Langsung ke konten utama

DENTANG

 

Lelaki tua bernama Markus yang duduk bertopang dagu di bawah pohon aren besar di muka gereja itu, terlihat menyulut rokoknya lagi, entah ke berapa kali. Ia duduk begitu saja di atas rumput gajah, tanpa kursi, tanpa alas. Tubuh dan pandangan Markus terarah pada gedung gereja Bethani yang sedang dipugar. Puntung-puntung rokok yang berserakan di sekitarnya cukup membuktikan kegabutan di hidup Markus.

Gabut?! Berani sekali si muda Ilham menyimpulkan demikian pada seorang lelaki yang mungkin seusia dengan Simbahnya?

Akulah si Ilham itu.

Gerutuku pada diri sendiri, “Huh, gara-gara Om Marthen, nih yang menjulukinya ‘Markus gabut’.” lalu perlahan, langkahku menuju pada Markus.

            Jalan raya yang berhadapan langsung dengan gereja ini sedang lengang, suara langkahku di atas jajaran konblok jadi terdengar begitu terang.

“Mbah..." sapaku pada Markus.

Sebentar lagi jam istirahatku. Seperti hari-hari sebelumnya, di jam begini, aku selalu berkeliling, memantau hasil kerja para tukang bangunan dan usai kegiatan pantau memantau, aku akan pergi ke warung nasi Padang yang ada di seberang jalan untuk makan dan udud1.

Sudah tiga minggu proyekku berjalan, dua bulan lagi kudu2 usai dan selama tiga minggu ini, hampir setiap hari Markus duduk di tempat yang sama untuk udud dan sekedar melihat-lihat saja.

"Mbah....!” panggilku lagi sebab dia belum membalas sapaanku, bahkan menoleh pun tidak.

“Ya,” Markus tersadar dari lamunan.

“Boleh saya duduk disini?”

“Oh, ya. Monggo3....”

 Aku tak terlalu mengenal Markus sebab aku memang bukan anggota jemaat gereja ini, namun keseringanku melihatnya duduk di depan gereja, membuat rasa kekanakan dalam diriku timbul, seperti melihat pada sosok Simbah.

Persis seperti yang Markus lakukan, kuletakkan pantat langsung pada rerumputan. Lalu, sekali lagi, sama sepertinya, turut kusulut rokok dan menghempas asap ke udara.

Lima menit kemudian, dentang lonceng gereja menggema, dua belas kali, pertanda tengah hari dan anak buahku, para tukang bangunan itu, mereka berhamburan keluar dari dalam gedung gereja. Sebagian menyapaku, lalu menyeberang untuk makan di warung Padang atau warteg bahari, sebagian lagi duduk di teras gereja dan membuka bekal makanan dari rumah, yang lain berjalan jauh menuju ke arah masjid untuk sholat.

“Mas Ilham...” sapa coaster gereja. Ia baru turun dari menara, akan berjalan menuju motornya yang terparkir di luar pagar sana. Selain bertugas membersihkan gedung gereja, aula dan bangunan lain serta area di sekitarnya, setiap hari, coaster akan datang kesini untuk mendentangkan lonceng gereja sebanyak lima kali ; jam dua belas siang, jam tiga sore, jam enam petang, jam dua belas malam dan jam enam pagi.

Nggih4, Pak Andreas....” kujawab, sopan.

 Andreas pun beralih dengan cepat pada Markus, sapanya dengan hormat, “Mbah Markus...” sambil melambai tangan.

Yo, yo...!” Markus menjawab, simpel, cuek.

Andreas sempat singgah padaku, menanyakan progress5 pemugaran gereja dan kujawab seikhlasnya saja, enggan kujelaskan lebih rinci.

Akhirnya lelaki paruh baya itu pulang, suasana hening kembali.

Asap rokok terus mengepul di antara aku dan Markus.

“Berapa nilai proyek ini, ya,  Le6?” suara serak Markus terlontar, membuat lamunanku terbongkar.

“Ehm...” rasa bingung menjerat pikiranku. Baru saja menghindar dari perbincangan mendetail tentang proses pemugaran gereja dengan Andreas, kini Markus gabut yang malah bertanya tentang nilai proyeknya.

Sebagai seorang kontraktor bangunan yang berkerabat dengan salah satu anggota majelis di gereja ini, maka semudah itu aku memenangkan proyek renovasi bangunan gereja tertua di kabupaten kami. Ya, walaupun modalnya tak sepenuhnya milikku dan melibatkan beberapa investor lain, tetap saja, karena aku masih muda, harus banyak belajar, makanya aku bertanggung jawab penuh untuk selalu hadir, mengamati dan menentukan progress, namun pertanyaan dari Markus terkait nilai dari proyek ini, masa’ iya harus dijawab?

Markus terbatuk-batuk, itu menjadi pengalihan yang bagus untuk tidak perlu merespon pertanyaannya.

"Haaahh..." ia pun menghembuskan napas panjang usai satu batuk yang terakhir, lalu terkekeh, menertawakan diri sendiri. "Asem7...baru udud dua batang, kok sudah seseg rasane8."

Aku jadi ikut-ikutan tertawa, namun bukan tertular oleh tawanya yang renyah, tawaku pecah setelah kulirik pada berbatang-batang sisa rokok yang terserak di hadapan Mbah Markus. Bahkan jika satu mataku picek9 sekalipun, takkan mungkin aku salah hitung kalau jumlah puntung itu sudah lebih dari dua kali dua ditambah dua, sama sekali tidak seperti "dua" yang dia maksud. Mungkin nyaris dua puluh puntung yang tercecer di sekitar tempatnya berlabuh.

Tawa heboh yang sempat memecah keheningan usai, kami terdiam lagi selayak Simbah dengan cucu yang cuma suka duduk berdampingan, tanpa banyak percakapan. Syukurlah, tidak ada pertanyaan lebih lanjut tentang nilai dari proyek yang kukerjakan. Aku bisa terus udud dengan tenang.

“Jangan salah sangka ya! Simbah nggak menanyakan nilai uangnya, lho!” Markus berujar, lalu terbatuk-batuk, ke sekian kali.

Oh, baguslah, tapi aku bergeming, tak ingin menanggapi.

“Kapan kalian akan menebang pohon aren ini?”

Aku tak mengerti, "eh," gumamku. "Maaf," jawabku, berusaha tetap sopan, “saya tidak tahu kalau masalah itu, Mbah. Saya hanya dikontrak untuk merenovasi bangunan gereja, bukan halamannya."

Lha dalahhh...satu detik kemudian, aku baru sadar, jawabanku barusan, nyatanya mirip dengan sederet lelucon kasar yang dapat menyinggung hati sensitif milik seorang pria tua.

Saya hanya dikontrak untuk merenovasi bangunan, bukan halamannya.

WTF10?!

Kupikir Markus akan marah, nyatanya dia terkekeh, lalu terbatuk, lalu terkekeh lagi dan terbatuk lagi. Kali ini, batuknya sudah tidak terdengar “lucu” seperti tadi.

Sungguh memang Markus yang gabut. Aku jadi ingat cerita dari Om Marthen. Dialah yang “mengajariku” menyebut nama ‘Markus gabut’.

***

Tiga minggu lalu, di teras rumah orangtua dari istriku.

Marthen : “Jangan kaget kalau nanti ada pendemo tunggal!”

Ilham : “Sopo kui11, Om?”

Marthen : “Jemaat gabut sing ora gelem leyeh-leyeh12 di rumah, tapi malah sibuk menentang renovasi gereja. Markus Sugito namanya.”

Pendemo tunggal?

Gabut?

Markus Sugito?

Ya, seperti umumnya masyarakat Kristen di Jawa yang memberi nama depan anaknya dengan nama alkitabiah, lalu nama belakangnya tetap “njawani13, maka sederet nama semacam itu sering terdengar, seperti nama yang disebut oleh Om Marthen : Markus Sugito, lalu nama Om Marthen sendiri : Marthen Sancoko, Ibu mertuaku : Kristin Suparti, Bapak mertuaku : Joseph Harjono dan masih banyak lagi. Tak mengherankan, namun mendengar diksi ; pendemo tunggal, gabut dan nama ‘Markus Sugito’ diucap, kelak, tak seperti prediksiku, lelaki yang dimaksud rupanya sudah sangat tua.

Ilham : “Kenapa Markus menentang, Om?”

Marthen : “Katanya, tidak sejalan dengan visi dan misi gereja, ini akan jadi terlalu mewah, terlalu ‘wah’. Ya memangnya kenapa? Gereja mampu kok. Ya itulah...Markus gabut, saking nggak ada kerjaannya.”

Aku manggut-manggut, tak ingin bertanya lebih lanjut, tetap bersikap profesional seperti seorang pemborong pada kliennya, bukan sebagai suami dari keponakannya.

***

Melepas ingatan tentang tiga minggu lalu di teras rumah mertua bersama Om Marthen, maka aku pun tersadar bahwa hari sudah makin tinggi, sudah cukup rasanya merokok dan bercengkrama dengan si kakek gabut.

Lapar sudah. Bagus, nih kalau makan ayam pop di warung Padang, namun, saat bokongku baru bergerak sedikit, Markus mulai berceloteh lagi, “tiga puluh tahun lalu, seluruh tanah gereja ini adalah kebun aren milik keluarga saya.”

Kayaknya seru, deh! Hilanglah rasa lapar yang sempat menggigit di dinding lambung, kembali aku duduk dengan nyaman, mendengarkan.

“Belum ada jalan raya seperti sekarang. Pokoknya disini hanya ada pohon aren yang besar-besar. Waktu saya umur lima tahun, usai Bapak dan Simbokku dibaptis, mereka mulai membawa kami, anak-anaknya untuk berjalan sejauh lima kilometer ke kadipaten sebelah setiap Minggu pagi.”

“Kenapa, Mbah?”

“Ya karena kadipaten kita ini belum punya gereja.”

Oh...itu maksudnya? Betapa bodoh aku! Macam pemuda pendek akal yang tak sungguh-sungguh menyimak perkataan seorang Simbah.

Lanjutnya, “lambat laun, kekristenan makin berkembang, semakin banyak pernikahan kristen, jemaat kristen di kampung dan seluruh kabupaten ini terus bertambah, kami berkeinginan untuk membangun gereja sendiri. Biaya belum cukup, makanya kami sekeluarga merelakan rumah kami sebagai tempat ibadah.”

Luar biasa! Markus (gabut) ternyata bagian penting dari perjalanan gereja yang sedang kupugar ini.

Ia menghisap rokok lagi, saya juga.

“Kami bergereja di rumah joglo besar milik orangtua saya, bagian depan sini masih hutan aren semua. Saya ingat, kami dan anak-anak dari kampung-kampung lain selalu rajin ibadah sekolah Minggu, rame sekali. Kami menggelar klasa14 di area terbuka, di atas rumput-rumput, di bawah pohon aren, lalu pernah suatu kali, semuanya bubar karena ada ular,” Markus mengenang sambil tertawa geli, “ya, maklum, lahan ini kebun aren yang liar.”

Turut geli aku mendengarnya.

Helaan napas panjang berbau tembakau yang kuat terlempar dari mulut Markus. Kulirik pada kotak rokok lintingan miliknya yang tergeletak di atas rumput, isinya tinggal satu batang. Kotak rokok itu berbahan alumunium, kapasitasnya serupa dengan satu kotak rokok jaman now. Jika setiap batangnya diambil, maka remah-remah tembakau akan runtuh di dasar kotak itu. Ini mengingatkanku pada Mbah kakungku15 yang telah lama berpulang pada sang Khalik. Jika beliau masih ada, mungkin usianya unda-undi16 dengan Mbah Markus sekarang.

            Markus terbatuk (lagi), tapi tetap lanjut bicara, “saat gereja sudah mampu membangun gedungnya sendiri, kami pun mewakafkan seluruh tanah ini untuk pembangunan gedung gereja. Kebetulan Bapakku mendapat warisan di kampung sebelah dan bisa membangun rumah lagi dari awal. Nah, sejak itulah, satu persatu pohon aren mulai dijual dan ditebang. Hasilnya turut kami persembahkan untuk kelanjutan pembangunan gereja.”

            “Oooo....”  decak kagumku tak terkatakan.

            “Awalnya bangunan gereja kami kecil sekali, seperti rumah beton biasa dengan banyak jendela dan tiga pintu utama. Gedung itu hanya bisa menampung maksimal seratus jemaat saja. Sangat sederhana, bahkan tidak ada salib yang menancap di atas atapnya, jauh dari kata ‘wah’ sebab kami memang hanya ingin beribadah.”

            Menyadari gedung mana yang ia bicarakan, tandasku, “gedung yang di belakang itu to, Mbah? Yang sekarang jadi gudang?”

            “Betul! Itulah gedung gereja pertama. Saat umat mulai banyak, gereja makin berkembang, maka dibangunlah gedung yang sekarang sedang kalian pugar ini, lalu dibangun pula pastori, dapur, aula dan pendopo. Wah, pesat sekali, kan perkembangannya?” Markus tersenyum. Senyum bangga sekaligus senyum yang sedikit kupertanyakan sebab si Markus gabut, nyatanya tak segabut yang Marthen ceritakan.

Rasa lapar mengigit lambungku lagi, tetapi aku masih berharap pada klimaks dari serangkaian cerita itu, maka kuabaikan saja, menunggu kalimat selanjutnya yang akan terurai dari mulut Markus.

Desir angin bergelanyut, lekas-lekas membawa suara lalu lalang kendaraan di jalan raya yang ada di belakang kami, pertanda tengah hari nyaris habis ; orang-orang selesai sholat, jam makan siang hampir lewat, namun Markus tak melanjutkan perkataannya yang sesuai harapanku, hanya sepenggal kalimat saja, “kalau membangun mbok, ya nggak usah terlalu megah. Entah apa yang terjadi, mungkin tembok gereja ini terlalu tinggi untuk mampu menyelami firman Tuhan lagi.”

Markus usai dengan satu isapan rokok.

Aku tak mampu menjawab, harus menanggapi apa? Jadi aku pun menghela napas dengan cara serupa, membumbungkan asap, tapi tidak membikin aroma tembakau yang sama seperti bau asap milik Marcus sebab rokokku berfilter, sebab aku anak muda, bagian dari orang-orang masa kini, sudah tidak merokok lintingan lagi.

Itu, kah yang dibicarakan oleh Om Marthen tentang Mbah Markus gabut yang menolak kemajuan? Itu, kah yang menjadi bedanya kita dengan segala jenis masa lalu? Bahwa segalanya beregenerasi menjadi sesuatu yang baru? Lalu ujung-ujungnya selalu saja generasi tua dan muda akan diperhadapkan dengan kata "bertentangan"?

***

Telah kulanjutkan pekerjaan di dalam gereja, sayup-sayup terdengar perdebatan di luar sana antara Markus dengan anaknya. Sang anak tak ingin Bapaknya melakukan itu lagi –duduk di muka gereja seperti orang gila– dan memaksanya untuk segera naik ke mobil, pulang, duduk di rumah saja, menyibukkan diri dengan membaca atau momong cucu-cucunya.

 “Sik...sik...tak pamit17...!” Suara Markus menggema. Kuintip dari jendela, tergopoh-gopoh jalannya melalui teras, memasuki gedung gereja.

Sebelum Markus tiba padaku, kulirik jam tangan. Jelas saja anaknya marah. Sudah berjam-jam beliau duduk disana, membuat keluarganya khawatir sekaligus kesal.

Tadi ketika kuajak makan, ia menolak, tidak lapar katanya. Kuacungkan sebotol air mineral dan hanya itu yang masuk ke mulutnya.

Le...Thole...” sesaat kemudian ia telah berada di dekatku.

Nggih.”

“Jangan lupa tebang pohon arennya!”

Keningku berkerut.

“Pohon aren terakhir yang ada di depan gereja, tempat kita bersandar tadi.”

Hanya anggukan kepala yang kuberikan.

Mbah Markus pamit padaku.

Beberapa detik berselang, lonceng berdentang sebanyak tiga kali, membawa kepergian Mbah Markus, menjauh dari gereja ini.

Itu terakhir kali aku bertemu dengan Markus. Aku lega, keesokan hari dan seterusnya sampai proyek ini usai, dia tak pernah membuat khawatir banyak orang dengan datang kemari lagi.

***

Kurang lebih satu tahun setelah gedung Gereja Bethani rampung dipugar, aku kembali berkeliaran di muka gereja itu, sambil merokok dan menatap pada megahnya hasil karyaku. Bedanya, tak seperti tahun lalu, kini aku tak duduk di bawah pohon aren tua yang telah rapuh. Pohon itu ditebang, seminggu sebelum gereja usai dipugar.

Tak lama, istriku keluar dari kantor majelis dan menghampiriku. Sebagai seorang mualaf yang dulunya adalah anggota jemaat gereja ini, tak sulit baginya untuk keluar masuk dan terhubung dengan beberapa anggota majelis demi menyerahkan amplop dukacita.

"Sudah?" tanyaku pada Ibu dari anakku.

Istriku mengangguk.

***

Mbah Markus meninggal tiga hari lalu dan dimakamkan siang tadi. Aku, istri serta anakku tak sempat melayat karena kami masih dalam perjalanan, terjebak arus mudik dan kemacetan. Sudah hampir setahun belakangan, kami sekeluarga menetap di ibukota yang jaraknya ratusan kilometer dari kampung halaman kami ini.

Hari ini, H-2 menuju lebaran, dalam perjalanan mudik itu, kami sempatkan untuk melayat, meski terlambat.

Di rumah duka, kami bertemu dengan Pak Frans, anak tertua dari Mbah Markus. Saat hendak berpamitan dan memasukkan amplop ke kotak duka, kami heran, dimana benda itu?

Pak Frans : “Tidak ada kotak duka, adanya kotak sukacita. Hehe. Jangan salah kaprah! Bukan berarti kami berbahagia atas meninggalnya Bapak. Yang jelas, Bapak sudah merasakan sukacita bersama Bapa di surga.”

Dari situlah Pak Frans mengarahkan kami untuk menyampaikan amplop kepada gereja sebab kotak suka, eh kotak dukanya atau apapun namanya, atas permintaan Mbah Markus sebelum meninggal, semuanya harus dipersembahkan bagi gereja.

***

Dari posisi dudukku di belakang setir, masih ingin kunikmati eloknya hasil karyaku ; gereja megah dengan tiga menara di atasnya, menara tertinggi ada di tengah dan salib tertancap di puncak. Meski salib itu bukan bagian dari pekerjaanku (dan tak mungkin juga jadi begitu), namun menatap dari bawah sini dengan mata yang lebih terbuka ketimbang waktu itu, tentunya menjadi pengalaman yang sangat berbeda.

“Pohon arennya sudah jadi pinus,” ucapku, lirih.

“Apa?” tanya istriku di jok samping. Ia masih sibuk mengatur posisi duduk dan memakai sabuk pengaman.

“Mereka sudah punya pohon pinus sekarang.”

“Oh...” gumamnya.

“Nanti sepanjang pagar ini akan penuh dengan pohon pinus yang tinggi-tinggi.”

“Iya, gerejanya akan jadi lebih bagus,” timpal istriku.

Dia tak mengerti maksudku, namun aku tak ingin terlalu banyak cakap untuk menerangkan apapun yang menurutku, sebenarnya itu perlu, sebab ada hal yang lebih penting bagi diriku sendiri : mengenang Markus sambil merenungi Tuhan.

Tak lama berselang, kunyalakan mesin mobil, bersiap meninggalkan gedung megah, –yang paling megah di kota ini– dengan temboknya yang tinggi. Saking tinggi dan megah, takkan nampak kalau kanan kirinya ada banyak rumah yang hanya berdinding triplek dan berlantai tanah.

Kami pun berlalu, tepat ketika lonceng gereja berdentang sebanyak tiga kali, membawaku pada kenangan tentang wajah renta Mbah Markus yang hangat dan bersahaja serta semua kalimatnya kala itu.

Keterangan :

1.      Udud : merokok

2.      Kudu : harus

3.      Monggo : silakan

4.      Nggih : iya

5.      Progress : kemajuan

6.      Le/Thole : panggilan anak laki-laki

7.      Asem : mengumpat (krama/halus)

8.      Seseg rasane : sesak rasa di dada

9.      Picek : rabun (kasar)

10.  WTF : What The Fuck (apa-apaan?)

11.  Sopo kui : Siapa, tuh?

12.  Sing ora gelem leyeh-leyeh : nggak mau santai

13.  Njawani : bercitarasa Jawa

14.  Klasa : tikar

15.  Kakung : pria (krama/halus)

16.  Unda-undi : seumuran

17.  Sik...sik...tak pamit : tunggu...tunggu...aku berpamitan dulu


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEBUR

     Ibu sungguh-sungguh terobsesi menjadikanku aktris atau apapun itu yang bisa ditampilkan di televisi. Aku diantarnya ikut audisi demi audisi: menari, bernyanyi, berakting dan apapun itu yang biasa ditampilkan di televisi.      Anak kecil tak pernah tahu tentang tujuan hidupnya, orangtua yang bertugas membimbing anak-anak untuk mencapai cita-cita .      Itu yang selalu Ibu katakan.      Tak pernah sekalipun aku melawan sebab memang cuma Ibu yang mengurusku sendirian.      Hanya saja kelak ketika aku lepas dari masa remaja dan menjadi dewasa, aku tahu kalau terkadang ia tak sedang sungguh-sungguh seperti apa yang ia katakan. ***      “Aku lelah, Bu,” ucapku, memalingkan muka.      “ Casting ini untuk pemeran pendukung perempuan.”      “Lantas?”      “Hei! Bulan lalu seluruh uang Ibu sudah habis untuk berbagai treatmentmu di klinik kecanti...

Rekomendasi Pantai Hidden Gem di Gunung Kidul, Cocok buat Kaum Introvert yang Pengen Foto Liburannya Bersih dari Foto Manusia Lain

    Hei, Anda yang (katanya) introvert atau emang bener introvert parah seperti aku dan bestieku ini, bukankah di dalam hati Anda yang paling dalam, Anda tetap ingin jalan-jalan lalu berpamer ria di sosial media? Hhhh! Ngaku aja, deh!      Sebenernya yang paling penting bagi kaum introvert (mendang mending) adalah bisa berkelana kemana aja tanpa perlu memikirkan "harus/bakal bertemu siapa?" Jadi orang introvert itu sama sekali bukan katak dalam tempurung?! Ya dong!  (Karena katak bukan orang! Oke, skip!)       Nah, sekarang sebelum Anda berpikir terlalu jauh tentang mau healing kemana, sama siapa, nanti akan bertemu siapa, maka hal pertama yang Anda perlukan adalah keyakinan bahwa dompet Anda ada isinya, terutama buat beli bensin.       Jadi kalau di dompetnya cuma ada sepuluh ribu, ya jangan berpikir untuk ke pantai atau gunung dulu, ya cuk! Jangankan buat ke pantai, buat beli bensin dan starter motor thok, bisa-bisa...

TIGA KERAMAT

Kepala Suku/Ilustrator : Smavel Deck Ada tiga macam upacara adat yang akan mereka lakukan selama tiga hari berturut-turut. Aku wajib untuk ikut satu dari antara tiga itu. Tiga merupakan angka yang sakral bagi masyarakat suku di lembah Cendana ini. Dalam tujuh hari, mereka hanya boleh 3 hari bekerja. Hari-hari lainnya dipakai untuk beristirahat dan mengolah makanan. Anak umur 3 tahun wajib disunat. Remaja lelaki 13 tahun wajib hidup mandiri di pondoknya sendiri. Remaja putri umur segitu, yang belum menstruasi, wajib bekerja mencari ikan di rawa-rawa selama 3 hari berturut-turut untuk keluarganya. Jika sudah menstruasi, maka wajib dikawinkan dengan lelaki usia 1 3 tahun atau lebih. Ngeri memang mendengarnya, namun memang itulah alasanku datang kemari. Aku ingin tahu betul, bagaimana cara mereka bertahan hidup di bawah aturan yang sangat ketat, terkait angka-angka sakral yang telah mereka tetapkan sejak berabad-abad lalu. Mereka pun sangat terisolasi, jauh dari peradaban, ha...