Rumah itu merupakan rumah tua yang ukurannya sangat besar tapi hanya terdiri dari dua kamar. Yang satu adalah kamar utama milik Kakek dan Neneknya Siska dan satu kamar lainnya yang dulu ditempati oleh Ibu dan Bibinya Siska.
Waktu masih kecil, Siska sering diajak oleh Ibunya untuk berkunjung ke rumah tersebut, tetapi setelah kematian Ibunya saat Siska masih remaja, Siska tidak pernah berkunjung lagi kesana sampai tahun lalu, saat ia turut serta dalam upacara pemakaman Nenek tercintanya itu.
***
Hari pertama, Siska dan suaminya membersihkan sebagian rumah Nenek sampai malam tiba, tapi saat malam makin larut, bayi mereka terus menangis tak henti-henti. Hal itu membuat Siska dan suaminya kelelahan karena tidak bisa beristirahat.
Untung saja keesokan harinya, si bayi mungil cukup tenang sehingga di hari kedua, Siska dan suaminya bisa mengawasi para tukang bangunan yang telah mulai merenovasi rumah itu dan sesuai pesan sang Bibi, Siska melarang mereka menyentuh kamar Nenek.
***
Saat malam tiba, lagi-lagi bayinya Siska menangis. Siska pun turut berlinangan air mata karena bingung dan cemas dengan kondisi bayinya. Bayi itu sama sekali tak mau ditaruh di pembaringan, ia hanya mau tidur dalam gendongan kedua orangtuanya. Tentu saja hal itu membuat Siska dan suaminya kewalahan.
Mereka yakin kalau anak mereka dalam kondisi sehat, tak ada tanda-tanda demam pada tubuhnya. Kendati demikian, Siska tetap ingin membawa anaknya ke klinik terdekat namun suaminya berkata kalau ia masih sanggup menggendong anak mereka, jadi pergi ke klinik yang letaknya puluhan kilometer dari sana, sebaiknya ditunda sampai besok pagi saja. Karena tidak ingin sama-sama kelelahan, akhirnya Siska dan suaminya sepakat untuk tidur bergantian.
Waktu itu mendekati pukul dua belas malam, kata suami Siska kepadanya, "Kau duluan saja yang tidur. Aku akan mengurus bayi kita. Tiga atau empat jam lagi aku akan membangunkanmu dan gantian aku yang tidur. Tapi semoga saja sebelum giliranmu berjaga, bayi kita sudah berhenti dari rewelnya dan mau ditidurkan di atas kasur, jadi kita bertiga bisa sama-sama beristirahat."
Siska pun menyerahkan bayinya yang rewel itu kepada sang suami sambil berkata, "Tapi mana mungkin aku bisa tidur di sini kalau dia terus menangis seperti ini. Aku pasti akan terganggu dan tidak tega mendengar suaranya."
"Benar juga. Kalau begitu, kau tidur saja di kamar Nenekmu," ucap sang suami.
Berhubung kamar di rumah itu hanya dua dan letaknya berjauhan, maka ide dari suaminya Siska itu tentu saja menjadi solusi yang tepat bagi mereka berdua. Tanpa pikir panjang, Siska pun segera merogoh saku tasnya untuk mencari kunci kamar Nenek.
***
Sejak kemarin, mereka hanya menjamah bagian depan rumah itu saja yang terdiri dari sebuah kamar bekas kamar tidur Ibu dan Bibinya Siska yang kini mereka tempati, lalu ada pula sebuah ruang tamu dan ruang keluarga, sedangkan kamar Nenek yang letaknya di belakang, dekat dengan dapur, sama sekali belum mereka kunjungi.
Siska pikir, ini waktu yang tepat untuk melihat-lihat ke dalam sana.
Usai berterima kasih pada suaminya yang selalu setia dan siaga, Siska pun berjalan melewati sebuah lorong gelap untuk menuju ke kamar Nenek. Setelah melewati dapur, tibalah ia di depan pintu kamar yang terbuat dari kayu jati nan kokoh. Meskipun warna catnya sudah sangat pudar namun pintu itu masih nampak memancarkan aura kemewahan yang cukup klasik dan menarik.
"Klik," Siska membuka kunci gembok kamar itu.
Perlahan-lahan, didorongnya daun pintu.
Kondisi kamar itu tidak terlalu gelap. Anehnya, hal pertama yang nampak dalam mata Siska adalah tampilan sebuah cahaya yang asalnya dari satu pojok kamar. Kening Siska berkerut. Tidak diragukan lagi, cahaya itu bersumber dari sebuah lilin yang ada di atas meja nakas.
Siska heran. Siapa yang menyalakan lilin itu? Apa sebelumnya sang suami sudah masuk kemari dan menyalakan lilin? Tapi rasanya tidak, mana mungkin suaminya selancang itu masuk kesini tanpa ijin dari Siska.
Dengan penuh gejolak dan tanda tanya, Siska mulai melangkah masuk lebih dalam lagi dan melayangkan mata ke tengah-tengah kamar itu di mana sebuah ranjang tua raksasa yang terbuat dari besi dengan kelambunya yang berwarna putih nampak melambai-lambai tertiup angin yang berasal dari pintu tempat Siska berdiri sekarang.
Hampir saja Siska menuju ke bekas pembaringan tua itu sampai tiba-tiba langkahnya terhenti saat menyadari bahwa ia melihat punggung seseorang yang duduk di sana.
Seorang wanita.
Wanita tua.
Wanita tua berambut putih panjang dengan sebuah pisau menancap di punggungnya!
Komentar
Posting Komentar