Langsung ke konten utama

OBAT BAGI HATI LITA


Lita dan keluarganya baru saja pindah ke kota ini. Lita harus mengikuti orangtuanya berpindah-pindah tempat dari satu kota ke kota lainnya sebab Ayahnya dan Ibunya memiliki bisnis yang membuat mereka harus hidup nomaden, otomatis Lita pun harus berpindah sekolah dan kepindahannya sekarang adalah keempat kalinya dalam tiga tahun belakangan. Hal tersebut sering membuat Lita merasa sedih dan jenuh karena harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dan pertemanan yang baru, apalagi ketika Lita menyadari bahwa kota tempat tinggalnya yang baru ini merupakan kota yang sedikit kumuh.

            “Aku mau tidur! Jangan ganggu aku! Aku juga nggak mau makan siang!” Lita membentak, sambil membanting tas di lantai ketika masuk ke rumahnya yang lumayan megah. Ia baru saja pulang sekolah dan merasa lelah. Kesal bercampur amarah telah menguasai hatinya karena ia merasa sulit beradaptasi di sekolahnya yang baru.

            Sang Ibu tengah membaca buku di ruang keluarga dan merasa bingung setelah melihat perilaku Lita.

            Lita langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintu.

            Ibu mengikuti Lita dan mengetuk pintu kamar, dengan sabar Ibu berkata, “Lita...makan dulu, nak. Ibu masak rendang, kesukaanmu.”

            “AKU NGGAK MAU MAKAN!” Lita berteriak.

            Ibu terkejut, menghela napas dan berlalu dari depan pintu kamar anak tunggalnya itu.Walaupun Ibu kecewa dengan sikap Lita namun Ibu memahami bahwa Lita tentu sangat sedih sebab ia harus berpisah lagi dengan kawan-kawan di kota sebelumnya, karena itulah Ibu tidak ingin mengganggu Lita.

            Sampai malam hari, Lita tidak keluar dari kamarnya, sang Ibu mengetuk pintu namun Lita berkata bahwa dia tak ingin diganggu. Ibu menyampaikan hal tersebut kepada Ayah dan mereka sepakat untuk membiarkan Lita sendiri dulu. Mereka pikir, nantinya Lita akan keluar kamar jika merasa lapar, namun kenyataannya tidak demikian.

            Pagi hari tiba, Lita baru keluar dari kamar dan sudah  rapi dengan berseragam lengkap.

            “Selamat pagi... Makan dulu, sayang...” Ibu menyapa Lita dengan lembut.

            “Aku tidak mau makan!” jawab Lita, ketus.

            “Kamu belum makan sejak kemarin siang, kamu tidak lapar?” tanya Ibu.

            “Nggak!” Lita menjawab, kasar. Ia sibuk memakai sepatu di ruang tamu.

            “Bawa bekal saja, ya? Sebentar, Ibu siapkan dulu. Oh, iya, rendangnya masih ada juga, Ibu bawain bekal untuk sarapan dan makan siang, ya?”

            “Nggak, Bu! Aku nggak lapar!” Lita marah.

            Ibu menghela napas panjang.

            “Aku mau ke sekolah jalan kaki saja!” Lita masih ngambek dan terus menerus berulah.

            Ibu hanya menggelengkan kepala, “ya sudah, Ibu tahu kalau Lita masih marah sama Ayah dan Ibu karena kita harus berpindah-pindah kota terus, Ibu dan Ayah minta maaf ya? Lita bersabar dulu sampai pekerjaan Ayah mapan, nanti kita akan hidup menetap.”

            Lita tidak peduli, dia mengambil tasnya di atas meja dengan kasar lalu menuju pintu, keluar ke teras.

            “E eh, ini uang sakunya...” Ibu menyusul Lita sampai ke teras rumah dan memberikan tiga lembar uang sepuluh ribuan untuk Lita. Jumlah tersebut lebih banyak daripada seharusnya sebab Ibu sadar bahwa anaknya belum makan sama sekali sejak kemarin siang. Ibu berharap, Lita akan segera sarapan di kantin atau makan sepuasnya dengan uang yang Ibu berikan.

            Lita mengambil uang tersebut dari tangan Ibunya tanpa mengucap terima kasih seperti biasanya. Ia sedih sekaligus marah dan sebagai remaja yang masih labil, Lita tak mampu mengendalikan diri.

Ibu masih bersabar dan berdoa semoga sikap Lita segera berubah.

Akhirnya, Lita pun tetap memilih untuk berjalan kaki saja ke sekolah. Perilaku Lita itu tentu membuat Ibu semakin sedih, namun sekali lagi, Ibu berusaha memahami perasaan Lita.

            Dalam perjalanan ke sekolah, Lita masih bersedih dan menundukkan kepala. Ia menyadari kesalahan sikapnya kepada Ibu dan Ayah, namun Lita masih terus berkeras hati. Ia belum punya teman akrab di sekolahnya, hal itulah yang sering membuatnya rindu dengan kawan-kawannya yang lama.

Langkahnya terayun dengan berat sebab dia merasa sangat lapar. Sesekali Lita menoleh ke kanan dan kiri, toko-toko masih tutup, jalanan pun masih sepi. Kota ini terlampau kumuh dan jorok bagi Lita, namun hari ini dia telah terlanjur memilih untuk berjalan kaki demi mempertahankan amarahnya kepada orangtua.

Lita berharap ada minimarket yang buka 24 jam atau setidaknya baru saja buka, sehingga dia dapat membeli sepotong roti dan air minum untuk mengobati rasa lapar, namun setelah lima menit berjalan kaki, dia tidak menemukannya. Mungkin Lita bisa saja sarapan di kantin sekolah sebelum jam pelajaran nanti, namun Lita merasa malas untuk keluar kelas karena tidak ada teman. Akhirnya Lita pun menyerah pada rasa lapar.

Ketika hampir berbelok ke halaman sekolahnya yang elit dan nampak lebih bersih daripada lingkungan sekitar, mata Lita menyadari bahwa sebuah minimarket di seberang jalan baru saja dibuka, suara pintu gesernya berdecit dan menarik perhatian Lita.

“Akhirnya...ada juga minimarket yang buka,” Lita merasa senang dan segera menyebrang.

Belum sampai di seberang jalan, Lita terkejut ketika sebuah gerobak nyaris menabraknya! Lita pun hampir berteriak sambil memegang kepala.

“Pelan-pelan dong Bu!!!” Lita marah, mengumpat kepada Ibu pemulung yang mendorong gerobak itu.

“Eh, maaf, Neng...maaf!” wanita setengah baya itu segera meletakkan gagang gerobaknya dan menghampiri Lita, “Ada yang luka, nggak, Neng?” tanyanya kepada Lita, ia takut kalau gerobaknya menyenggol tubuh Lita.

Lita yang masih merasa tegang hanya melirik sekilas saja kepada Ibu itu, lalu tanpa sengaja, matanya menangkap pemandangan di dalam gerobak kayu yang usang, kumuh dan bau. Ada seorang anak kecil berusia sekitar empat sampai lima tahun yang terbaring disana.

“Maaf, ya, Neng?” Ibu itu kembali meminta maaf. “Anak saya sakit, saya harus buru-buru bawa dia ke puskesmas, demamnya nggak turun-turun, udah hampir seminggu.”

Lita tidak menjawab permintaan maaf dari pemulung tersebut, matanya terus berlari pada gadis cilik yang tergeletak di dalam gerobak, sebuah selimut kusam yang tipis menutupi sebagian tubuhnya. Hati Lita merasa iba. Apalagi ketika disadarinya bahwa anak itu tertidur disana bersama dengan botol-botol plastik bekas, seng bekas dan benda-benda sampah lainnya.

“Sudah, ya, Neng....? Yang penting si Neng nggak apa-apa, kan?” Ibu tersebut bermaksud pamit dan menuju kembali ke gerobaknya.

“Bu...Bu...! Tunggu!” Lita mencegah kepergian pemulung itu, “Tunggu sebentar!”

Ibu pemulung bingung, ia menoleh pada Lita.

Lita gugup, ia terdiam sebentar dan mendekat kepada gerobak milik si Ibu, kemudian tangannya menuju ke anak kecil yang terbaring disana dengan mata terpejam, “Ini anak Ibu?” tanyanya.

“Iya, Neng...” jawab Ibu pemulung. Raut wajahnya terlihat sedih.

Perlahan-lahan, tangan Lita menggapai dahi gadis kecil itu, dan benar saja! Seperti yang dikatakan oleh Ibunya, anak itu demam, suhu tubuhnya sangat tinggi. Merasakan hal tersebut, Lita pun menjadi semakin iba.

“Dik,” panggil Lita kepada si gadis kecil.

Anak itu membuka matanya, lalu senyum manis terkembang dari bibirnya.

Lita balas tersenyum, “Kamu sudah makan?” tanya Lita.

Anak itu menggeleng.

Lita pun berkata lagi kepada Ibu pemulung, “Bu, tunggu dulu disini sebentar ya? Saya belikan roti di minimarket.”

“Neng...nggak usah repot-repot, Neng...” si Ibu rupanya merasa tidak enak hati jika harus menerima kebaikan Lita.

“Sebentar aja kok, Bu... Jangan kemana-mana! Tolong ditunggu...” teriak Lita sambil berlalu. Cepat-cepat dia menyeberang setelah memastikan bahwa jalan sudah sepi.

Lita memasuki minimarket yang baru buka itu dan membeli tiga buah roti isi selai cokelat ; satu untuknya dan dua untuk Ibu serta anak tadi, selain itu dia juga membeli dua botol air mineral, kemudian ketika melewati rak obat-obatan, Lita mengambil satu strip obat panas.

Setelah membayar pakai uang sakunya, Lita kembali ke seberang jalan. Ia bersyukur karena Ibu dan anak tadi masih setia menunggunya disana, di depan sekolahnya.

“Bu, ini buat Adik dan Ibu sarapan,” Lita memberikan dua potong roti kepada si Ibu. “Setelah sarapan, obatnya segera diminumkan untuk Adik ya Bu?”

Mata Ibu itu berkaca-kaca. Berulang kali kata “Terima kasih” terucap dari bibirnya. Tanpa ragu, ia menyuapkan roti ke putrinya lalu meminumkan obat penurun panas yang dibelikan oleh Lita.

“Neng nggak makan?” tanya si Ibu.

“Oh, nanti saya makan di dalam kelas saja, Bu.”

“Neng sekolah disini?” Ibu itu menunjuk ke bangunan SMP megah yang ada di pinggir jalan tersebut.

“Iya, Bu,” jawab Lita.

Si Ibu memeluk putrinya lalu membantu gadis kecil itu untuk berdiri, katanya, “Bilang terima kasih dulu kepada Kakak!” ia pun meminta gadis itu mengucapkan terima kasih ke Lita.

“Makasih, Kak,” kata si kecil, lagi-lagi ia tersenyum manis.

Sekarang giliran mata Lita yang berkaca-kaca, tepat ketika bel sekolahnya berbunyi, Ibu dan anak anak kecil itu berpamitan. Sambil masuk menuju gerbang sekolahnya, Lita melihat kepergian mereka sambil teringat dengan Ibunya sendiri. Ia teringat semua perbuatan buruknya kepada Ibu dan Ayah.

“Maafin Lita ya, Bu. Nanti setelah pulang sekolah, Lita akan memeluk Ibu dan Lita janji akan lebih bersabar lagi dalam berjuang menjalani semuanya ini,” ucap Lita dalam hati.

Hatinya yang tadi terbakar karena amarah, kini berubah menjadi teduh kembali dan penuh kasih. Lita lega, kejadian pagi ini memberinya kesempatan serta alasan untuk tetap bersyukur. Ia pun sadar, mungkin kota ini masih terasa asing baginya, namun ia berharap bahwa satu kebaikan yang telah dilakukannya kepada sepasang Ibu dan anak tadi dapat membuatnya belajar tentang kebaikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEBUR

     Ibu sungguh-sungguh terobsesi menjadikanku aktris atau apapun itu yang bisa ditampilkan di televisi. Aku diantarnya ikut audisi demi audisi: menari, bernyanyi, berakting dan apapun itu yang biasa ditampilkan di televisi.      Anak kecil tak pernah tahu tentang tujuan hidupnya, orangtua yang bertugas membimbing anak-anak untuk mencapai cita-cita .      Itu yang selalu Ibu katakan.      Tak pernah sekalipun aku melawan sebab memang cuma Ibu yang mengurusku sendirian.      Hanya saja kelak ketika aku lepas dari masa remaja dan menjadi dewasa, aku tahu kalau terkadang ia tak sedang sungguh-sungguh seperti apa yang ia katakan. ***      “Aku lelah, Bu,” ucapku, memalingkan muka.      “ Casting ini untuk pemeran pendukung perempuan.”      “Lantas?”      “Hei! Bulan lalu seluruh uang Ibu sudah habis untuk berbagai treatmentmu di klinik kecanti...

Rekomendasi Pantai Hidden Gem di Gunung Kidul, Cocok buat Kaum Introvert yang Pengen Foto Liburannya Bersih dari Foto Manusia Lain

    Hei, Anda yang (katanya) introvert atau emang bener introvert parah seperti aku dan bestieku ini, bukankah di dalam hati Anda yang paling dalam, Anda tetap ingin jalan-jalan lalu berpamer ria di sosial media? Hhhh! Ngaku aja, deh!      Sebenernya yang paling penting bagi kaum introvert (mendang mending) adalah bisa berkelana kemana aja tanpa perlu memikirkan "harus/bakal bertemu siapa?" Jadi orang introvert itu sama sekali bukan katak dalam tempurung?! Ya dong!  (Karena katak bukan orang! Oke, skip!)       Nah, sekarang sebelum Anda berpikir terlalu jauh tentang mau healing kemana, sama siapa, nanti akan bertemu siapa, maka hal pertama yang Anda perlukan adalah keyakinan bahwa dompet Anda ada isinya, terutama buat beli bensin.       Jadi kalau di dompetnya cuma ada sepuluh ribu, ya jangan berpikir untuk ke pantai atau gunung dulu, ya cuk! Jangankan buat ke pantai, buat beli bensin dan starter motor thok, bisa-bisa...

TIGA KERAMAT

Kepala Suku/Ilustrator : Smavel Deck Ada tiga macam upacara adat yang akan mereka lakukan selama tiga hari berturut-turut. Aku wajib untuk ikut satu dari antara tiga itu. Tiga merupakan angka yang sakral bagi masyarakat suku di lembah Cendana ini. Dalam tujuh hari, mereka hanya boleh 3 hari bekerja. Hari-hari lainnya dipakai untuk beristirahat dan mengolah makanan. Anak umur 3 tahun wajib disunat. Remaja lelaki 13 tahun wajib hidup mandiri di pondoknya sendiri. Remaja putri umur segitu, yang belum menstruasi, wajib bekerja mencari ikan di rawa-rawa selama 3 hari berturut-turut untuk keluarganya. Jika sudah menstruasi, maka wajib dikawinkan dengan lelaki usia 1 3 tahun atau lebih. Ngeri memang mendengarnya, namun memang itulah alasanku datang kemari. Aku ingin tahu betul, bagaimana cara mereka bertahan hidup di bawah aturan yang sangat ketat, terkait angka-angka sakral yang telah mereka tetapkan sejak berabad-abad lalu. Mereka pun sangat terisolasi, jauh dari peradaban, ha...