling mengerikan?
Dalam rekaman CCTV lama yang sempat aktif kembali satu jam sebelum jenazah ditemukan, terlihat bayangan seseorang yang masuk ke kolam—sendirian. Ia merangkak pelan. Tidak ada yang mencurigakan. Tapi dari refleksi air, tampak jelas: wajahnya pucat, rambut panjang terurai, dan mata putih menatap lurus ke kamera.
Ia kembali!
Ia ingin ditemukan!!!
***
Kolam pria di pemandian air panas Sumber Laras tak pernah dibuka lagi.
Kendati demikian, para petugas sering mendengar suara tawa cekikikan lirih dari permukaan air saat malam. Dan kadang, jika kabut turun terlalu tebal, akan tampak sosok dengan daster kusam mengambang di sana, menunggu seseorang...
Menemukannya lagi.
Dan mengingatkan siapapun bahwa kejahatan yang dikubur... akan selalu kembali dan menghantui!
Komentar
Posting Komentar