Langsung ke konten utama

IMPAS

Mendengar kabar bahwa sahabat karib di masa mudanya sakit keras di kampung, Aryo segera membeli tiket pesawat untuk penerbangan terakhir malam ini. Rasa gundah menerpa seluruh tubuhnya, lebih-lebih karena ia pernah berhutang sejumlah uang dalam jumlah yang cukup besar yang membuat dirinya merasa terbebani hingga hari ini sebab kawannya itu menolak untuk menerima pengembalian hutang dari Aryo.
***

Delapan belas tahun lalu, ketika Aryo kena PHK, uang pesangon dari perusahaannya hanya cukup untuk hidup selama tiga bulan ke depan. Di bulan keempat, Aryo masih belum mendapatkan pekerjaan baru padahal ia harus menghidupi istri dan kedua anak kembarnya yang masih balita.

Di ambang keputusasaan Aryo, sang istri malah meminta untuk dipulangkan ke rumah orangtuanya di kampung. Dengan berat hari, dia membawa keluarganya pulang ke kampung halaman mereka dan menitipkan anak istrinya kepada sang mertua. Ia kembali ke ibukota sendirian dan berjanji, akan segera menjemput mereka saat ia sudah mendapatkan pekerjaan baru.

Tentu saja hal itu tidak mudah bagi Aryo, segala usaha sudah dia lakukan untuk memberi nafkah bagi keluarganya namun tetap saja mereka kekurangan. Sampai suatu ketika, ia pun pulang kampung lagi tapi istrinya justru meminta untuk berpisah, membuat Aryo makin depresi. 

Saat percekcokan antara Aryo dan istrinya pada suatu senja di depan rumah mertua Aryo itulah, Baskoro yang lewat sana dengan menunggangi sebuah motor trail lantas berhenti.

Tentunya Baskoro tidak tahu menahu tentang keributan antara Aryo dengan istrinya, ia mampir karena memang berkeinginan untuk menyapa Aryo sebab sudah lama sekali mereka tidak bersua.

“Piye kabarmu, Yo?” tanya Baskoro sambil memarkirkan motornya di halaman rumah mertua Aryo.

Aryo yang masih kesal dengan istrinya, lantas buru-buru mengubah air mukanya agar tidak menimbulkan kesan negatif di mata Baskoro.

“Hei, Bas!” Sahut Aryo, kaku. Ia tak ingin memberi jawab tentang “kabar” yang ditanyakan oleh Baskoro sebab kabarnya tidak baik-baik saja dan mana mungkin, kan kalau dia langsung menjawabnya demikian? Ia malu, ia tahu kalau Baskoro, kawan SMPnya itu telah menjadi pengusaha kuliner sukses di kampung mereka. 

Istri Aryo sempat menyalami Baskoro dan berbasa-basi sebentar, tapi karena amarahnya pada sang suami belum surut, dia enggan terlalu larut dalam obrolan kedua sahabat itu. Ia segera masuk ke dalam rumah.

Merasa sedikit bebas tanpa kehadiran istrinya, Aryo perlahan-lahan mulai membuka diri tentang kesulitan hidupnya kepada Baskoro. Mulai dari kehilangan pekerjaan, mencoba berwirausaha tapi gagal terus, tak mampu menafkahi anak istrinya dan yang baru saja terjadi, istrinya minta bercerai.

“Owalah…Yo…kenapa baru cerita sekarang?” tandas Baskoro, melepas rasa iba dari matanya.

“Kan baru hari ini aku bertemu denganmu. Sebenarnya aku sudah lama berada di sini, hampir dua bulan. Rasanya aku ingin segera kembali ke ibukota, mencari pekerjaan atau coba-coba usaha yang lain, tapi belum ada modal. Ingin menemuimu untuk sekedar curhat, rasanya juga sungkan.”

“We lha, kenapa musti sungkan?”

“Ya…kamu, kan pengusaha sukses sekarang. Restoranmu ada di mana-mana, pastinya kamu sibuk, lah.”

“Ah, bisa aja kamu. Aku biasa saja kok, tidak ada yang berubah.”

“Yah…syukurlah kalau begitu, Bas.”

“Ehm…” Baskoro nampak berpikir sebentar, disulutnya rokok kretek dan dihisapnya. Lalu katanya, “Kamu berbisnis saja sepertiku, Yo! Tenang, nanti aku yang modalin.”

Aryo yang tengah melamun itu, terhenyak dengan cepat dan melempar wajah kepada Baskoro. Tak lama kemudian, pecahlah tawa kecil nan miris dari mulut Aryo.

“Maksudnya, kamu mau ngutangi aku?” Aryo bertanya.

Baskoro mengangguk pelan dan menghisap rokok kreteknya lagi kemudian mengacungkan kotak rokoknya pada Aryo.

Aryo yang sudah berhenti merokok sejak empat bulan lalu agar bisa berhemat demi tetap memenuhi kebutuhan keluarganya, pasti sekarang lebih tertarik pada omongan Baskoro ketimbang tawaran untuk turut menghisap rokok kreteknya.

Sementara itu matahari sudah menghilang, berganti gelap dan lampu teras itu dinyalakan oleh seseorang dari dalam rumah. 

Lalu keheningan bergema di antara keduanya, Aryo hanya melihat asap rokok yang terus membumbung tinggi dari mulut Baskoro, tak ada ucapan apapun lagi yang keluar dari sana, seolah-olah ia memang menunggu jawaban dari Aryo.

Tak ingin kehilangan kesempatan, Aryo segera menemukan kalimat untuk memecah keheningan, “Memangnya aku bisa usaha apa, Bas? Modal untuk usaha, kan tidak kecil.”

“Usaha apapun, terserah. Bisnis kuliner sepertiku, misalnya.”

Aryo terkekeh lagi, katanya, “Kamu sudah menguasai dunia kuliner di kampung kita ini, masa’ aku mau menyaingimu?”

“Kamu bisa bisnis di ibukota, kan?” Jawab Baskoro, serius, tanpa menoleh sama sekali pada Aryo.

Aryo yang masih mengganggap bahwa Baskoro hanya membual, kini jadi bingung, musti berkata apa?

“Kamu bisa membawa resep menu khas dari kampung kita ini untuk diperkenalkan di ibukota,” lagi lagi Baskoro seserius itu. 

Aryo terdiam.

“Pakai saja uangku sebagai modalnya.”

“Tapi, Bas…”

“Sudah, jangan dipikirkan! Besok kita bicara lagi. Sesegera mungkin akan kuberikan uangnya ke kamu supaya kamu juga bisa secepatnya membuka usaha di Jakarta. Kamu bisa keluar dari krisis ini dan tentunya keluargamu juga tetap akan utuh.”

Aryo masih diam.

“Aku pamit dulu,” Baskoro beranjak dari duduknya, berlalu meninggalkan Aryo yang masih kebingungan.

Baskoro dan motor trailnya menghilang dalam kegelapan namun Aryo masih bisa mendengar deru suara motor itu di kejauhan.

***

Malam ini, di kursi pesawat, usai mengalami turbulensi yang lumayan hebat, Aryo menatap ke luar, kepada kegelapan sambil kembali teringat tentang kejadian delapan belas tahun lalu di teras rumah mertuanya itu. 

Air mata menetes ke pipinya.

Betapa tidak? Pada akhirnya Baskoro meminjamkan uang senilai puluhan juta kepada Aryo dan ajaibnya, hanya dalam dua tahun saja, usaha kuliner Aryo di ibukota langsung sukses besar!

Yang lebih mengherankan, Baskoro enggan menerima pengembalian utang dari Aryo. 

Bermacam cara sudah Aryo lakukan agar Baskoro mau menerimanya, mulai dari memberi uang cash, mentransfer ke rekening pribadi Baskoro, bahkan Aryo sampai mencari tahu rekening anak serta istrinya Baskoro dan mentransfer uang kesana, tapi selalu saja Baskoro mengembalikan uang itu dengan cara lain, misalnya mengirimi hadiah berupa sebuah sepeda motor trail ke rumah orangtuanya Aryo di kampung, lalu Aryo kembali mentransfer sejumlah uang seharga sepeda motor itu namun rupa-rupanya, suatu ketika, lagi-lagi Baskoro “mengembalikan” dengan cara lain, yaitu memberikan amplop berisi cek senilai puluhan juta ke dalam kotak sumbangan pernikahan salah satu putrinya Aryo yang dipinang oleh pengusaha sukses, dua tahun lalu.

Tiga hari setelah resepsi pernikahan anaknya Aryo, Baskoro masih berada di Jakarta karena akan melanjutkan perjalanan keliling Eropa bersama keluarganya, ia pun secara khusus menemui Aryo di rumah Aryo. Sampai detik itu, Aryo belum mengetahui kalau Baskoro telah memberi hadiah berupa cek untuk putrinya.

Aryo menyambut hangat kedatangan Baskoro sambil memeluknya erat.

Setelah bercengkrama selama hampir satu jam, Baskoro berkata pada Aryo, “Semoga kita bisa segera bertemu lagi tahun depan ya? Aku dan keluargaku akan menghabiskan sisa tahun ini di beberapa negara di Eropa. Istriku sangat ingin menikmati salju seperti tiga tahun lalu saat kami liburan di Jepang,”

Sambil berdecak kagum, Aryo menggeleng-gelengkan kepalanya, memuji kesuksesan Baskoro.

“Kamu memang luar biasa, Bas! Semoga kesuksesanmu akan segera menular juga padaku, ya?”

Dengan nada merendah, Baskoro menimpali, “Masih banyak yang lebih daripada aku, Yo.”

“Tapi kamu panutanku, Bas. Aku ingin bisa lebih sukses, sama sepertimu.”

“Tentu saja! Sekarang pun kamu sudah luar biasa!”

“Bas…Bas… Aku tidak mungkin bisa sampai di titik ini tanpa bantuanmu. Aku berhutang budi kepadamu tapi aku masih belum bisa membalas kebaikanmu.”

“Jangan berkata begitu! Sebagai teman, memang sebaiknya kita harus saling tolong menolong. Aku yakin, suatu saat kamu akan membalasnya dengan cara lain.” 

“Amin,” tandas Aryo, terharu.

***

Selang beberapa waktu setelah pertemuan itu, barulah Aryo mendapat kabar dari anaknya kalau ia dan suaminya telah menerima sebuah cek sebagai kado pernikahan mereka. Terpampang dengan jelas kalau cek itu tertanda atas nama Baskoro, nominalnya sama persis dengan nilai uang yang diterima oleh Aryo saat hidupnya hampir hancur, belasan tahun silam.

Betapa terkejutnya Aryo, dia pikir acara “balas-balasan” dan “kirim-kiriman” uang antara ia dan sahabatnya itu telah berakhir beberapa waktu silam, tapi nyatanya Baskoro masih tidak mau menerima pengembalian utang dari Aryo dan ia memanfaatkan momen pernikahan putrinya Aryo untuk (lagi-lagi) memberikan uang kepada Aryo.

Akhirnya, Aryo pun menyerah, ia tak ingin mengembalikan semua itu lagi dalam bentuk uang atau materi. Kali ini, persis seperti apa yang Baskoro katakan padanya tempo hari, maka Aryo pun yakin kalau suatu hari kelak, ia akan mampu membalas kebaikan Baskoro dengan cara yang lain.

Dan pertemuan mereka di rumah Aryo sebelum keberangkatan Baskoro ke Eropa dua tahun lalu itu menjadi pertemuan terakhir sampai tadi pagi, Aryo mendapat kabar dari Ibunya kalau Baskoro sakit keras di kampung. 

Keluarganya sudah pasrah, mereka enggan membawa Baskoro berobat kemana pun juga.

Istri Baskoro hanya mengharapkan kedatangan Aryo untuk menjenguk sebab Baskoro pernah berpesan pada istrinya, kelak jika dia sakit keras atau sekarat, maka ia ingin dikunjungi oleh Aryo, untuk terakhir kalinya.

***

Sesak melanda dada Aryo, matanya terbelalak seketika. 

Gelap di mana-mana.

Dalam hitungan ketiga, dia mencoba duduk dan berusaha mengingat apa yang terjadi, namun satu-satunya hal yang terlintas dalam kepalanya hanyalah saat di mana ia menggenggam tangan Baskoro di sebuah kamar ICU sambil berbisik, “Maaf ya, Bas, aku belum sempat membalas kebaikanmu.”

Setelah itu, ia sempat mengobrol sebentar dengan beberapa kawan lain yang juga sedang menjenguk Baskoro di lorong Rumah Sakit swasta terbaik di kota kecil tersebut. Setengah jam kemudian, ia pulang, mengendarai motor trailnya, hadiah dari Baskoro, beberapa tahun lalu.

Hanya itu hal-hal terakhir yang diingat oleh Aryo, tapi kini, Aryo sama sekali bingung, kenapa ia tidak berada di rumahnya sendiri? 

Di mana motorku?

Di mana aku?

***

Dalam gelap yang masih menggerayangi kedua matanya, Aryo bangkit berdiri dan melangkah tak tentu arah. Belakangan, akhirnya dia pun sadar kalau ia berada di dasar jurang yang sangat jauh dari rumahnya.

Untuk keluar dari sana dengan susah payah, Aryo harus mendaki bukit, melintasi hutan belantara yang dipenuhi oleh semak belukar dan pohon liar. 

Sambil terus berusaha kembali mengingat tentang kejadian apa yang dialaminya baru-baru ini, Aryo terus melangkah dengan tegar namun tetap tak menemukan jawaban.

Setelah hampir setengah jam berjalan, sampailah ia di lahan perkebunan yang ditumbuhi oleh pohon kelapa dan pohon pisang. Aryo lega, itu artinya ia telah mendekati area perkampungannya. 

Cahaya lampu dari rumah-rumah warga mulai terbit di mata Aryo, ia berhenti sejenak, menghela napas, melepas lelah. Perkiraannya, dalam jarak lima atau enam rumah lagi, ia akan tiba di rumah orangtuanya, maka langkahnya pun kembali terpacu untuk segera mengakhiri perjalanan yang melelahkan ini.

Satu rumah, dua rumah, tiga rumah sudah terlewati. Semakin dekat dengan rumahnya sendiri, Aryo melihat cahaya yang makin terang.

Dan sebuah tenda terpasang di teras rumah itu.

Dan kerumunan banyak orang, sangat banyak orang.

***

Anindya menangis di depan peti jenazah suaminya.

Sudah selesai ibadah, sebentar lagi upacara tutup peti.

Satu per satu anak serta menantu Anindya menciumi jenazah pria yang telah berjas rapi, berdandan gagah, bergincu tipis, serta berkacamata. Namun tetap saja, bedak, gincu dan kacamata tak dapat menutupi beberapa warna memar di wajahnya.

Setelah segala tangis dan peluk dari keluarga inti tersemat sebagai bagian dari pelepasan jenazah yang menandai dimulainya upacara tutup peti, nyatanya masih ada seseorang lagi yang datang dengan tergopoh-gopoh di atas kursi roda. Istrinya mendorong pria itu dan meminta ijin kepada Anindya agar suaminya diperbolehkan mendekat ke peti jenazah sebelum petinya ditutup.

Anindya mengangguk pelan.

Dibantu oleh istrinya dan usaha maksimal dari tubuhnya sendiri, pria itu berdiri dari kursi rodanya dan memeluk tubuh jenazah pria berjas rapi di dalam peti. Wajahnya muram, tapi dia tidak menangis.

Ia mulai berbisik pelan, tak ada satu pun orang di ruangan itu yang dapat mendengarnya. Sangat sangat pelan, hingga nyaris hanya terdengar seperti desis angin yang bersliweran.

Aryo menatap tepat di hadapan peti itu dengan memar di wajahnya, lebih-lebih lagi luka di hatinya.

Sepuluh menit kemudian, sirine ambulans mulai bergema ke setiap sudut kampung.

Malam itu juga, jenazah di dalam peti akan diterbangkan ke Jakarta karena seluruh keluarga almarhum menginginkan agar beliau dimakamkan di pemakaman keluarga yang telah disiapkan oleh almarhum sejak beberapa tahun sebelumnya.

***

Sebelas hari yang lalu, usai menjenguk Baskoro di rumah sakit swasta terbaik di kota kecil terdekat dari kampung mereka, Aryo kembali ke rumahnya dengan menunggangi motor trail hadiah dari Baskoro. Selama ini, motor tersebut dipakai oleh Bapaknya Aryo untuk pergi dan mengurus puluhan hektar kebun luas yang dibeli oleh Aryo enam tahun silam sebagai bentuk investasi jika suatu hari nanti dia ingin pensiun dan kembali ke desa.

Dalam perjalanan itu, Aryo melewati hutan luas yang dikelilingi oleh jurang sedalam puluhan meter. 

Aryo merasa sangat lelah sebab semalam pesawatnya mendarat tengah malam, dari bandara ke kampung halamannya, diperlukan waktu hampir dua jam, sesampainya di rumah, ia pun tak bisa langsung istirahat. Saat subuh tiba, barulah ia bisa memejamkan mata dan pukul sembilan pagi, salah satu kawannya menelepon, mengingatkan kalau pukul sebelas siang, mereka harus berkumpul di rumah sakit untuk menjenguk Baskoro. 

Akhirnya Aryo berada di rumah sakit seharian. Alhasil, waktu tidur Aryo pun sangat singkat dan saat pulang menjelang senja, Aryo merasa sedikit oleng di perjalanan berliku itu.

Sebenarnya Aryo sempat beberapa kali berhenti beristirahat untuk minum air putih dari tumblernya dan merokok sejenak tapi saat gelap menjelang, perjalanannya terasa lebih panjang dan membuatnya kewalahan sampai tiba di satu titik tanjakan yang sangat terjal, ia harus menarik gas motornya dengan lebih kuat, tetapi semakin banyak tenaga yang dipacu, Aryo merasa seperti kian jauh dari bumi!

Semakin hilang rasa pekanya terhadap lelah dan dinginnya angin malam, sementara itu gelap gulita terus berkecamuk di mana-mana, Aryo pun kehilangan keseimbangan, ia dan motornya melompat ke luar dari jalur, terguling ke jurang.

Dengan kondisi melayang-layang, Aryo menemukan titik kegelapan paling pekat yang pernah terlihat dalam hidupnya. 

Jurang dalam yang curam dengan banyak bebatuan tajam menyebabkan banyak memar dan luka lebam, tapi hal paling menakutkan di dalam kegelapan itu ialah ketika sukmanya beradu mata dengan sesuatu yang sangat besar dan sesuatu itu mulai meraih kepala Aryo lalu mematahkan tulang lehernya.

Sesuatu yang sangat besar dan mengerikan!

***

Tiga hari pertama dalam kondisi koma, dokter berkata kepada Anindya, “Kami menunggu kondisi suami Ibu stabil dulu supaya kami bisa mengoperasinya. Itu adalah upaya terakhir kami untuk menyelamatkannya.”

Ajaibnya, dalam waktu yang sama, di rumah sakit yang sama, sahabat Aryo, Baskoro, pelan-pelan ia terbangun dari koma akibat pecahnya pembuluh darah.

Tapi sial bagi Aryo! Di hari ke sepuluh sejak tubuhnya ditemukan terkapar di dasar jurang dan operasi belum kunjung dilakukan, akhirnya ia tak mampu bertahan.

***

Sebelas hari setelah kunjungan Aryo untuk menjenguk Baskoro, sahabat tempatnya pernah berhutang budi, kini ia harus berdiri di depan peti jenazah.

Belakangan, Aryo sadar kalau ia tengah melayat kepada kematiannya sendiri. 

Seseorang berkursi roda mendekati peti jenazah.

Aryo tak dapat mengenali pria itu lagi, bahkan kendati roh Aryo yang kesakitan bertatap muka dengannya, Aryo justru melihat kepada kenyataan dan kebenaran lain yang belum pernah ia lihat seumur hidup: iblis bertubuh ular yang sangat besar bersemayam di atas kepala pria itu. Iblis yang sama, yang pernah mematahkan leher Aryo di dalam jurang seram yang menganga lebar.

Pria itu mendekat pada jenazah Aryo yang telah berjas rapi di dalam peti mati. Ia berbisik pelan, tak ada satu pun orang di rumah duka itu yang dapat mendengar perkataannya; sangat sangat pelan, hingga nyaris hanya terdengar seperti desis angin bersliweran, katanya, “Inilah waktunya. Terima kasih, Aryo. Kini kita impas.”

Aryo telah membayar lunas hutang budinya kepada Baskoro, persis seperti kesepakatan tak terlihat yang pernah terjadi antara keduanya: bukan dengan uang atau materi, tapi dengan cara yang “lain”.

Impas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEBUR

     Ibu sungguh-sungguh terobsesi menjadikanku aktris atau apapun itu yang bisa ditampilkan di televisi. Aku diantarnya ikut audisi demi audisi: menari, bernyanyi, berakting dan apapun itu yang biasa ditampilkan di televisi.      Anak kecil tak pernah tahu tentang tujuan hidupnya, orangtua yang bertugas membimbing anak-anak untuk mencapai cita-cita .      Itu yang selalu Ibu katakan.      Tak pernah sekalipun aku melawan sebab memang cuma Ibu yang mengurusku sendirian.      Hanya saja kelak ketika aku lepas dari masa remaja dan menjadi dewasa, aku tahu kalau terkadang ia tak sedang sungguh-sungguh seperti apa yang ia katakan. ***      “Aku lelah, Bu,” ucapku, memalingkan muka.      “ Casting ini untuk pemeran pendukung perempuan.”      “Lantas?”      “Hei! Bulan lalu seluruh uang Ibu sudah habis untuk berbagai treatmentmu di klinik kecanti...

Rekomendasi Pantai Hidden Gem di Gunung Kidul, Cocok buat Kaum Introvert yang Pengen Foto Liburannya Bersih dari Foto Manusia Lain

    Hei, Anda yang (katanya) introvert atau emang bener introvert parah seperti aku dan bestieku ini, bukankah di dalam hati Anda yang paling dalam, Anda tetap ingin jalan-jalan lalu berpamer ria di sosial media? Hhhh! Ngaku aja, deh!      Sebenernya yang paling penting bagi kaum introvert (mendang mending) adalah bisa berkelana kemana aja tanpa perlu memikirkan "harus/bakal bertemu siapa?" Jadi orang introvert itu sama sekali bukan katak dalam tempurung?! Ya dong!  (Karena katak bukan orang! Oke, skip!)       Nah, sekarang sebelum Anda berpikir terlalu jauh tentang mau healing kemana, sama siapa, nanti akan bertemu siapa, maka hal pertama yang Anda perlukan adalah keyakinan bahwa dompet Anda ada isinya, terutama buat beli bensin.       Jadi kalau di dompetnya cuma ada sepuluh ribu, ya jangan berpikir untuk ke pantai atau gunung dulu, ya cuk! Jangankan buat ke pantai, buat beli bensin dan starter motor thok, bisa-bisa...

TIGA KERAMAT

Kepala Suku/Ilustrator : Smavel Deck Ada tiga macam upacara adat yang akan mereka lakukan selama tiga hari berturut-turut. Aku wajib untuk ikut satu dari antara tiga itu. Tiga merupakan angka yang sakral bagi masyarakat suku di lembah Cendana ini. Dalam tujuh hari, mereka hanya boleh 3 hari bekerja. Hari-hari lainnya dipakai untuk beristirahat dan mengolah makanan. Anak umur 3 tahun wajib disunat. Remaja lelaki 13 tahun wajib hidup mandiri di pondoknya sendiri. Remaja putri umur segitu, yang belum menstruasi, wajib bekerja mencari ikan di rawa-rawa selama 3 hari berturut-turut untuk keluarganya. Jika sudah menstruasi, maka wajib dikawinkan dengan lelaki usia 1 3 tahun atau lebih. Ngeri memang mendengarnya, namun memang itulah alasanku datang kemari. Aku ingin tahu betul, bagaimana cara mereka bertahan hidup di bawah aturan yang sangat ketat, terkait angka-angka sakral yang telah mereka tetapkan sejak berabad-abad lalu. Mereka pun sangat terisolasi, jauh dari peradaban, ha...