“Krincing, krincing,” suara denting mengudara, entah yang ke berapa kali? Aku tak dapat menghitungnya lagi. Yang pasti, setiap kali suara ‘krincing’ terdengar dari arah pintu bar yang dibuka oleh seseorang, maka sontak saja, kepalaku langsung tegap, segera menoleh ke arah pintu itu, mencari tahu, apakah dia yang datang?
Nihil! Denting terakhir yang terdengar itu masih sama seperti denting-denting sebelumnya, pertanda kedatangan pengunjung bar yang lain, bukan seseorang yang kutunggu sejak tadi.
“Ah, sial!” umpatku, kecewa. Kembali lemas rasa dudukku di atas kursi bar itu.
Bartender di hadapanku menoleh, keningnya berkerut.
“Bukan kamu,” ucapku pada si bartender. Maksudku, aku bukan memaki dia tapi tentang hal lain yang tak perlu kujelaskan padanya.
Ia menggeleng-gelengkan kepala, jengkel.
“Tambah lagi minumanku!” aku meminta.
“Baru sepuluh menit duduk disitu, sudah hampir lima sloki yang kamu habiskan. Sekarang mau tambah lagi?! Mabok kau, baru tau rasa!” bartender memakiku.
“Peduli amat?!” balasku, kesal.
Lagi-lagi bartender itu menggelengkan kepala, kemudian menambahkan satu sloki whisky ke arahku.
Kuhabiskan, satu kali teguk. “Lagi!!!” pintaku, usai menaruh sloki tadi diatas meja bar dengan sedikit kasar.
“Jangan teler disini! Aku nggak mau membopongmu sampai di taksi, lagi! Ditambah, tangismu itu yang bikin sakit kepala.”
Tak kupedulikan. Kepalaku berputar pada pintu masuk sambil terus menghayati setiap bunyi “krincing” yang bergemerincing dan kembali merasa kecewa sebab bukan dia yang hadir.
Satu sloki datang, satu teguk kuhabiskan, “Lagi, Ron!”
“Sudah tujuh ya?!”
“Ya memangnya kenapa, sih?! Kamu pikir aku nggak mampu bayar?! I’m a single women! Apapun bisa kubeli karena aku cuma hidup sendirian,” ucapku, sok, seolah-olah menghina bartender itu, yang punya empat anak dan istrinya tidak bekerja.
Ron, sang bartender, menghentakkan satu sloki di hadapanku sambil berucap, “I’m a real father! Apapun bisa kulakukan karena aku pria yang bertanggung jawab!”
Mataku berputar, lalu pura-pura kualihkan, “Aku nggak nanya, aku juga nggak nyindir kamu!” sedikit sesal setelah mengatakan hal yang kasar, padahal maksudku bukan demikian.
“Aku juga nggak nuduh kamu nggak bisa bayar!”
“Utangku sudah lunas, kan, Ron?”
Si bartender yang kupanggil “Ron” tidak menjawab, jadi kuanggap jawabannya sepakat dengan pertanyaanku ; ya, utangku di bar ini sudah lunas. Kecuali utang budi, mungkin yang itu memang sulit untuk dibayar sampai tuntas.
Beberapa kali aku mabuk, tidak membayar bergelas-gelas minuman dan berakhir di jok belakang taksi, maka Ron yang membayar ongkos taksi itu. Malam berikutnya ketika aku datang lagi dengan wajah memelas di muka meja bar ini, aku akan menyodorinya sejumlah uang (kadang untuk berhutang lagi), nah...wajah memelas dan tangisanku yang selalu Ron dengar dengan setia itulah utang budiku padanya yang belum bisa aku bayar lunas sampai hari ini.
Ini kunjungan pertamaku setelah berbulan-bulan absen minum-minum disini dan suara denting yang bersumber dari pintu utama di sudut sana (dan sebenarnya pintu satu-satunya), rupanya telah menjadi hal yang sangat mengganggu dibanding hari-hari dulu.
“Buruan, Ron! Satu lagi!” pintaku.
Sambil cemberut, Ronald menuruti permintaanku. Kuteguk satu kali, habis.
Sudah berapa banyak? Enam? Eh, delapan, tapi itu semua terasa belum sanggup membuat nyaliku kekar. Aku masih merasa ciut, tak cukup berani untuk menghadapi malam ini.
"Krincing...krincing...!" Bunyi denting sialan itu kembali mengudara.
"Ah," seperti bermenit-menit yang lalu, maka kutengok ke pintu. Bukan! Bukan dia yang kutunggu!
"Babi!" umpatku, lagi-lagi.
Sepasang muda mudi baru saja masuk ke dalam bar dan melenggang pelan melewati punggungku sambil cekikikan dan bermesraan. Aroma parfum langsung semerbak, menusuk saraf hidungku yang terdalam. Setan! Jelas sekali kalau ini aroma parfum murahan yang bisa direfill sembarangan, tokonya menjamur di berbagai sudut jalan di kota ini, dijual per mililiter, dikemas dalam botol kaca mungil dengan tutup spray yang berarti kapan saja siap pakai.
Oh, maaf, bukan berarti aku mampu membeli parfum ori dengan harga jutaan (sebab aku memang benci pada parfum, deodoran lebih baik ketimbang parfum), cuma maksudku, kalau memang menyukai parfum, apa harus parfum murahan seperti itu yang disemprotkan ke badan?
Sekali lagi, aku memang benci parfum. Itu sangat mencolok, menarik perhatian banyak orang dan aku tidak suka diperhatikan! (Aku tidak mau berdebat dengan pecinta parfum, sungguh, aku cuma mau bilang kalau bau ini sangat membuatku mual!)
Iseng-iseng aku bertanya pada Ron, "kalau kemari, mereka pesan apa?” kuarahkan mata kepada sepasang muda mudi yang baru lewat itu, lalu lanjutku, “bir? Setengah sloki, kah? Atau setetes? Hahaha..." ejekku, berkelakar kasar sambil kutengok lagi ke pojok ruangan, nampak kedua muda mudi itu langsung larut dengan empat kawannya yang sedari tadi asyik bermain bilyard.
Ronald melirik pada dua orang yang kumaksud, dia malah mencibirku, katanya, "Emangnya kamu? Yang semasa kuliah selalu susah???!"
Aku tak tersinggung, memang benar kata Ron. Dulu aku selalu susah, minum di bar ini bukan untuk senang-senang seperti kawan lainnya tapi karena memang Ron si pendiam yang mentraktirku, itu pun karena bapaknya yang punya tempat ini.
“Kamu sama sekali nggak menjawab pertanyaanku," tandasku, tenang.
"Halahhh...sudahlah. Kamu sebenarnya sedang menunggu siapa?" Ronald tambah kesal padaku. Sebenarnya dia sudah kesal sejak tadi, namun dia mengerti kalau malam ini aku sedang menunggu seseorang sehingga dia sedikit berbaik hati dan berusaha memaklumi.
Aku diam, tidak menjawab tanyanya. Salah sendiri, barusan aku bertanya, dia juga enggan memberiku jawaban.
Ronald pun menyodorkan satu sloki lagi diatas meja bar.
"Krincing...krincing..." denting lagi, ke...berapa? Entah! Tubuhku langsung tertegap, memutar leher ke arah pintu.
"Ah, itu dia!" kataku dalam hati, lalu dengan tegas, kuisi seluruh nyali, menyeret satu sloki di hadapanku kemudian meneguk seluruhnya sampai habis. Seketika, kudorong gelas itu kembali arah Ronald.
Rupa-rupanya Ronald turut memperhatikan pada kedatangan seseoranģ di pintu, "Owalah, dia yang kamu tunggu?!" tanyanya, setengah menghakimi, lumayan keras sehingga mengalihkan perhatian dua lelaki dan seorang wanita yang tengah duduk sambil minum bir dalam jarak tiga kursi dari tempat aku mendudukkan bokongku sekarang.
Tak tertarik aku pada tanya dari mulut Ronald, tak ingin aku tanggapi. Yang pasti, telah kupastikan bahwa nyaliku terisi penuh dan tuntas, lantas kutoleh lagi ke arah pintu.
"Heeeiii...! Mia!" teriak itu berkobar dengan cepat dari seorang wanita yang baru datang dan kuyakini dengan pasti bahwa dialah yang membuat bunyi "krincing" paling dahsyat sepanjang malam ini.
Mulanya bunyi "krincing", lalu lanjut suara melengkingnya nan khas, seperti pemantik yang sempurna untuk menyulut api lama yang tersekam di dalam kepalaku.
Aku, yang dipanggil Mia, segera melambai dan membiarkan sekam api itu terkobar, (lalu mungkin) demikianlah lahirnya dalam mukaku ; memerah.
"Macam tak ada kawan yang lainnya aja!" Ron menggumam, lalu dia berpaling, melayani pelanggan lain.
Dengan langkah gemulai bak model baju pantai, tapi tidak --bukan itu yang kumaksud, sungguh, dia memang sangat bergairah sejak dulu-- ia mendekatiku. Dapat kulihat dengan jelas, bibirnya berlipstik merah, kulit terangnya terlihat makin cerah dibanding dahulu kala ketika kami masih duduk di kursi kuliah. Lengannya menenteng tas Longchamp, tubuhnya bergaun merah, tak kalah merah dari lipstiknya, gaun itu ketat sebatas lutut, lalu jaket jeans biru terang menutup tubuh itu, terakhir, rambutnya yang hitam kelam dibiarkan terurai.
"Cantik, berkelas," kurang lebih itulah kesan pertama yang akan kita simpulkan saat menangkap pandang pada si kawan lamaku, benar-benar kawan lama yang sudah lama tak jumpa.
Dengan cepat, dia telah berada di hadapanku, si wanita biasa-biasa ; berkaus oblong putih dan celana panjang denim indigo yang sedikit usang. Sekarang aku mulai ragu, api yang mulai tersulut dalam benakku ini, apakah api yang menyala karena rindu atau karena aku sesungguhnya tak pernah ingin menempatkan diri lagi di hadapanmu?
"Astagaaa sayang...kamu makin kinclong aja, deh," ia memberi kedua pipinya pada pipiku, lalu memelukku.
"Nggak salah? Kamu keles yang tambah bening!" pujiku, tulus, jujur, jelas tak seperti dia.
"Ah, biasa aja," jawabnya.
Ron yang baru usai melayani beberapa tamu lain di meja bar ini, kini telah berada di hadapanku lagi. Ia memandang padaku dan kawanku, seolah menunggu tugasnya untuk giliran melayaniku (lagi).
Angie, kawanku yang cantik itu, mungkin merasa kalau dirinya tidak disapa dengan baik oleh sang bartender, padahal kami bertiga saling mengenal dalam rentang waktu yang lumayan lama saat kuliah, maka Angel pun berdehem dan berujar padaku dengan lantang, sambil melirik ke arah Ron, "Kamu masih suka, ya datang ke bar kumuh ini."
Ron tidak panik, dengan tenang dan cepat, ia membalas, "Oh, Mia, kamu juga masih suka, ya berteman sama si sok sosialita ini?!"
Arrrggghhh, kini aku yang buyar. Kupikir kepalaku sudah cukup ambyar, namun rupanya aku masih waras, mampu kuingat dengan jelas, kalau mereka (dan kami) memang telah saling mengenal sejak lama, namun bukan perkenalan yang baik.
"Eit, eit, eit....! Stop!" tandasku ke arah mereka berdua, berlagak seolah wasit di arena tinju elit nan ganas.
Ron memandang jijik pada Angie dan Angie pun mencibir, mengibaskan rambut panjangnya yang beraroma apa, entah, yang pasti aroma mewah, tidak seperti parfum isi ulang yang dipakai oleh sepasang muda mudi di sudut bilyard sana.
Untuk melengkapi gaya kesalnya, Angie melingkarkan kedua tangan di depan kedua dadanya yang besar (terakhir kulihat, tiga tahun lalu ketika ia mengajakku berlibur di pulau Komodo dan kami menikmati sunset di tepi pantai, dada itu masih berukuran kecil. Ah, segala sesuatu memang mudah dibuat jika dompetmu padat. Mau seberapa besar? Seukuran bola kaki pun jadi!)
"Sudah, ayo kita pindah," aku turun dari kursi bar dan menggandeng pundak Angie, usai menguras habis pandangku pada dadanya yang kenyal dan berisi.
"Iya! Kita pindah aja ke bar lain di tengah kota! Ngapain disini?! Ayo! Aku traktir kamu sepuasnya, minuman apapun yang kamu mau, yang enak-enak!" Angie bersuara makin keras, membuat lima sampai enam pengunjung lain di sampingku menoleh ke arahnya.
Tentu saja Angie tak àkan mengecilkan volume suaranya, sebab memang itu yang dia inginkan ; menjadi terpandang dalam arti yang sebenarnya.
Aku melirik pada Ron yang melengos kemudian berlagak mual dan ingin muntah.
Kutarik lengan Angie namun tubuhnya berasa kaku, tak mau berpindah, terus mengoceh ngalor ngidul, menghina bar milik Ronald, "coba, deh kamu lihat tempat ini, gak pernah berubah sejak belasan tahun yang lalu, tetap pengap dan jorok!"
"Enggak, maksudku, kita pindah duduk disana!" aku memaksa Angie untuk menuju ke area booth seating. Angie menolak, misuh-misuh ke arah Ron namun tetap kupaksa si seksi itu agar mau berpaling ke tempat duduk di luar area meja bar.
"Iya! Pindah aja ke tempat lain! Jangan disini!" Ronald membentak pada Angie.
"Eh, Mia! Bayar dulu!" Ron berujar keras pula padaku.
Suara Ronald semakin mengundang perhatian orang di sekitar, bahkan para muda mudi di area bilyard pun turut menoleh.
Kuangkat telunjuk tangan kananku ke Ronald, "Ssssttt!" kusuruh dia untuk diam sambil terus kupaksa Angie supaya tenang pula.
Angie pun menyerah, kugiring langkahnya menuju ke booth seat. Di bawah temaram lampu bar yang terasa malas-malasan untuk bersinar, Angie mengacungkan jari tengahnya ke arah Ron. Entah bagaimana tanggapan Ron, tak perlu kutengok, aku hanya ingin duduk dan menghadapi Angie, sebelum Ron mengusir kami. Oh, iya, aku belum bilang tentang sepatu Angie...kurasa sepatu itulah yang membuat tampilannya kian mencolok : hak tinggi lancip dengan ujung runcing, membuatnya tampak jauh lebih tinggi dariku.
Kuseret tubuh Angie, derap langkahnya bersuara karena ujung hak sepatu itu.
Jadi akhirnya kami pun duduk ; Mia dan Angel, sepasang sahabat yang telah lama tak bersua.
"Kenapa kamu nggak mau pindah, sih???!" Angie masih kesal, meski sudah duduk tenang.
"Aku kan sudah biasa disini. Lagipula sejak awal kamu sudah setuju untuk ketemu di bar ini."
"Ya karena rumahmu memang di sekitar sini. Tapi maksudnya, aku cuma mau jemput kamu aja disini, terus kita pindah. Ayo kita pindah aja!"
"Nggak lah, Ngie...! Disini aja. Kamu, kan tau sendiri, aku bakal bersikap gimana kalau di tempat yang nggak biasa aku kunjungi. Aku sulit menyesuaikan diri."
"Kan ada aku! Kamu nggak sendiri!"
"Kita disini aja... lagipula, kan kamu juga tahu, gimana kelakuanku kalau sudah mabok! Aku nggak mau merepotkanmu di tempat asing."
"Halah...kamu kebanyakan alesan!"
"Atau gini aja," tiba-tiba terlintas ide di pikiranku yang masih membara, "kamu traktir aja aku minuman, sebanyak-banyaknya, yang paling mahal," lalu aku sadar kalau itu bisa jadi terkesan sangat matre dan opportunis, jadi aku berniat untuk memperbaiki kalimatku.
Tapi, dasar memang Angie yang suka pamer, jadi tak masalah baginya, "ide bagus!!!" tandasnya, cepat. Dia pun membuka tas dan mengambil dompet kulitnya, lalu memberikan satu kartu kepadaku, "nih, kartu kreditku. Pesan aja semaumu! Dia tadi juga menagih minumanmu, kan?! Berapa sloki kamu minum?! Bayar aja sekalian pakai kartu kreditku!"
Mataku bersinar, "pinnya masih sama, kan?"
Kuambil kartu itu dengan cepat dan segera beranjak.
"Masih..."
"Tanggal, bulan dan tahun lahir kekasih?" tanyaku, sambil berlalu.
"Mantaaannn...!" jawab Angie, cepat, lalu menyulut rokok, tak peduli.
Aku terkekeh, melangkah ke depan meja bar dan langsung tersenyum pada Ronald
Ronald menatapku dengan sinis.
Kataku, "aku harus teler malam ini!"
Ron menggeleng-gelengkan kepala, "kamu bakal kacau malam ini."
"Lebih baik daripada harus fokus sama ocehannya," tandasku, lalu naik kembali ke kursi bar, sama seperti beberapa menit lalu, "Jack Daniels, 3 botol. Chivas 18, 2 botol," ucapku lagi dengan songongnya.
Ron mengambilkan pesananku, lalu menaruhnya diatas meja bar.
"Cash?" tanya Ron, lalu melangkah mendekat pada mesin kasir.
Aku turun dari kursi. Langkahku turut menyusul Ron.
"Credit Card. Ini punya Angie, sekalian masukin juga tagihanku tadi," kuacungkan kartu itu pada Ron.
Ron mencibir, dilihatnya dengan jelas, nama Angelica Soemoko tertulis disana. Aku pun menoleh pada Angie. Rupanya perempuan itu juga tengah melempar mata padaku dan Ronald, seolah ingin memastikan bahwa namanya telah terlihat dengan benar sebagai pemilik kartu platinum itu.
Yahhh... Begitulah Angie!
"Biasa aja. Yang kaya, kan bukan dia, tapi suaminya," Ron berujar, seolah menolak untuk setuju dengan sikapku yang menjadi pendukung setia bagi Angie yang kaya raya.
Ronald menggesek kartu di mesin lalu mengarahkan padaku. Kuketik enam nomor pin disana.
"Tanggal ultah pacarnya?" celetuk Ron.
"Oh...kamu dengar yang dia bilang tadi?" aku balik bertanya.
"Kalian berdua ngobrol macam di hutan," jawab Ron.
Memang, suara kami terlampau keras kemana-mana.
"Cuma tanggal itu yang paling mudah untuk dia ingat," jawabku.
"Karena dia bodoh. Cantik, tapi bodoh."
Tak perlu kutanggapi.
"Pacarnya yang mana, nih? Waktu kuliah aja, berapa orang yang dia pacari?! Berapa kali dia gonta ganti pacar?! Kalau perlu, dosen pun akan dipacarinya."
Aku hanya menghela napas, tetap tak ingin memberi tanggap, "udah lah...! Mana sini struknya?!"
***
"Krincing...krincing..." suara itu terus menerus berdenting tiap kali seseorang, dua, tiga orang atau rombongan masuk ke bar ini seiring malam yang terus larut dan keramaian mencipta carut marut.
Aku pun makin larut dalam obrolan yang tiada henti. Kini perlu kutegaskan bahwa obrolan yang kumaksud ini bukan seperti jalinan interaksi yang dibayangkan oleh banyak orang sebab mulut Angie, hanya mulut dialah yang senantiasa berucap, tak henti, seperti laju kereta ekspress yang sering terdengar di balik tembok bar kumuh ini.
Tugasku hanya sekedar mengiyakan. Apapun yang dia katakan, aku cukup menyetujui itu, sambil tetap meneguk minuman demi menjadi teler sungguhan.
Masih sama seperti tiga tahun lalu ketika kami berlibur bersama di pulau Komodo, atau tahun-tahun lain sebelumnya, semenjak Angelica menikah, dia hanya akan berceloteh tentang satu hal, bahwa dia bahagia.
“Ayolah Mia, kamu bisa ikut aku sebentar ke metropolitan. Rasakan sejenak keindahan kota metro! Ambil cuti, seminggu aja! Kutanggung tiket pesawatnya dan semua biaya hidupmu selama di kotaku, yang penting kita bisa pesta...! Hahaha..." lalu berteguk-teguk masuk lagi.
Itu tiga menit lalu dan dia sudah mendapat jawabku ; kugelengkan kepala, aku bilang kalau aku takkan mampu mengikuti gaya hidupnya.
Kini, dia mengulang lagi omongannya itu, seperti sedikit memaksa, "kamu harus ikut ke metropolitan, Mia! Seminggu aja cuti, masa' gak boleh? Kamu sudah bekerja di firma hukum itu sejak kita lulus kuliah, bayangin! Sejak 11 tahun lalu, gaes! 11 tahun lebih, tambah 1 tahun lagi, ibarat anak, udah masuk SMP, tuh dia! Huahahaha..." dia tertawa keras. Meski sekeras ringkikan kuda yang hendak melahirkan di tengah riuhnya perkotaan, namun tidak begitu menarik perhatian sekitar sebab Ronald, sang bartender sekaligus pemilik (lebih tepatnya, pewaris) tempat ini, dia menyetel lagu-lagu ACDC dengan cukup keras.
Yah...gagal dong usaha Angie untuk menarik perhatian orang, bahkan aku pun sebenarnya sudah tidak terlalu memperhatikan.
Menanggapi omong kosongnya itu, aku tetap menggeleng, tak berminat pada tawarannya untuk turut serta ke kota metropolitan di ujung pulau.
"Jangan tersinggung!" katanya, sambil menghisap rokok dan menghempaskan asapnya di udara. Mungkin dia sadar kalau perumpamaannya tentang seorang anak untuk menggambarkan betapa aku telah sangat lama bekerja di firma hukum itu, agaknya sangat cocok dengan kehidupan pribadiku yang terlalu stagnan dan hampa.
Ya, tentu saja, Mia si single women.
"Sejak kapan aku pernah tersinggung sama omonganmu???" jawabku, tegar.
"Meskipun itu sungguhan dan bukan bercanda, ya? Hahahaha..."
Tawa setan yang sudah terlalu sering aku dengarkan, jadi aku kebal, bebal. Sikap-sikapnya yang aneh dan sering menjadikanku lelucon murahan, itu sudah biasa
Tiga tahun lalu, ketika berlibur di pulau Komodo, saat kami berdua tengah asyik berbaju renang dan menjemur diri sambil minum anggur merah di tepi kolam milik sebuah resort mewah, dia pun sempat mengatakan hal-hal yang nyaris sama seperti apa yang dia katakan malam ini, semacam ejekan bermodus kritik pada Mia, "sang perawan tua yang susah laku”.
Omongannya yang paling kuingat di pulau Komodo itu adalah : "Gimana cowok mau deket sama kamu kalau kamu dekil begitu?"
Aku terhenyak, kuangkat kacamata hitam yang menutupi kedua mataku, lalu kutengok padanya, "dekil apanya? Kita, kan berjemur supaya kulit kita jadi lebih cokelat. Kamu sendiri yang bilang, disini banyak bule, bagus, kan kalau kulitku jadi tambah gelap?"
"Bukan itu, Mia! Coba cek, deh bulu ketekmu! Kamu cukur sendiri, ya???! Kenapa nggak waxing aja, ih?! Sisa bercukur bakal ninggalin warna item macam tumpukan daki di ketek, tau nggak???! Jorok! Dekil!"
"Eh," kuturunkan tanganku dari atas kepala setelah sadar kalau posisi itu membuat ketekku jadi sangat terbuka dan mudah diawasi oleh siapa saja.
Angie yang mengamatiku dari kursi sebelah dengan posisi telungkup lantas membalikkan badan lalu memamerkan ketiak putihnya dengan elegan ; menaruh lengan diatas kepala. Mulutnya tetap mengoceh tentang betapa mahal biaya perawatan untuk ketiak itu (dan tentu biaya untuk menghilangkan bulu-bulu yang lain di seluruh tubuhnya, tanpa terkecuali), namun dia merasa bahwa pengorbanannya sebanding dengan hasil yang sudah ia terima ; bersih, mulus, bahkan nyamuk yang hinggap pun takkan sempat menggigit kulitnya, sudah kepeleset duluan!
Dan dia berharap aku juga bisa seperti dia (?!).
Aku tersinggung? Tidak! Tidak terlalu. Memang dia sudah sukses dan kaya raya. Wajar saja jika dia "geli" melihat ketekku yang hitam legam, bekas bercukur. Lagipula, saat itu, dia yang menanggung sebagian biaya berliburku disana. Jadi ya sudah, lah, aku terima-terima saja ocehan gilanya. Eh, perlu kuralat, maksudnya, dia yang menanggung sebagian biaya berlibur itu di awal, seperti tiket dan resort mewah, lantas Mia yang tak ingin berhutang budi, berkomitmen untuk mengganti.
Angie tentu menolak, namun pada akhirnya, aku tetap bersikeras mengganti uangnya, meski butuh waktu berbulan-bulan untuk sedikit sedikit mentransfer sejumlah uang yang menurutku, jumlah itu cukup besar, namun aku lega, akhirnya bisa lunas dan aku tak perlu merasa malu lagi setiap kali melihat postingan kami di media sosial yang menampilkan betapa seksi foto kami berdua, berbaju renang di pulau itu.
Ya, aku cukup lega, walau kadang iri juga, dia yang sudah beranak tiga, masih bisa sama langsingnya denganku yang belum pernah beranak satu anak pun.
Itu dulu, tiga tahun lalu, liburan terakhir bersama karena kami masih tinggal di kota yang berdekatan. Beberapa bulan setelah liburan itu, Angie, suami dan ketiga anaknya pindah ke metropolitan karena sang suami yang notabene manajer keuangan di sebuah perusahaan farmasi, ia dipindahtugaskan dan jadi kepala cabang disana. Agaknya sejak itu, kehidupan Angie jadi lebih “wah”.
***
Malam ini menjadi pertemuan pertama kami sejak pertemuan terakhir di Pulau Komodo, tiga tahun yang lalu. Selama terpisah jauh, kami hanya sering aktif berbincang melalui chat di sosmed ataupun pesan pribadi di aplikasi.
Sebagai wanita mapan yang punya banyak teman, Angie selalu aktif di sosial media. Dia kerap memposting banyak foto atau story, semuanya tentang kesenangan : liburan di luar negeri, makanan mewah, belanja barang-barang mewah, hidup yang glamour, anak-anak yang sehat dan sejahtera, serta suami tampan yang penyayang.
Sedangkan aku? Hanya ada 3 foto di beranda akunku : fotoku saat wisuda (puluhan tahun silam), foto berdua bersamanya di Pulau Komodo dan yang terakhir baru kuunggah kemarin siang ; fotoku di makam Bapak.
Sekarang, malam ini, detik ini juga, aku merasa itu harus segera kuhapus! Bukankah aneh?! Hanya ada 3 foto disana, 2 foto sebelumnya melambangkan rasa syukur dan bahagia, berselang lama aku tak memposting apapun, tiba-tiba saja foto kuburan yang kuposting! Siapa pula yang mati, lupa tak kujelaskan di narasi. Jangan-jangan, lama menghilang dari peradaban di sosial media, membuat orang berpikir kalau itu diriku sendiri yang mati, lantas kini bangkit lagi dan berkunjung ke makam sendiri.
"Ah," segera kuambil ponsel diatas meja, kuhapus postingan terakhirku di kuburan. Sementara itu, Angie masih terus mendengungkan ocehan yang hanya perlu terus kuiyakan, tentang hal itu-itu saja, yang terus menerus diulang-ulang, seolah butuh untuk kuvalidkan.
Makin banyak ia minum, makin banyak pula omongan yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya aku tak perlu terlalu banyak mendengarkan, sebab suara musik yang berlagu sudah cukup untuk meredam kecepatan suara Angie sehingga yang sampai di kupingku cuma tawanya saja. Itu bagus. Sangat bagus. Cukup adil bagi kami. Masing-masing akan merasa cukup aman. Aku bisa tuli dan Angie tetap bebas nyerocos sesukanya seolah aku sedang mendengarkan.
"Hahaha...." cuma kekeh-kekeh semacam itu yang perlu kulakukan, lalu aku akan meneguk lagi, sampai tambah puyeng, tetap pura-pura menyimak, meneguk lagi, sampai tambah teler, toh memang itu yang kuperlukan sejak awal, sejak sebelum Angie duduk di hadapanku malam ini untuk berceloteh, pamer dan mendongeng ria. Hanya itu yang kuinginkan sejak kutunggu kedatangannya lewat setiap bunyi denting yang hadir di pintu bar kumuh milik teman kami. Bahkan mungkin sejak dulu, sejak puluhan tahun lalu, cuma ini yang aku perlukan : aku ingin teler bersamanya.
"Aku benci musik-musik ini. Bener! Aku pengen dugem sekarang."
"Ha?" kali ini aku tak bisa untuk pura-pura tuli sebab ini lagu yang kusuka, "apa? Kenapa? Lagu ini bagus!"
"Aku pengen dugem. Musik musik elektronik. Bukan ini! Ada DJ. Kamu tahu itu. Bukan ini, sumpah, bukan ini!" jawabnya. Lalu ia berteriak, "huuuu... Ronald! Bangsat kau! Ganti lagunya, bangsat! Sejak dulu aku benci sama kau!”
Aku menggeleng-gelengkan kepala, kutoleh pada Ron di meja bar yang padat. Sibuk sekali dia, takkan mungkin peduli padaku dan Angie.
“Roooon!!! Si idealis bodoh yang bikin Mia jadi pecandu bar kumuh ini! Ganti lagunya, bangsat!!" Angie berteriak makin keras, makin tak peduli, pertanda sudah makin "tinggi".
"Sssttt...." ucapku pada Angie sambil terkekeh, kusodorkan tanganku ke wajahnya supaya dia berhenti berteriak, terlebih ketika kutengok kanan kiri, para pria di sekitar kami mulai melirik mesum, tertawa geli, memandang Angie seperti ingin meremasnya. Bangsat!
Apalagi, dialah yang tampilannya paling mencolok dan mewah di antara semua pengunjung disini (lirikan mesum itu seperti apa? Hanya jika kau wanita, maka kau akan tahu tentang apa yang kumaksud).
Angie tetap mengabaikan. Dia terus berteriak sesukanya, "woy...! Ronald! Kemari kau bangsat...! Ganti lagunya! Taruh DJ disini!" lalu terkekeh keras.
Aku tak akan menghentikannya, itu percuma. Aku tahu, Angie tak sekuat aku dalam hal meneguk minuman dan permabukan. Jelas saja aku sudah meneguk lebih banyak, sebab sebelum Angie datang, Ronald telah lebih dulu melayaniku dengan sloki-sloki di meja bar tadi, namun aku merasa masih waras (atau hanya perasaanku saja?). Itu berarti, aku masih perlu lebih banyak minum, menjadi lebih teler, lalu pulang dalam damai.
Denting demi denting dari pintu itu terus berbunyi, mengantarkan orang masuk kemari dan atau keluar, menjauh dari tempat kumuh ini, pertanda pula kalau malam sudah makin tinggi namun aku dan Angie tetap tak ingin berhenti.
Usai berkoar tentang sebuah apartemen yang baru saja dibeli oleh suaminya, Angie malah mengucapkan kata-kata yang membuatku bingung sebab di tengah kalimat, tersemat kata tanya dan itu artinya tidak cukup jika aku hanya merespon dengan kata "iya" atau tertawa saja, kini aku musti memberi jawab.
Begini ujarnya, "Mia, kamu tahu, nggak? Tahun ini, Ricky juga membeli sebuah vila mewah di kaki gunung Semanggi. Dan kamu tahu, berapa biaya yang dia habiskan untuk membeli itu?"
"Apa???" tanyaku, keras. Lalu aku tertawa, "Mana kutahu! Darimana aku tahu? Aku bukan istrinya, kan kamu yang jadi istrinya, hahaha."
"Iya juga...hahaha..."
"Hahahaha..."
"Tapi sekarang kamu harus tahu, Mia...! Kamu harus tahu!" lalu ia menghisap rokoknya.
"Kenapa?" kenapa aku harus tahu? Aneh sekali!
"Karena harganya mahal sekali....! Muahaaal," Angie yang teler itu lantas menatap mataku, lalu ia mengatupkan bibirnya, membuat mimik serius dengan memainkan bibir itu, seolah sedang berpikir dan ingin agar aku turut mendapat kesan demikian dari sana. Kendati telah disentuh terus oleh minuman keras dari bibir gelas, namun lipstik merah masih menempel di bibirnya itu dengan sangat indah. Wajar, lipstik mahal.
Keningku berkerut.
Dalam hatiku, "ya lantas kenapa kalau mahal? Kan suamimu mampu. Lalu aku harus memberi tanggapan apa? Tepuk tangan? Itu, kah yang kau harapkan?"
Tapi itu cuma dalam hati, di kenyataan, aku diam.
"Harganya mahal dan pastinya, dia bayar cash!" lanjut Angie, lalu menghisap rokok lagi, melambungkan asapnya tinggi-tinggi.
"Oh," tandasku sambil manggut-manggut, respon yang sama seperti sedia kala, yang penting intinya : "iya, deh...iya..."
"Pastinya dong, dia mampu beli cash! Tapi ada satu hal lagi yang lebih pasti...! Kamu harus tahu!" kali ini suara Angie malah terkesan horor, seolah-olah suaminya musti ngepet untuk bisa membeli vila itu secara cash.
Lagi-lagi aku enggan merespon. Bar ini sudah cukup horor, kenapa musti membuat suasana menjadi lebih horor?
Ya maksudnya, aku musti merespon apa dan bagaimana?
"Tanyain aku dong! Tanyain aku!!!"
"Apa?" kesal sekali rasanya, ingin kujitak ini orang!
"Tanyain aku!" Angie memaksa sekali.
"Harganya?!"
"Bukan, bodoh!” umpatnya padaku, lalu pandangnya berlari lagi ke meja bar dan berteriak, “hei, Ron...! Bodoh kali lah kawan kau ini, sama denganmu! Hahaha..."
Jelas Ron tidak dapat mendengarnya, kami jauh dari meja bar, sedangkan Ron makin sibuk dengan pelanggannya dan lagian, suara musik terlampau keras sehingga mampu membenamkan suara Angie.
Aku mendengus, kesal, namun turut tertawa, "kamu mau aku bertanya apa sama kamu? Sudah pasti vilamu itu mahal kan???"
"Nah itu!!! Itu! Itu pertanyaan yang bener!"
"Apa???!"
"Pertanyaanmu itu bener!"
"Bagian mananya? Sudah terjawab dong! Vilamu pasti mahal, kan? Aku tahu itu! Tidak perlu bertanya lagi untuk itu! Berapa milyar angkanya?! Apa musti ditanyakan juga? Hahaha. Oke, oke, aku tanyakan, berapa harganya, Angie? Berapa harga vila mahalmu itu?" aku jengah, tapi tetap tertawa, sebab sia-sia rasa kesalku jika harus kutumpahkan dalam kemarahan, dia telah cukup mabuk dan memuakkan.
"Bukan itu! Bukan itu, bodoh!"
Kutenggak lagi dari gelasku.
"Tentang harga vila yang mahal, itu sudah pasti! Tapi apa tadi katamu? Vilamu? Mu-mu itu maksudnya aku? Ha???"
Pandangku berputar ke kanan kiri, lalu kulihat pada jam tanganku, sudah lewat tengah malam. Apa, sih maksudmu, Angie?! Sungguh! Aku sudah lelah meladenimu. Kutengok lagi ke sekitar, banyak tawa bersliweran, kepul-kepul asap rokok melambung tak karuan, obrolan para pemabuk makin berkumandang.
Kenapa aku tak bisa seperti mereka? Cukup bersuka ria dan menikmati suasana.
Aku terpojok! Tak bisa kurasakan lagi tubuhku sepenuhnya.
Mataku berlari pula ke meja bar, kursinya penuh. Di waktu waktu lampau, aku hanya minum sendiri di meja itu, tidak berteman dengan siapapun, tidak peduli pada siapapun. Seramai apapun meja itu dan sebanyak apapun orang di sekitarku, tetap saja aku akan sendiri, mulai duduk disitu pukul delapan malam, jika sudah mengantuk, aku akan pulang, dua atau tiga jam kemudian, sebelum tengah malam. Jarang sekali rasanya aku bercengkrama dengan orang-orang.
Akhir-akhir ini, sudah lama aku jarang kemari (semakin tua, semakin nyaman untuk minum sendirian saja di rumah, sampai tertidur di atas kasur, tanpa ada yang melihatku), sekalinya kemari, langsung habis energiku demi si Angie.
"Heh! Miaaaa...! Jawab, dong!!"
"Apaaa...?!"
"Apa tadi kamu bilang?" Angie yang teler mendesakku terus dengan pertanyaannya yang tak dapat kumengerti.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, menarik napas dan menghembuskan perlahan, "vilamu, kan?!"
"Nah itu! Itu masalahnya! Kau bilang apa? Vilamu, kan??! Yakin kau kalau vila itu milikku? Vila itu untukku?! Ha? Hahaha....!"
Aku tak mengerti.
"Mia... Mia... bodohmu nggak hilang-hilang...! Apa kau lihat kalau aku pantas mendapatkan vila itu, kah Mia? Hahaha..."
Aku masih tak mengerti, malas berpikir dan menyelami.
"Aku? Angelica Purnamasari ini, cewek terbodoh di jurusan ekonomi di kampus kita, aku pantas dapat vila mahal di kaki gunung Semanggi sana? Hahaha..."
Mia masih tak mengerti.
Kupikir, mungkin aku salah dengar atau kalimat yang terdengar tidaklah utuh, hanya sepotong sepotong saja. Aku yang sudah mulai terganggu dengan suara musik yang menderu dan menggebu, kini direpotkan lagi dengan perkataan Angie yang makin sulit dipahami.
Di satu sisi, aku ingin tetap bersikap tidak peduli, semacam "iya iya" saja dan cukup minum sampai menjelang pagi, tapi di sisi lain, ada dorongan dari dalam diriku yang berusaha untuk mencari tahu, apa maksud perkataan Angie itu?
"Apaaa....?! Apa, Angie...?!!" tanyaku lantang, berharap teriak ini dapat menembus udara yang sudah berpolusi dari dengung musik yang menderu kencang.
"Hahaha...bodoh! Mia yang bodoh! Angie juga! Sebenarnya Angie yang bodoh!” Angie turut menggebu-gebu, dihentaknya botol chivas diatas meja, “woy...Ronald! Tambah lagi botolnya!!! Kau yakin, kan kalau tidak memberi minuman palsu untukku dan temanku?! Hahaha... Ronaaalllddd...!!!!"
Aku sudah pening tapi masih cukup untuk sadar dan mendengar bagaimana perkataan Angie selanjutnya, "vilaku bukan milikku, Mia! Bukan untukku, bangsattt!!! Vilamu?! Kau tadi bilang kalau “vilamu” yang berarti vilaku? Ku siapa? Kuyang? Atau kutang???! Hahahaha...Mia...oh Mia...kawanku sayang, Ricky beli villa itu bukan untukku, anjing! Bukan untukku atau anak-anakku! Bukan, babi!"
Krincing krincing masih tetap datang dan pergi. Tapi kali ini, sudah terdengar berbeda, tak seperti tadi lagi.
"Dia selingkuh, Mia...! Ricky selingkuh...hahahaha...suamiku yang kaya raya itu selingkuh! Vila itu bukan milikku, bukan punyaku, bukan untukku. Tapi untuk Angie yang lain...! Hahahah...huuuu....bangsaaattt! Bangsat kau, Ricky!"
***
Lalu denting itu pun habis seiring temaram lampu bar yang makin pudar, musik yang telah redam, bau-bau alkohol yang lekas lisut. Kadang terdengar kokok ayam jantan yang bergaung dari kejauhan, pertanda hari sudah berganti rupa menyambut pagi.
Jam di tanganku menunjuk pada angka dua dan lima belas. Di bar kumuh ini, hanya tersisa aku dan si bartender kasar, kami duduk bersebelahan sambil melabuh tatap pada seorang wanita cantik setengah baya yang merebahkan kepala di atas meja. Sesekali dia mendengkur, lalu bersendawa. Aku dan Ron hanya menghela napas melihatnya.
Dua jam lalu, ketika dia tertawa sambil menangis dan memaki suaminya sendiri, aku yang mulanya tertegun, lama-lama jadi turut tenggelam dalam perasaan kacau yang memilukan.
"Asu! Babi! Monyet! Ular!" segala jenis penghuni kebun binatang telah dilepaskannya dari kandang, eh bukan, dari mulutnya, sambil terus minum, mengisap rokok, tertawa dan menangis. Anģie tak ubahnya seperti bunga yang layu dalam kubangan air, bukan air yang menyejukkan, air mata maksudnya.
Sejak tadi, inginku duduk di sisi Angie, memeluknya, namun denting-denting yang hadir dan pergi dari arah pintu bar ini, rasanya membawaku pada perjalanan waktu enam jam yang lalu, seolah di garis linimasa yang beredar dalam otakku, semuanya telah lama berlalu.
"Kupikir, kamu yang bakal teler." Ron berucap.
"Tadinya, itu yang kumau."
"Jangan! Repot sekali kalau harus mengantarmu pulang."
"Nanti Rosa cemburu?" candaku. Rosa itu nama istri Ron, yang telah melahirkan empat anak baginya.
"Hahaha. Mana mungkin. Lagipula, istriku jauh lebih cantik dari kamu."
"Hahaha," aku tertawa pula, "Mia yang malang," kuejek diri sendiri, "bahkan Ron yang jelek dan miskin pun, mana mungkin jatuh cinta padamu, Mia!" gantian kuejek dia.
Lalu kami tertawa bersama, terdengar gaung dan lahir jadi suara yang cukup menggelegar ke seluruh sudut bar yang telah sepi.
"Tapi sebenarnya, sekarang aku justru lebih kasihan padanya," Ron menyulut rokok, memberi kode dengan ayunan kepalanya, menunjuk kepada Angie
"Ron, dia tetap temanku."
"Ya..tentu...teman yang brengsek," tukas Ron.
"Aku juga sama brengseknya kalau mengiyakan perkataanmu itu," aku membela Angie (padahal sebenarnya, aku lebih banyak membela diri sendiri).
"Dia nggak akan bisa lulus kuliah kalau bukan karena mengencani kakak tingkat! Anehnya, dia nggak pernah mau mengakui itu dan tetap belagu."
Aku diam, tersenyum tipis. Menolak untuk setuju namun memang itu yang terjadi.
"Dia pakai nama belakang suaminya."
"Apa?" aku tahu yang Ron maksud, namun tetap saja aku bertanya.
"Soemoko, nama di kartu kreditnya, itu nama belakang suaminya, kan?"
"Lantas?"
"Ya begitulah dia...kawanmu ini! Dia sendiri, kan yang sudah berkeputusan untuk menyerahkan seluruh hidupnya buat laki-laki kaya?! Bahkan hanya sekedar nama, dengan bangga, dia menyematkan nama suaminya!"
"Ron... bukan waktunya menghakimi siapapun sekarang!" ucapku, lembut, malas beradu argumen. Terkadang Angie yang tolol itu ada benarnya, kawan kami ini, sang bartender, dia terlampau sering bersikap (sok) idealis. Yang lucu, mereka berdua saling bermusuhan namun aku masih berteman baik dengan keduanya tanpa pernah menunjukkan sikap keberpihakan yang berlebihan.
Beberapa jam lalu usai Angie memberikan pengakuan yang mengejutkan padaku tentang selingkuhan suaminya ; seorang wanita yang (wajahnya) biasa saja namun rupanya seorang sarjana (kedokteran), tak lama kemudian, seiring dengan kepergian orang-orang dan menciptakan banyak denting bersahutan, maka Ron pun mendekat padaku dengan muka marah, katanya, “Kenapa kau ini Mia? Malam ini jelas bukan dirimu yang mabuk dan menangis-nangis, tapi kenapa malah temanmu si bibir cabe ini?!”
Namun kemudian dia menutup mulutnya rapat-rapat setelah kujelaskan tentang kondisi Mia.
Kini, setelah menit-menit berlalu, tak ada denting, hanya hening. Kami pun larut dalam diam.
"Hiduplah dalam damai, Mia!” Ron mulai bersabda, memecah keheningan.
Ah, malas mendengarnya!
Dia tahu kalau aku tidak ingin mendengar segala macam wejangan. Bapakku aja nggak pernah mewejangku. E eh, masih dia lanjutkan, “setidaknya berdamai dengan hidupmu sendiri. Kau minta aku jangan menghakimi siapapun, termasuk si tolol satu ini! Dari dulu kau selalu menyuruhku begitu tapi kau sendiri selalu membenci laki-laki seolah semuanya sama seperti bapakmu yang pemabuk dan pemukul istri."
Nah, kan...?! Dasar Bapak-Bapak beranak empat!
"Ron..."
"Tapi coba, deh bayangkan, kalau Bapakmu tak menghamili Mamakmu, apa mungkin akan jadi dirimu?"
Bangsat!
Hampir saja kulempar botol whisky itu ke kepalanya!
"Hahaha....setan!!! Jadi itu plot twistnya?! Bangsat!"
Tawa kami pecah bersama lalu disambut meriah oleh dengkuran Angie.
Kedua tangan Angie masih terlipat rapi di meja dan kepalanya tersungkur di atas tangan yang terlipat itu. Sesekali kepalanya bergerak sedikit, namun tetap terlampau teler untuk dapat menyadari tawa busuk dari dua manusia di hadapannya.
"Sudah pesankan taksi untuknya?" Ron bertanya.
"Ya, aku akan ikut dengannya," jawabku sembari menunjukkan kartu kunci kamar hotel mewah milik Angie yang tadi kuambil dari tasnya, "dia butuh teman, real friend, Ron. Beberapa jam lagi dia akan terbangun dengan pengar, semoga bebannya berkurang kalau ada aku di sampingnya."
"Ya, terserah. Dia kan temanmu, bukan temanku," ucap Ron, membercandaiku, berdiri dari duduknya, seolah akan pergi meninggalkan kami.
"Ron....!" bentakku, tak ingin ditinggalkan.
"Iya, iya." Ron pun mengambil langkah ke belakang Angie, "ok, kamu yang pegang kaki, aku bagian bagian bahu dan kepalanya."
"Ron, dia Angie, bukan mayat. Dia masih hidup!" ucapku, kesal, meski tahu kalau dia cuma bergurau. Aku pun berdiri, menuju ke arah mereka berdua. Sedikit pusing rasanya, namun aku tetap mampu.
"Belum..." tukas Ron.
"Belum apa?! Belum mati maksudnya?! Teganya!"
"Bukan!"
"Trus?" tanyaku, kesal.
"Belum jadi mayat! Hahaha."
"Babi kau!" umpatku.
"Kau monyet, teman kau ini monyet!"
"Mana ada monyet secantik dia!"
"Ya sudah, kau seekor diri berarti yang monyet!"
Aku memukul jidat.
“Hei, kau bilang kalau dia Angie, bukan mayat! Memangnya kalau dia sudah mati, namanya jadi berubah?”
"Sudah diam, bangsat! Papah dia, asu!" kutarik lengan kiri Angie sambil pelan-pelan kuangkat kepalanya.
"Dia berat, monyet!" Ron mengumpat sambil cekikikan.
"Cepetan! Awas! Jangan sentuh apapun dengan mesum...! Kubunuh kau!"
"Gimana mau memapahnya kalau tidak disentuh?! Setan!"
Aku tertawa, "maksudnya seperlunya saja! Jangan sentuh macam-macam!”
Kami memapah Angie bersama-sama menuju keluar setelah bunyi "bip" di handphoneku terdengar, pertanda supir taksi online telah menunggu kami di tepi jalan, di muka bar.
Ketika kami melewati pintu dan menggoyangkan bel angin yang menggantung disana, hingga muncul bunyi denting yang mendayu-dayu, dengan cepat, aku menatap layu pada benda itu, lalu menyadari bahwa bunyi itu sudah tak terdengar sama lagi seperti berjam-jam yang lalu ketika aku duduk menunggumu dengan resah, berharap untuk lekas teler, menjadi tuli dan tidak peduli.
Lalu sebuah senyum kulantunkan dari bibirku.
Bukan berarti aku telah berani untuk menyimpulkan bahwa aku jauh lebih baik daripadamu, sayang. Tidak. Hanya saja, denting itu kini telah terdengar berbeda, tak lagi sama seperti sebelumnya.
Entah ini hal buruk atau bukan, aku tak ingin banyak menerka. Yang penting, aku sudah merasa baik-baik saja, mampu bersahabat lagi dengan denting itu tanpa perlu mengutuk dan membenci, seperti sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar