Langsung ke konten utama

HALAMAN



SATU

(Anak, 7 tahun, pendiam, penyendiri)

Sebenarnya kebiasaan Mama untuk bersih-bersih di hari Minggu merupakan hal yang bagus untuk rumah ini dan seluruh anggota keluarganya, itu tidak akan merugikan siapapun. Namun, Papa selalu lebih sering keberatan ketimbang memberi dukungan.

Seperti hari ini, ketika aku baru bangun dari tidur di pagi yang mendung dan nampak masih gelap gulita, atau terlihat gelap karena mataku yang masih sayu menahan berat untuk terbuka dari pejamnya? Aku tidak begitu yakin, yang mana jawaban tepatnya.

Apa ayam sudah berkeliaran mencari makan dan kicau burung-burung di halaman sudah saling bersahutan? Belum dapat kupastikan. Yang kuyakini hanyalah bahwa hati ini agaknya menginginkan agar kakiku terayun turun menuju lantai satu dimana sebuah perdebatan kecil tengah terjadi, terdengar sayup-sayup redup.

Ya, kuturuti kata hatiku. Kuputuskan untuk turun ke bawah dan mendekat. Sebenarnya bukan karena aku terlalu kepo dengan permasalahan apa yang tengah mereka ributkan. Aku tidak begitu peduli dan mungkin sangat tidak peduli. Tapi setidaknya aku berpikir bahwa jika aku bangun dan melewati mereka, maka mereka akan menjadi malu dan segera menutup mulutnya rapat-rapat sebab keduanya menjadi sadar kalau aku sangat terganggu. Selama beberapa detik langkah kakiku terayun menyusuri anak tangga, kemudian tiba di lorong panjang yang mengarah ke dapur, tempat mereka bercek-cok ria.

Samar-samar mulai terdengar sekelebat percakapan dengan nada tinggi layaknya apa yang aku simpulkan di awal tadi ; perihal bersih-bersih.

Papa : Karena kamu selalu membersihkan semuanya terlalu bersih!

Mama : Apa, sih maksud ‘terlalu bersih’ itu?

Papa : Terkadang perkakasku hilang!

Mama : Itu tidak hilang, cuma pindah tempat!

Papa : Pindah tempat? Terakhir Minggu lalu kamu beberes, sekarang martilnya sudah ketemu? Ketemu dimana? Di tempat sampah?

Mama : Heh, aku nggak menyingkirkan martil, apalagi membuangnya! Itu mustahil! Pasti kamu sendiri yang lupa taruh dimana pas hari Jumat kamu perbaiki jemuran.

Papa : Ya mana kamu ingat?! Emangnya kamu ingat benda-benda apa saja yang sudah kamu pindahkan?!!!

Aku muncul di pintu dapur dan melewati tubuh mereka berdua yang berdiri dalam jarak satu meter lebih sedikit.

Mereka tidak begitu hirau padaku atau aku yang tidak dapat melihatnya dengan jelas karena mataku masih sayu?

Langsung saja kutuju pada dispenser yang berdiri tegak di samping kompor. Ada sebuah gelas nganggur disana, tanpa penutup, entah milik siapa, aku tidak peduli.  Aku hanya ingin tubuhku lewat diantara tubuh kedua orangtua itu. Itu saja? Ya, tentu itu saja, supaya bisa menjadi kode bahwa aku dan tidurku tengah terganggu.

Papa : Kita sudah sepakat untuk bergantian membersihkan halaman rumah setiap satu minggu sekali. Bergantian, hari Minggu ini aku, Minggu depannya lagi kamu.

Mama : Oh, ya? Kita sepakat??? Setiap satu Minggu sekali di hari Minggu? Apa kamu nggak lihat kalau setiap pagi selalu aku yang membersihkan halaman rumah dari kotoran tujuh ekor burung peliharaanmu itu? Kamu pikir burung-burung itu bisa membersihkan kandangnya sendiri? Nungguin kamu melakukan itu dua minggu sekali? Yang bener aja lu!

Papa : Kamu tahu kalau aku sering bangun kesiangan, kamu nggak pernah membangunkan aku supaya aku yang mengerjakannya.

Mama hanya diam. Dia sibuk kepada pekerjaannya lagi.

Tegukan demi tegukan air putih mengalir ke tenggorokanku.

Pada akhirnya Papa meminta maaf kepada Mama tentang kotoran burung-burung di halaman, meskipun belakangan dia tetap membahas urusan martilnya.

Mama tidak peduli. Dia terus saja berbicara pada Papa tentang betapa dia membenci kotoran burung itu sembari tetap pada kesibukan membereskan perkakas dapur yang terbongkar dari rangkaian kitchen set yang pintunya terbuka lebar. Nampaknya, bahkan dia tidak melirik padaku.

Berantakan sekali di dapur ini, seperti baru saja terjadi gempa atau coba saja bayangkan jika kamu baru tiba di pengungsian!

Papa tetap berdiri disana. Dia pun hanya melirik kecil padaku sambil berkacak pinggang melihat aksi Mama.

 Di tahap selanjutnya, Mama tentu akan terus mengomel tanpa henti.

Tentang apa aja, sih? Misalnya tentang lemari makan yang berdebu, menurut hematnya, itu harus rutin dibersihkan karena disanalah tempat kita menyimpan makanan, dia merasa tidak ada yang salah dengan semua itu. Kenapa setiap kali dia bersih-bersih di hari Minggu dan mungkin secara kebetulan, beberapa kali perkakas Papa hilang atau berpindah tempat, maka dia pula yang musti disalahkan???

Kemudian dia juga bilang kalau kompor, kulkas dan microwave, semua itu menyimpan kotoran karena setiap hari selalu digunakan dan dia hanya sempat membersihkannya setiap satu minggu sekali, di hari Minggu, seperti hari ini!

 Lalu kembali pula ke permasalahan perkakas pertukangan milik Papa, dia meyakini betul kalau setiap benda itu sudah selalu disimpannya dengan rapi di gudang belakang meskipun dia juga sadar bahwa dia sering memakai beberapa diantaranya untuk menempelkan paku di tembok, mengecat ulang pagar atau membuka baut kipas angin dan exhaust. Semua dilakukannya demi menata, mengatur dan membersihkan setiap sudut di area rumah ini, bahkan seluruhnya, sampai ke halaman.

Sekali lagi aku katakan, tujuannya baik, dia suka kebersihan, keindahan dan kerapian.

Namun Papa masih saja berdiri disana, terus-menerus menatap kesal kepada Mama seolah-olah Mama begitu mengganggunya.

Kuulangi lagi perbuatanku, mengisi gelas dari dispenser dan berminat meminumnya, untuk kedua kali dari gelas yang sama. Dalam kondisi sadar, aku mulai sedikit peduli serta digantungi oleh rasa penasaran tentang bagaimana reaksi salah seorang dari mereka sebab aku tahu kalau aku sedang melakukan sebuah kesalahan, terutama di mata Mama.

Secepat kilat Mama merebut gelas yang telah terisi separo itu dari tanganku ketika aku mengarahkannya ke mulutku.

Nah, rasa penasaranku sudah terjawab.

Mama : Mama sudah berulang kali bilang! Jangan pakai gelas sembarangan! Apa kamu tahu gelas itu bersih atau kotor, sedangkan dia dalam kondisi terbuka tanpa penutup? Gimana kalau dia sudah ada disitu sejak semalam?? Ada cicak, semut, tikus, tai burung atau apapun yang masuk kesana?! Apa susahnya mengambil gelas yang baru dari dalam lemari? Itu jelas lebih bersih!

Tidak akan kutatap mata Ibuku, aku hanya tertunduk layu. Kembali kepada perasaanku di awal tadi, mulai tidak peduli lagi.

Wanita berpiyama biru dongker yang kupanggil Mama itu pun membuang air dari dalam gelas dan mencucinya di bawah keran pencuci piring dengan buru-buru, berisik dan sedikit kasar. Siapapun yang melihatnya, bahkan hanya seorang makhluk kecil sepertiku, tentu akan langsung dapat menyimpulkan bahwa ia sedang menumpahkan emosi yang menggebu-gebu seperti tumpahan air dari gelasku itu.

Papa : Itu gelas yang aku pakai lima belas menit lalu, kotor darimananya? Belum ada semalaman disitu! Lagian dia sudah minum satu kali tadi, kenapa kamu baru ngomelin dia sekarang?

Mama diam, tidak mengindahkan omongan Papa.

Papa : Jangan bersikap seolah-olah semuanya kotor, kotor, kotor sehingga kamu jadi bersikap terlalu bersih!

Mama : Terlalu bersih, terlalu bersih, selalu itu juga alasanmu! Lagipula, kamu tahu kalau dia sudah minum satu kali dari gelas itu tadi, kenapa nggak kamu tegur?

Papa : Astaga…! Kamu ini memang…

Aku tidak mengatakan apapun, berlalu lagi diantara keduanya, melangkah menuju tangga untuk kembali ke atas, ke kamarku sendiri.

Mereka masih meributkan keyakinan mereka masing-masing yang membuatku justru semakin tidak peduli. Artinya, misi awalku untuk membuat mereka merasa malu dan menutup mulut rapat-rapat terbukti gagal. Aku harus peduli yang bagaimana lagi? Itu bukan urusanku. Aku hanya ingin tidurku tidak terganggu sebab aku ini anak-anak dan membutuhkan jam tidur yang cukup, bukankah begitu yang sering dikatakan oleh Mama?

Aku anak baik.

Aku anak baik.

Aku anak baik.

***

DUA

(Papa, 37 tahun. Manajer Keuangan di sebuah perusahaan Farmasi. Pria yang mapan dan sopan)

Sudah beberapa hari terakhir ini saya berkomunikasi semakin intens melalui email dengan seorang kawan lama semerakhir bertemu dengannya, sekira lima tahun lalu, di reuni SMA kami dan saya menemukannya lagi di facebook baru setahun belakangan ini. Menurut penuturannya, dia sekarang tinggal di Jerman, tepatnya di kota Munich.

Dia pulang ke Jakarta, saya rasa dalam Minggu ini.

Jadi, merasa bahwa ini adalah Minggu-Minggu kepulangannya, saya memutuskan untuk semakin sering mengirim email kepadanya. Lebih sering daripada biasanya. Sebab jika sebelumnya kami hanya berkomunikasi di platform media sosial, maka beberapa bulan terakhir saya sudah memutuskan untuk pindah ke surel. Kenapa? Tentu saja karena lebih mudah mengiriminya pesan melalui media ini, saya bisa menulis sebanyak mungkin, sepanjang yang saya inginkan dan… Dan apa? Dan tentu saja istriku belum tentu mengecek Emailku. Kemungkinan besar dia hanya akan bekeliaran di Facebook ataupun Instagram. Menurutku, sulit terpikirkan olehnya untuk menelusuri bagian lain yang agaknya sedikit tersembunyi ini, sebab biasanya saya hanya akan membuka Email jika berurusan dengan pekerjaan, bukan untuk bercerita dan membagi curhatan.

Selanjutnya, kembali kepada teman lamaku, seperti yang sudah saya bilang tadi, di kemudian hari, menulis apapun padanya telah menjadi kebiasaan saya. Menulis email setiap hari, setiap saat kalau saya sempat. Bukan cuma menulisnya, sebab dia juga membalasnya, meski tidak sesering saya.

Selasa, 11 Desember 2018, 07.25 WIB

(Selasa, 11 Desember 2018, 01.25 Dini Hari Waktu Jerman)

Micah,

Gue sadar kalo selama beberapa hari ini mood gue naik turun. Eh, istilah mood naik turun itu bener nggak, sih? Coba tolong lu koreksi, siapa tahu ada bahasa yang lebih tepat dari sisi psikologi.

Oke, itu nggak masalah. Tapi masalah utamanya bukan terletak pada kesadaran gue tentang betapa naik turunnya mood itu dengan cepat. Yang bikin gue frustrasi adalah ketika semakin gue berusaha untuk mengontrol itu, semakin berat juga gue menghadapinya.

Ada solusi lain?

---

Selasa, 11 Desember 2018, 18.32 Petang Waktu Jerman

(Rabu, 12 Desember 2018, 00.32 WIB)

Mas Anggara,

Dari setiap hal yang pernah kamu ceritakan ke aku, sebenarnya aku curiga kalo kamu terlalu memendam semuanya sendirian. Tidak ada tempat. Mungkin istrimu tidak begitu peduli, ya?

Sabar, yah. Aku masih terlalu sibuk untuk menanggapi dengan cepat, tapi seperti yang sudah aku bilang sejak 2 minggu lalu kalau aku mau pulang, jadi tenangkan hatimu sampe aku tiba di Jakarta! Kita bisa ngobrol lebih leluasa.

---

Rabu, 12 Desember 2018, 07.00 WIB

(Rabu, 12 Desember 2018, 01.00 Dini Hari Waktu Jerman)

Micah,

Lama banget reply email gue.

Lu bilang mau pulang mulu, tapi gaje pulangnya kapan.

Gue musti bagaimana sekarang? Setiap kali gue menatap ke sekeliling, rasanya semua salah. Gue disalahkan atas ketidakmampuan gue dalam membina semua ini dengan baik.

Bini gue masih siapin sarapan. Gue bisa nunggu sarapan siap sambil pura-pura sibuk di depan laptop.

Gue di ruang kerja di lantai dua, disini sejuk banget, gak perlu AC ataupun fan soalnya gue punya jendela besar di sudut ruangan yang selalu terbuka lebar, angin bebas keluar masuk melewatinya. Gue sering duduk di pojok situ sambil melihat ke luar, memperhatikan dan mendengarkan kicau burung-burung piaraan gue di bawah sana, di halaman.

Ah, andaikan elu bisa mampir kesini, lu akan tau betapa asrinya rumah ini (terlepas dari kebersihan dan kerapiannya yang selalu terjaga, yah!) meskipun bangunannya mungil tapi halaman kami luas, bisa berkebun dan beternak disitu, wkwk (sayangnya bini gue nggak begitu suka hewan peliharaan).

            Sekarang gue lagi baca-baca email kita selama beberapa bulan terakhir. Seru banget, rasanya masih nggak percaya kalo kita bisa kontak lagi dengan cara seperti ini.

             Micah, btw Gute itu siapa?

             Gue kadang kayaknya pinter, tapi sekaligus bodoh. Pengetahuan gue sempit banget.

Minggu lalu gue ketemu klien yang katanya baru pulang dari studi banding pengolahan limbah farmasi di Frankfurt. Kami ngobrol agak lama. Dia cewek, masih muda, tapi banyak ngomong. Dibandingkan bercerita tentang hasil kerjanya disana, dia lebih banyak ngobrolin nama Gute. Dia bilang mengagumi Gute, sampe perspektif dia tentang Gute, katanya kalo kelak dia punya anak, anaknya akan belajar privat di rumah saja seperti Gute, apalagi dia gak percaya sama pendidikan formal di sekolah yang lagi-lagi katanya, itu membuat manusia cuma akan terjebak sistem, menjadi sempit, hanya tergantung pada guru dan buku, bukan bergantung sama akal sehatnya sendiri untuk mencari fakta dari pengalaman di luar sana.

         Ya, gue tau kalo gue bisa mencari tentang Bung Gute di gugel, tapi yang tidak gue pahamin adalah kenapa dia seperti berusaha menunjukkan kesannya tentang Gute ke gue? Apa karena dia merasa dia pinter?

Gue bingung, dia pinter atau sotoy?

           Kayaknya dia nggak sedang membicarakan Gute tapi sedang membicarakan dirinya sendiri. Dia seperti sudah tahu banyak tentang Jerman, tentang seniman Jerman, kebudayaan Jerman, cara berpikir orang Jerman, sampe-sampe dia lupa bercerita tentang apa? Tentang hasil studi bandingnya disana, lah! Belakangan gue curiga, atau jangan-jangan dia nggak bisa menceritakan tentang hasil studinya, sehingga dia musti menutupi itu dengan ke-sotoy-annya?

             Dia itu pinter, sotoy atau munafik?

          (Yah…lu juga musti tahu… Huft, ya ampun… Setiap kali ada orang yang mengatakan “Jerman”, selalu membuat gue teringat tentang elu)

Wait!

Gue musti sarapan.

Dia bisa marah kalo gue nggak sarapan tepat waktu karena dia harus mencuci semua piring dan gelas sesegera mungkin.

Jadi sebelum kami keluar meninggalkan rumah ini di pagi hari, dia harus yakin kalo dapur dan semua perabotannya sudah benar-benar bersih. Seperti itulah! Dia suka banget bersih-bersih! Bahkan mungkin lebih mencintai kebersihan dan kerapian daripada suaminya sendiri.

Lu tau nggak?! Kalo gue lagi sarapan di meja dan ada satu biji aja nasi yang jatuh, dia bakal langsung menjumputnya, membuang itu ke tempat sampah.

Kalau posisi lipatan baju di lemari bergeser, satu senti aja, dia pasti bakal langsung tau, cuma dalam tiga detik doang! Dan mulutnya langsung bersuara kenceng : pelan-pelan, dong kalau narik pakaian!

Hal aneh lain yang sering dia lakukan dan bikin gue males melihatnya adalah kalau dia sering banget memindahkan barang-barang padahal mungkin setengah jam yang lalu, dia baru merapikan itu. Kayaknya posisi benda-benda di dalam rumah tuh nggak pernah bener gitu!

Vas bunga plastik di pojok ruang keluarga cuma bakal duduk diam sebentar disitu karena dia akan memindahkannya sepuluh menit kemudian kalau dia merasa itu lebih cocok berada di sudut lainnya.

Begitu juga dia memperlakukan benda-benda yang lain. Misalkan, nih, dia duduk di ruang keluarga, sambil main hp, nonton TV atau bahkan lagi baca majalah, matanya itu lhoh, nggak akan lama fokus ke apa yang dilihatnya. Sebentar-sebentar dia bakal merasa terganggu dengan letak pigura foto yang sepuluh menit lalu baru ditatanya diatas buffet kecil, kemudian dia tukar sama vas bunga yang tadi, yang gue bilang ada di pojok ruang keluarga tadi itu tuh! Nah, begitu aja terus setiap seminggu sekali.

Nanti kalau gue tanya kenapa dia begitu, dia nggak akan marah, tapi seperti biasanya, dia diam saja.

Hahaha. Kenapa ya? Aneh aja gitu gue melihat kelakuannya.

Eh, udah jam berapa ini? Gue musti ke halaman, kasih makan peliharaan, terus mandi dan  sarapan.

Nanti gue lanjut di kantor.

           (Meskipun lu reply-nya lama, yang penting gue masih bisa terus bebas bicara)

            ---

Rabu, 12 Desember 2018, 02.20 Dini Hari Waktu Jerman

(Rabu, 12 Desember 2018, 08.20 WIB)

Mas, maksud km Goethe? (Ya bener, sih bacanya emang Gute, tapi sebaiknya menulisnya yang bener juga, yah? Hahaha)

Siapa nama cewek yang pergi studi ke Frankfurt itu?

Aku curiga dia mau membuat kamu terkesan tentang pengetahuannya. Atau mungkin pengetahuannya tentang studi banding limbah farmasi itu cukup dangkal, jadi dia berusaha mengalihkan pehatianmu dari situ ke pembicaraan tentang Goethe?

Hahahaha.

Mas, jangan sering membicarakan seseorang dengan frase kata yang terlalu negatif begitu dong! Itu tuh ngaruh tau, gak? Semacam sugesti. Mungkin sebenarnya apa yang kita lihat nggak begitu buruk tapi karena kita mengucapkan kata-kata buruk terus menerus yang berkaitan dengan itu, berkali-kali, berulang kali, jadinya akan buruk beneran.

 Jangan terlalu negatif dalam menilai apapun yang mungkin kelihatannya jelek! Lihat dari sudut pandang yang lebih luas dan jauh ke depan!

Yang penting Ana baik-baik aja, kan?

Kamu punya rencana apa kalau aku pulang?

Eh, ini aku cepet, kan reply-nya? Hehe. Aku lagi bersemangat ngerjain thesis dan km bisa jadi moodboosterku banget di depan laptop, ehehe.

Btw, sampe detik ini, kamu nggak penasaran tentang judul tesisku?

Ah, nggak usah, deh! Nanti aja kita ngobrolin itu!

Wkwkwk.

Aku lebih seneng kalo kamu bercerita semakin banyak tentang permasalahanmu daripada aku harus bercerita tentang diriku sendiri.

---

Rabu, 12 Desember 2018, 09.00 WIB

(Rabu, 12 Desember 2018, 03.00 Dini Hari Waktu Jerman)

Thank you Micah, kali ini lu gercep reply emailnya, hehehe. Padahal disana dini hari yah? Biasanya gue berharap lu reply pas jam makan siang, menjelang pagi disana. Tapi terserah, sih, yang penting lu reply, hehehe.

Banyak amat nanyanya???

Satu-satu, dong!

Haha.

Oke, gue jawab satu persatu.

Satu, nama cewek “Gute” itu adalah Bonita, gue nggak tau banyak lagi tentang dia. Gue udah baca hasil studinya disana. Jurnalnya lumayan, lumayan gak ada gunanya buat gue. Wuahaha.

Ups, jadi yang bener Goethe? Yah, sebenernya gue juga udah tau, tapi kan pengucapannya begitu, jadi ya segampangnya aja lah nulisnya, wkwk.

Waduh, jadi bilang “wkwk” pula gue. Jadi selama di Jerman, lu masih tetap sering pake “wkwkwk” kalo chatting sama orang Indo? Hahaha.

Dua, Ana baik-baik aja. Seperti biasa, dia tetap jarang bicara. Gue harus selalu bertanya, bertanya, bertanya. Meskipun gue sadar, betapa gue ribut dan berisik pun selalu akan percuma.

Tiga, Ana memang penting, tapi diri gue lebih penting!

Ups, gue nggak bermaksud egois sama semua ini. Maksudnya, kalo gue nggak mementingkan diri gue sendiri, lantas siapa yang akan peduli sama Ana nanti? Jadi, gue nomor satu dan Ana nomor dua. Kenapa gue menomorsatukan diri gue sendiri? Karena pada akhirnya, nomor satunya adalah Ana.

Ah, paham, nggak, sih lu? Hahaha.

Maksudnya….gue harus selesai sama diri gue sendiri, Micah!

Sebelum gue membantu Ana, gue musti menyelesaikan kesalahan-kesalahan di dalam diri gue sendiri. Itu masalah utamanya!

Ok, nomor empat. Gue bukan gak penasaran sama kuliah lu disana. Jelas gue penasaran. Tapi, bukankah alangkah baiknya kalau bercerita secara langsung saja?

Luring maksudnya, Micah.

Baiklah, tentang sugesti negatif yang lu omongin itu, ok lah, akan gue inget-inget nasehat lu (Bukan karena gue pikir bahwa nasehat lu itu bener, tapi mungkin karena elu yang mengatakannya, jadi taruhlah itu bener jadinya, wuahahaha).

Hadew… Micah! Boring banget dah. Berharap segera ketemu sama terapis pribadi gue ini. Haha. Apa daya dia masih di negeri orang, gak jelas pulangnya kapan?

Gue pernah bermimpi kuliah setinggi elu di negeri orang.

Tapi apa daya, gue terjebak disini sekarang.  

---

Rabu, 12 Desember 2018, 14.00 WIB

(Rabu, 12 Desember 2018, 08.00 Pagi Waktu Jerman)

Lu gak reply lagi. Selalu sering tiba-tiba menghilang dan bikin gue tambah frustrasi.

Gue cek facebook dan instagram juga tapi lu nggak pernah online.

Gue sedih, kan jadinya?

Atau lu lagi tidur karena begadang ngerjain thesis semalaman?

Ok, gak papa.

Gue berharap lu reply email ini pas lu bangun.

Atau share aja kontak whatsapp lu, Micah!

Pleaseee…

---

Kamis, 13 Desember 2018, 01.07 Siang Waktu Jerman

(Kamis, 13 Desember 2018, 19.07 WIB)

Mas,

Maaf, aku kurang enak badan. Mungkin karena terlalu bersemangat dan begadang terus kali, ya? Jadinya kemarin aku tidur seharian.

Lagipula disini cuaca kering banget, dingin, salju tebal dan aku khawatir kalau aku flu, jadi aku putuskan untuk langsung tidur aja kalo merasa badan udah sedikit lunglai. Aku kepikiran, begitu aku tiba di Indonesia (padahal saat yang sama, aku sedang melalui  musim dingin yang ekstrim disini), pasti aku bakal shock. Tapi nggak papa, aku udah siapkan banyak vitamin di kantong obat, aku nggak akan lupa.

(Hari ini aku ada jadwal bimbingan jam 2 siang tapi aku berencana mau lewat skype aja deh)

Kalo aku kasih nomor WA, ntar kamu beneran jadi pasienku, kamu mau?

Hehe.

Maksudnya, kalo kamu konsultasi terlalu intens denganku via WA, jadi aku harus bertindak profesional juga sebagai terapismu? Kamu harus membayarku secara professional dong? Hahaha.

Kamu mau?

Kalo aku, sih, nggak.

Hehe.

            ---

Kamis, 13 Desember 2018, 01.16 Siang Waktu Jerman

(Kamis, 13 Desember 2018, 19.16 WIB)

            Kecuali kalo kamu memintanya atas alasan lain.

                ---

            Kamis, 13 Desember 2018, 19.30 WIB

            (Kamis, 13 Desember 01.30 Siang Waktu Jerman)

            Micah,

            Gue gercep, kan? Gak kek elu!

            Gue masih lembur, nih di kantor. Lumayan, kan bisa sambil munggu elu reply email gue?

            Gue tuh berharap lu bisa reply gue se-gercep gue gini, tauk???

         Tapi gak papa, sih, gue juga paham kesibukan lu. Lagian kalau cuaca lagi gak bersahabat, ya jangan dipaksain buat beraktivitas! Apalagi sekedar baca email gue, wkwkwk.

Micah, lu tau gak?

Bini gue itu orangnya egois. Dia cuma sibuk bekerja demi mengejar target dan kariernya. Kariernya emang bagus lho, Micah. Dia masih kerja di pabrik yang sama sejak kami kenal pertama dulu dan gue jadi atasannya.

Dia berangkat dari bawah, dari buruh sampe sekarang jadi kepala bagian. Hebat juga, kan?

Tapi sebenarnya, menurut gue pribadi, gue akan sangat mampu mencukupi semua kebutuhan di rumah tangga ini. Memberikan dia uang yang cukup, bahkan mungkin kemewahan.

Tapi entahlah. Istri gue tetap memilih bekerja.

Kami jarang bicara kecuali sedang marah atau ya…pastinya kalo lagi saling membutuhkan di tempat tidur lah, hufft.

            Micah, lu mustinya kasih gue free konsultasi dong, sebagai temen lah!

          Masa’ lu gak ada simpati sama gue atas semua hal yang pernah gue curhatin ke elu??? Meskipun lu pikir gue cuma butuh kawan curhat, tapi kalo apa yang lu katakan sebagai ‘cara profesional’ itu bisa memberikan kelegaan buat gue, ya gue mau-mau aja lah.

                ---

Kamis, 13 Desember 2018, 21.30 WIB

(Kamis, 13 Desember 2018, 03.30 Sore Waktu Jerman)

Sorry, maksud gue, gue pasti mau, bukan cuma “mau-mau aja” hehehe.

            Buruan reply!

            Sebentar lagi gue pulang kantor.

            Next time gue janji kalo gue bakal bercerita lebih banyak tentang Ana.

          Udah 2 hari ini Ana banyak tingkah, terutama urusan makanan. Gue yang biasa bertanya dengan lembut, sekarang udah makin gak bisa mengontrol diri gue dan yang muncul dari mulut bukan lagi pertanyaan, tapi kalimat dengan nada tinggi. Itu bikin gue merasa bersalah dan kecewa setelahnya.

Gue udah jenuh sama semua yang gue hadapi selama ini dan nggak bisa melampaui emosi gue sendiri.

            Lu musti tolong gue, Micah!

---

           Jumat, 14 Desember 2018, 01.15 Dini Hari Waktu Jerman

           (Jumat, 14 Desember 2018, 07.15 WIB)

           Mas,

           Maaf, aku lagi sibuk banget.

          Aku duduk di depan laptop berjam-jam sejak jam 8 tadi. Kayak bisa hangat aja duduk disini dan terkena radiasi dari layar laptop.

Suhu di Munchen semingguan ini berkisar dari 4 derajat sampe -3, paling ekstrim, sih ini mah, dingin banget. Lebih dingin dari cuaca terekstrim di tahun lalu, deh kayaknya.

            Tenang, yah?

            Aku sudah merangkum semua curhatanmu selama beberapa bulan terakhir ini di jurnalku.

        Aku juga agak sedikit frustrasi karena ada beberapa pasien lamaku di Indonesia yang masih sering menghubungi dengan keluhan-keluhan yang baru padahal semenjak aku lanjut studi di Jerman ini, pengobatan mereka udah dialihkan ke psikolog lain. Aku bukannya nggak mau membantu secara kemanusiaan, cuman kan…aku udah nggak pernah tahu dan nggak pernah follow up perkembangan kondisi mereka akhir-akhir ini. Aku frustrasinya itu, lho mas karena aku harus mulai dari mana? Tugasku memang cuma mendengarkan tapi ternyata di saat yang berbarengan dengan studiku seperti sekarang ini, “imanku” bener-bener diuji hahaha.

(Yah…begitulah, kami juga manusia, terkadang butuh didengarkan juga, hihihi).

           Tapi kabar baiknya, mereka (ex pasien-pasienku itu) mulai intens menghubungi aku lagi, karena apa? Karena apa hayooo? Hehe, karena mereka tahu kalo aku segera kembali ke Jakarta dalam waktu dekat.

            Jangan tersinggung! Kalo untuk kamu, aku nggak keberatan sama sekali.

            Wkwkwk.

         (Jawabannya bener! Aku masih sering pake “wkwkwk” kalo lagi chatting sama temen-temen Indonesia. Uhuy!!)

         Aku bakal di Indonesia selama satu minggu sampai sepuluh hari. Silakan bercerita sebanyak-banyaknya tentang Ana!

             Nanti kalo aku sudah mau pulang ke Jakarta, baru aku kasih kontak WA’ku.

            Tapi tolong! Jangan dimasukin di grup Alumni SMA, yah! Pokoknya itu yang aku minta!

---

            Jumat, 14 Desember 2018, 08.10 WIB

            (Jumat, 14 Desember 2018, 02.10 Dini Hari Waktu Jerman)

Micah,

Gue senang banget lu mau pulang ke Jakarta.

Gue janji, gue nggak akan share nomer kontak lu ke siapapun.

Maaf, bukannya gue memaksa. Wkwkwk.

Lhah elu, sih…udah dari berbulan-bulan lalu gue share kontak WhatsApp gue ke elu tapi lu nggak pernah mau menghubungi.

Ok, jadinya kapan pulang?

Awal tahun depan? Tinggal menghitung hari, hehe.

Tapi gue berharap, lu bisa pulang lebih awal. Semakin cepet kita bertemu, semakin cepet gue curhat ke elu, semakin ringan beban yang musti gue tanggung sendirian ini.

Gue juga bingung, Micah.

Gue punya karier yang bagus dan mulus. Gue, lhoh gak pernah namanya kesandung masalah sama pekerjaan. Sekarang pun gue cuma lagi sibuk-sibuknya merampungkan laporan tahunan. Nggak ada masalah yang begitu berarti kecuali tentang bos gue yang sewot mulu, nyuruh buru-buru jadwalkan RUPS di Kendari.

Gue muwluss urusan fulus, Micah. Kalo cuma membawa Ana jalan-jalan keliling Munich tahun depan, gue mampu.

Tapi gue merasa gagal sama hubungan gue dengan Ana. Dia gak menyukai gue sebagaimana mestinya. Gue nggak pernah merasa bisa membereskan semua itu sampai tuntas.

Dan yang paling penting, karena gue nggak pernah selesai sama diri gue sendiri.

Apa, sih selain curhat ke psikolog?

Lagipula, pada dasarnya, gue emang nggak bisa sepenuhnya jujur sama siapapun.

---

  Jumat, 14 Desember 2018, 09.00 WIB

  (Jumat, 14 Desember 2018, 03.00 Dini Hari Waktu Jerman)

  Micah,

 Gue tahu lu sibuk.  Tapi Gue udah pernah kasih nomer WhatsApp gue, kan? Awal-awal kita  mulai kontak via email, 3  bulan lalu, gue udah share nomer itu dan gue selalu berharap lu mau hubungin gue kesitu. Sekarang, pun harapan gue masih sama.

Segera yah???

Gue tunggu elu di Jakarta.

***

TIGA

(Micah, 35 tahun, Psikolog & Mahasiswa S2 Jurusan Psikologi Program Kerjasama Pemerintah Indonesia & Jerman)

Siapa yang tidak merindukan Jakarta di hari Sabtu atau Minggu pagi yang cerah? Minim polusi dan kemacetan. Sekali seminggu mencuci paru-paru di sekeliling tugu Monas, putar balik atau menyeberang jalan tanpa perlu disemprot klakson panjang dari supir-supir angkot yang tidak sabaran.

Mungkin kamu akan sama sepertiku, pasti sangat merindukan itu. Kecuali…

Kecuali apa?

Kecuali jika kamu hanya datang karena mampir pulang, mungkin bukan itu yang terlalu kamu rindukan. Hari-hari biasa agaknya lebih berkesan, sebab begitu terasa aroma Jakarta yang semrawut dan penuh kenangan, seperti ketika pulang kuliah dan duduk di dalam angkot berdesak-desakan, pindah lagi ke metro mini atau Transjakarta, kemudian ketiduran di kereta.

             Sebab aku sudah begitu lama tak merasakannya. Sehingga begitu rindu dan sangat rindu.

            Sayangnya aku tiba pada Sabtu dini hari waktu Jakarta, menuju akhir pekan yang sangat tentram tanpa hiruk pikuk, bukan seperti sedang berurusan dengan pekerjaan, namun seperti kepulangan untuk liburan. Sampai-sampai aku ketiduran di apartemenku, hingga pagi hari dan bahkan belum sempat mengecek Email, WhatsApp maupun Telegram.

            Saat terbangun dalam posisi tekejut karena bermimpi terjun dari lantai dua puluh di apartemenku, aku lega karena aku masih hidup.

           Beberapa teguk air membasahi tenggorokan, kemudian secara perlahan, aku berusaha mengumpulkan ingatan.

Ah, air ini segar sekali rasanya. Aku membelinya di dalam tabung sekira 19 liter banyaknya, (yah…you know, tabung yang namanya gallon), beberapa jam lalu sebelum aku masuk kemari, sambil merasa asyik, menikmati pendingin di dalam minimarket karena lembab sekali cuaca di luar sekalipun hujan (terkait perubahan cuaca yang cukup ekstrim, mendadak di dalam minimarket itu, ternyata ada sedikit perasaan merindukan Munchen, meskipun selama seminggu belakangan disana, aku merasa kurang enak badan karena terlalu dingin untuk bepergian).

Di tengah jet lag berkepanjangan, sedang kuyakinkan diriku sendiri bahwa aku telah sampai di tanah airku, berharap segera bertemu pohon pisang dan juga kelapa, nah, baru lah aku semakin yakin kalau aku sudah di Indonesia.

Mereka, tukang gallon itu mengantarnya ke depan kamarku sebelum aku tertidur. Aneh memang, aku harus menyeretnya masuk ke dalam apartemenku, melalui pintu dan sekat-sekat menuju ke dapur kemudian memasangnya di dalam kotak bernama dispenser. Yah, sebenarnya tidak ada yang aneh. Tapi, di Jerman air gratis, bisa langsung kuminum dari keran, jadi ya kurang lebih begitu kenapa aku bilang ini semua terasa aneh.

Mungkin itu perasaan yang berlebihan. Aku sedang pulang ke negaraku, itu saja seharusnya.

           Ah, gara-gara gallon yang aneh itu, seluruh pikiranku saat terbangun di negeri ini justru tertuju padanya, bukan pada hal lain yang seharusnya.

Memangnya apa  yang seharusnya dipikirkan oleh orang ketika bangun dari tidurnya? Hehe, mungkin saat ini hampir semua orang di seluruh dunia ketika bangun tidur memikirkan untuk berdoa.

Tapi bukan, sebelum berdoa biasanya mereka akan apa? Ya mengecek handphone tentu saja. Itu aneh lagi? Ya, memang aneh, sih, orang lebih ingat sama handphonenya ketimbang pada penciptanya! Tapi tetap saja aku merasa itu tidak begitu aneh ketimbang membeli air minum di dalam gallon.

Begitulah kira-kira ceritanya kenapa ingatan terakhirku tertuju pada gallon air mineral, bukan pada tumpukan Email ataupun pesan WhatsApp yang masuk sejak kemarin sore sampai semalam ketika aku landing.

         Baiklah, untuk memenuhi persyaratan sebagai bagian dari hampir semua orang di seluruh dunia yang  lebih memilih untuk mengecek handphonenya daripada nafasnya ketika bangun dari tidur, maka aku kembali ke kamar.

Pukul 7 lewat 10 pagi waktu Jakarta, hari Sabtu, 15 Desember 2018, 30 derajat celcius, tertera begitu di layar handphone.

Selanjutnya mengecek WhatsApp karena dari situlah permulaan hidup dan hampir segala kegiatanku berawal.

            Ah, ya Tuhan.

Kenapa Ibu harus menelepon sebanyak itu untuk memastikan aku sampai dimana? Padahal sudah kukatakan lewat voice note subuh tadi bahwa aku landing dengan aman, sentosa, setelah hampir 18 jam mengudara ditambah mampir sejenak di Amsterdam. Kemudian apa lagi? Nah…kemudian aku juga bilang kalau aku lagi minum kopi di Starbucks bandara Soeta dan tentunya memesan grab untuk pulang ke apartemen.

Memangnya dia pikir aku akan langsung kembali lagi ke Jerman sehingga dia merasa pantas untuk harus bersikap demikian?

Kenapa orangtua selalu berpikir bahwa anaknya adalah anak kecil yang harus dikontrol begitu detail? (Memang aku sudah tahu jawaban untuk pertanyaan ini sebab aku mempelajarinya di semester-semester awal masa kuliahku di Bandung dulu, ya itu jelas ada di Mata Kuliah Perkembangan Anak dan Remaja, tapi aku tetap mempertanyakannya supaya Ibu atau Bapak yang bisa langsung memberi jawaban bagiku tentang pertanyaan itu : Kenapa orangtua selalu berpikir bahwa anaknya adalah anak kecil yang harus dikontrol begitu detail?).

Lagian aku akan pulang ke Bogor hari  Selasa atau Rabu. Dan kalian, orangtuaku, kalian akan bisa sepuasnya melihat dan mengawasi apa yang aku lakukan, bahkan saat aku tidur sekalipun! Karena kalian tidak pernah membuat gerendel atau kunci untuk kamarku!

Ok, cukup! Aku tidak mau membicarakan itu lagi di dalam kepalaku.

          Oh, tapi sebenarnya aku belum merasa cukup untuk setiap pergulatan batin ini! Lagipula ada waktunya Ibu sering berkata, ehem, demikian katanya, “ya tentu saja kamu merasa seperti ini, seperti itu, terkekang, tidak mendapatkan kebebasan! Tidak seperti di negeri Paman Sam sana, dimana kamu bisa sebebasnya melakukan keinginan dan tujuanmu! Lagipula karena apa? Ya karena kamu ini cuma anak! Nanti suatu saat akan ada waktunya kamu menjadi orangtua dan merasakan yang kami rasakan!”

             Dia sungguhan pernah mengatakan tentang Paman Sam itu lewat telepon!

           Aku tidak sempat menyanggah sebab saat itu dia langsung menutup teleponnya dengan sikap berapi-api, panas hati dan lupa diri.

Masalah awalnya apa? Waktu itu aku baru seminggu tinggal di Munchen, dia berpikir aku akan selamanya menetap disana. Buktinya? Dia meneleponku tiga kali sehari. Oh, tidak, lebih dari tiga kali sebab terkadang kalau aku terlalu lama (menurut versinya, 10 menit itu lama) membalas pesan WhatsAppnya, maka dia akan melakukan sebuah gerakan “telepon berdering” yang tidak penting, yang pernah kita kenal sebagai “missed call”.

Ya, itu, setelah muncul kata “berdering” muncul di layar handphone, maka dia akan mematikannya. Itu yang aku sebut sebagai gerakan “telepon berdering”, tujuannya agar aku terganggu dan segera membaca pesannya. Semacam alarm atau apa lah, entah.

Aku keberatan kalau dia meneleponku tiga kali sehari! Ya, itu saja. Jadi aku marah dan dia mengatakan sebuah kalimat yang berujung pada nama Paman Sam. Dia mencatut nama orang yang tidak dia kenal dan tidak mengenali dia, bahkan mungkin orang itu tidak pernah hidup di Munchen seumur hidupnya.

Kesal sekali mengingat itu!

             Tetapi nanti kalau aku pulang kampung ke Bogor, aku pasti akan membicarakan itu.

Oh, tidak. Bukan tentang alasan kemarahannya yang harus diperjelas dan diperdebatkan lagi. Namun yang pertama : dia harus tahu Paman Sam itu siapa dan aku tidak tinggal di negaranya .

Walaupun sebenarnya aku merasa maklum dan tidak keberatan dengan kesalahan kecil seperti itu, namun ini tetap harus diperjelas!

Oke, Ibuku cuma lulusan SD, dia putus sekolah setelah dua tahun duduk di SMP, bukan hal yang aneh jika dia berkata demikian. Yang nanti bisa jadi masalah adalah apabila dia salah mengatakan hal bodoh seperti itu di depan orang lain. Sebab apa? Sebab, bagaimana jadinya nanti penilaian orang? Bukan, tentu bukan karena dia sendiri yang mungkin dianggap bodoh. Tidak masalah, sebab orang pasti tahu kalau tingkat pendidikannya memang rendah. Tapi masalahnya adalah anaknya ini sedang studi S2 di Jerman, apakah anak yang sedang studi S2 di Jerman ini tidak pernah mengatakan hal yang sesungguhnya tentang Paman Sam atau pun orang Austria yang kemudian menjadi warga Negara Jerman dan berakhir dengan kisah rezim diktatornya itu? (Maaf, menyebut namanya akan menjadi sangat sensitif bagi orang Jerman dan sekarang saya sedang tinggal disana, jadi saya sangat menghormati itu.) Betapa bodohnya anaknya ini kalau membiarkan Ibunya yang minim pendidikan lantas menyerocos tentang nama Paman Sam secara menggebu-gebu padahal Paman Sam tidak disana! Memalukan!

Hal lain yang perlu kutegaskan pada Ibu adalah : kenapa sejauh itu membicarakan tentang hubungan antara orangtua dan anak? Aku ini seorang psikolog, aku tentunya sudah tahu bagaimana caranya memahami anakku kelak (nampaknya argument pertama tadi tentang aku tidak perlu memperjelas tentang alasan kemarahannya, tidak berlaku untuk ini).

            Oh, ya? Suatu hari aku akan menjadi orangtua. Sungguh, kah? Aku akan punya anak?

        Oke, kali ini aku akan sungguh-sungguh berhenti mempertanyakan dan membicarakan hubunganku dengan Ibu dan juga dengan anakku, suatu saat kelak. Buat apa? Aku belum punya anak dan belum tentu juga!

            (Sambil memikirkan ini, aku resah. Sungguh. Aku berada di garis pertahanan yang sebelah mana? Oh ya Tuhan. Kenapa aku mendadak sangat Indonesia sekali jadinya?)

              Cukup!

              Pandangku melompat ke luar jendela.

              Sudahi hiruk pikuk di dalam kepala!

Jakarta, Jakarta, Jakarta.

Aku sedang menikmati udara Jakarta. Aku harus menikmati ini tanpa perlu terbebani sesuatu yang seharusnya tidak usah aku bicarakan dengan sangat teliti!

Tahun lalu aku pulang kemari, aku tidak begitu gusar. Namun pada saat itu, aku belum melewati ulang tahunku yang ke-35. Kata orang, ini adalah paruh waktumu di dunia. Jika diibaratkan rata-rata usia orang hidup di muka bumi ini sampai pada 70 tahun, maka aku sudah menjalani setengahnya.

            Mataku basah. Tetapi aku menyangkal bahwa itu bulir-bulir air yang mengalir karena mataku tertusuk perih yang bersumber dari ulu hati. Ini mungkin cuma air apa? Bisa jadi keringat yang mengalir dari dahi sebab disini cuaca sangat lembab meskipun AC sudah ada di angka 22.

              Sudahlah! Aku perlu kembali mengecek hal-hal lainnya di handphone. Aku punya banyak kepentingan disitu, bukan cuma ingin meratapi kemarahanku karena sikap Ibu.

           Baiklah, hal yang paling mencolok ketika kita membuka WhatsApp tentunya ialah grup tidak penting yang satu dan grup tidak penting yang lainnya dengan ratusan obrolan yang pasti sudah aku bisukan. Skip!

Aku perlu membaca hal-hal yang bermanfaat di pagi hari.

Bukan, bukan khotbah pagi atau siraman rohani! Maksudnya kalau-kalau seseorang (biasanya, sih banyak orang) membutuhkan bantuanku untuk berkonsultasi. Itu sesuatu yang bermanfaat, kan? Aku membantu mereka.

Tetapi tidak ada.

Sebelum berharap bahwa aku memang sungguhan berguna bagi orang lain, semestinya aku sudah sadar kalau aku memang “menutup pintu” konsultasi di akhir pekan.

Skip pesan dari Ibu (“Supaya Ibu bisa masakin soto mie kesukaan Micah” hanya sepotong kalimat tersebut yang nampak disitu dengan angka sepuluh berwarna merah di bagian kanan, menunjukkan jumlah baris teks lain diatasnya yang tidak akan aku buka kecuali aku siap, biasanya setelah makan siang dimana nyawaku terkumpul penuh sebab sudah kenyang).

Skip juga pesan dari Bapak sebab isinya pasti kurang lebih seperti yang dimaksudkan Ibu.

Ah, Abang pula di bawahnya.

Kenapa orang-orang ini? Memangnya tidak ada grup keluarga dan mereka harus menanyaiku satu-persatu karena membutuhkan jawaban yang sangat personal seolah-olah aku ini baru pulang dari perang atau barusan keluar dari penjara?

Memang mereka selalu cari perkara kalau si bungsu pulang.

Skip semua!

Oke, di bawahnya ada satu pesan tanpa nama. Hanya sederet nomor handphone sebab aku memang belum menyimpan kontaknya.

Pasien, kah?

Bisa ya, bisa tidak.

Apa yang dia katakan?

Oh, dia sedang mengetik.

Ada lima pesan dan kalimat terakhir di baris chatnya tertutupi dengan sederet kata “mengetik…”.

Jempolku bergetar menyaksikan gerakan berkedip-kedip di layar handphone. Antara “mengetik…” kemudian jeda, sepersekian detik kemudian dia mengetik lagi.

Bibirku tersenyum kecil, hampir melebar namun kutunda karena hatiku berdesir-desir.

Ingin kuintip dari foto profilnya, tapi tidak ada apa-apa, dia mengirim pesan tanpa memasang foto profil.

Orang itu selesai mengetik.

“Micah, aku sudah menunggu di lobi kantormu. Kamu bilang……..” seterusnya tidak dapat terbaca kecuali kalau aku buka.

Micah tertegun. Ia masih enggan untuk langsung menyentuh chat dari nomor seseorang yang tidak ada di kontaknya meskipun dia tahu, itu siapa.

Namun meskipun aku tahu, itu siapa, aku masih memutuskan untuk menganggap bahwa diriku hanya mungkin sedang bermimpi. Aku berusaha keluar dari semua perasaan itu namun yang kudapati hanyalah bahwa aku merasa bahagia, sekalipun tidak jelas apa alasannya?

Mungkin ini semacam penghiburan yang kuterima dari orang lain setelah sepagi ini memikirkan betapa resahnya aku yang hendak bertemu dengan keluargaku sendiri. Maksudnya aku tidak harus melulu memikirkan mereka. Ada orang lain yang bisa aku pikirkan dan mungkin juga memikirkanku. Atau aku memang sungguhan bahagia karena aku tahu siapa yang ada di balik gambar profil yang tersembunyi itu? Entah. Sekali lagi aku tegaskan, tidak jelas apa alasannya?

Dalam sekejap saja, jempolku bergetar, hampir menyentuh layar bertuliskan kata “Micah,” (tentu saja bukan yang ditulis oleh Ibu, Bapak atau pun Abang, namun oleh si nomor misterius itu).

Tetapi dalam sekian detik, satu email masuk dan muncul di bagian paling atas layar Huaweiku.

Itu mengganggu? Sedikit. Semestinya tidak sih, biasanya itu bukan hal yang penting di hari Sabtu, misalkan promo kartu kredit untuk makan Sushi di restoran Jepang.

Hanya saja…kali ini tampaknya bukan. Bukan promo makan Sushi dan juga bukan hanya “sedikit” menganggu. Perhatianku harus tertuju kesitu.

Mungkin  pasien yang lain?

Tidak, alamat email ini asing.

Oh, itu menyedot seluruh perhatianku yang tadinya tertuju pada layar WhatsApp, kini harus tertuju pada surel itu.

Kutarik lagi baris itu untuk dapat melihat alamat surel si pengirim.

Keningku berkerut.

from : marissa.sukmawati@gmail.com

to : me

date : Dec, 15 2018, 07.05

Micah,

***

             EMPAT

           “Micah, aku sudah menunggu di lobi kantormu. Kamu bilang tak akan ada siapa-siapa disini pada akhir pekan, kan? Aku harap demikian.”

            Saya suka aroma lobi ini, tenang dan menyejukkan. Ini bau kopi, bukan lavender seperti di rumahku.

Saya pikir wangi kopi tidak begitu menenangkan tetapi saya salah, boleh juga nanti kucoba untuk di rumah. Nah, jika Anna tidak suka, dia pasti akan mengatakannya, sebab dia sangat peka dengan aroma dan rasa, jika sekira itu menganggunya, dia akan komplain dengang tegas atau sekedar mengeluarkan suara. Jadi bisa dikatakan bahwa itu salah satu cara yang efektif untuk memaksa Anna agar mau berbicara.

Saya harap nanti kamu bisa menyatakan pendapatmu tentang ide bodohku itu .

Eh, ada pot-pot bunga besar di setiap pojok ruangan, semuanya diisi dengan tanaman yang berdaun sama, sama pula besarnya meskipun semuanya memang besar-besar. Yah, tepat sekali! Kuping gajah.

Desainnya juga lumayan, sangat terang karena pintu kaca ada dimana-mana. Atau malah lebih mirip klinik? Tapi, bukankah ini memang klinik, Micah? Atau apa? Hahaha. Saya pasiennya! Kamu akan mengobatiku dengan senang hati. Hahaha! Oh, ya Tuhan!! Maaf, nampaknya saya terlalu bahagia.

Saya tidak begitu yakin kalau saya akan bertemu dengan seorang mahasiswa S2 Jerman yang sedang pulang kampung. Maksudnya bukan tidak yakin dengan status kemahasiswaanmu itu, namun saya cukup senang karena ini seperti hari yang lain, sangat berbeda dibanding pertemuan-pertemuan kita di masa lalu dimana kamu selalu duduk jauh dariku, bahkan kita bukan kawan yang sering bercengkrama di SMA. Ini aneh, seperti memulai babak baru dalam hidupmu, namun kamu tidak begitu yakin bahwa kamu telah memutuskan untuk memulainya. Seperti apa, ya maksudnya? Mungkin seperti berada di alam bawah sadar. Seperti tiba-tiba saja.

Ada tiga ruangan berjejer yang menghadap ke lobi. Aku menuju ke ruangan yang paling pojok, Micah mengatakan bahwa dia ada disana.

Ah, benar saja, ada namamu tertera di pintunya.

***

LIMA

Pintunya tertutup rapat, aku berusaha menggapai gagangnya tetapi tiba-tiba terbuka dari dalam. Papa yang membukanya dan dengan sigap ia mencegahku masuk ke kamar mereka.

Kenapa?

          Aku bilang kalau aku cuma ingin menumpang pipis sebab Mama tengah membersihkan toilet di bawah dan itu memaksaku untuk meminjam toilet lain di rumah ini, yaitu di kamar utama milik orangtua. Namun Papa bersikeras melarangku masuk, dia hanya mengintip dari balik pintu kamar. Aku bingung, memangnya kenapa? Lagian tengah malam, pun aku sering mengetuk pintu kamar ini untuk menumpang pipis di toilet kamar mereka.

        Tetap kupaksa Papa untuk membukakan pintu karena tak tahan dengan rasa ingin pipisku. Tetapi sungguh, sekali lagi Papa tetap menolak dan malah mendorongku dengan kuat, membuatku terjembab ke lantai.

          “Oh, sayang. Maafin Papa! Maafin Papa, nak!” kemudian dia mencoba membantu dengan mengulurkan tangannya padaku.

            Tak kuhiraukan, kutatap mukanya dengan perasaan sengit, rasa sakitnya tidak seberapa tapi menyadari bahwa ayahku terlampau kasar, itu membuatku sedikit terluka.

Pintu kamar mereka pun akhirnya tidak sengaja terbuka lebar, mungkin karena angin yang berhembus dari luar.

Darimana?

Ada sebuah ruangan yang cukup sering didatangi oleh Papa di sudut lantai dua. Semacam ruangan terlarang. Jangankan aku, Mama pun jarang menyentuhnya. Rasa-rasanya itu adalah satu-satunya ruangan di rumah ini yang sulit terjamah oleh Mama sebab disanalah Papa menyimpan pekerjaannya, bisa dilihat dari banyak sekali buku di lemari kaca, kertas-kertas diatas meja, beserta laptop yang sering menyala di sebelahnya. Papa tidak ingin pekerjaannya dikacaukan dan Mama pun tidak tertarik untuk penasaran.

Di dalam ruangan itu ada sebuah jendela yang cukup panjang dan lebar, jarang tertutup, entah panas maupun hujan.

Aku pun jarang sekali berada disana kecuali dia yang menghampiriku di pagi hari, kemudian mengajakku menuju ke sudut situ, katanya untuk menikmati ruang kerja Papa sambil mendengarkan suara cicit burung di bawah sana. Tak jarang aku menolaknya, kembali ke kamarku sendiri kemudian menutup pintu, perlahan tanpa suara.

Kendati demikian, dapat kupastikan bahwa goyangan angin berasal dari jendela besar yang terletak disana, sebab pintu ruangan itu terbuka separuh.

Tiupan angin di Minggu pagi yang hening berhembus dari luar, menyusup masuk melalui jendela besar di dalam ruang terlarang itu, dimana Papa sering berdiri disana, menatap ke bawah, ke halaman rumah kami yang luas.

Angin itu kemudian perlahan menuju kemari, membuat pintu kamar Mama dan Papa yang tadinya hanya terbuka separuh, kini jadi terbuka penuh.

Dan mataku terbang kembali kepada kamar Mama dan Papa. Dapat kulihat banyak pakaian berhamburan di lantai kamar kedua orangtuaku.

Aku tidak langsung menyambut tangan Papa yang masih mengarah kepadaku untuk memberi pertolongan. Mataku tersudut untuk berkeliling menuju ke dalam kamar itu.

         Tiba-tiba terdengar suara Mama memanggil namaku bersama derap langkah kakinya menaiki tangga, tok, tok, tok, seperti sengaja dihentakkan dengan kuat.

Dia selalu bersuara begitu dengan sandal selopnya yang berat. Memang dia menginginkan itu sebab katanya dia takut kalau naik turun tangga sendirian, terutama pada malam hari dan tidak ada siapapun disana, makanya dia harus menimbulkan suara dari kakinya sendiri supaya dia bisa merasa aman. Aku belum tahu apa hubungannya. Hanya itu yang sering Mama katakan padaku dan mungkin juga pada Papa, mungkin.

           “Ayo bangun!” Papa berbisik tegas padaku dengan mata melotot. Pasti dia takut Mama akan melihatku dengan posisi begitu dan mempertanyakan semuanya.

            Mama akan tiba dengan cepat dari lantai bawah, melewati tangga, sebentar lagi tiba disini hanya dalam beberapa detik, dimana aku dan Papa tengah beradu pandang dan aku belum memutuskan apakah aku ingin bangun sendiri atau ditolong oleh tangan ayahku.

        Kupalingkan wajah dari Papa. Kubantu diriku sendiri untuk bangkit dan tak peduli dengan uluran tangannya.

            “Toiletnya sudah bersih, sayang,” benar saja, dia sudah berada di dekat sini, di ujung tangga masuk ke lantai dua rumah kami yang tenang dan selalu bersih.

            Kusempatkan mata untuk melirik ke dalam sana lagi, pada kamar tidur Mama Papa yang luas.

Itu nampaknya bukan sekedar pakaian yang berhamburan di lantai. Mama tidak mungkin melakukannya. Mamaku selalu bersih dan rapi, bahkan meskipun dia bekerja seharian dan sore hari baru kembali ke rumah, dia pasti akan tetap merapikan rumah ini sebagaimana mestinya sebagai seorang Ibu. Apalagi di hari Minggu yang tenang seperti sekarang, maka rumah adalah seutuhnya milik Mama, hanya dia yang boleh mengubah letak pot bunga sekalipun dan meskipun hanya bergeser sepuluh senti dari letak awalnya. Kecuali memang di ruangan pojok sana, tempat Papa mengatur sendiri semuanya sendirian tanpa mau dicampuri oleh Mama.

Jadi jelas, kamar yang semrawut itu perbuatan Papa.

Papa menatap pada kedatangan Mama dengan mata yang masih melotot, sama seperti tatapnya kepadaku beberapa detik lalu.

       Kening Mama berkerut. Dia melemparkan mata pada muka kami, satu per satu, awalnya padaku kemudian pada Papa, seperti mengetahui kalau sesuatu baru saja terjadi. Meskipun aku sudah bangkit dari jatuhku akibat perbuatan Papa, namun wajah suramku dan mata Papa yang pecicilan, mungkin memberi isyarat berbeda bagi Mama.

            Tidak ada yang berbicara lagi dan hanya hening.

            Keheningan ini kemudian menjadi sangat menegangkan.

            Mama mendekat padaku.

           Papa segera berjalan mundur menuju ke pintu kamarnya, sangat ketakukan melihat pada langkah Mama.

                Lirikan mata Mama terayun ke kamar mereka yang pintunya terbuka lebar sepenuhnya.

   Keheningan yang tadinya bersuara, kini dipecahkan oleh amarah yang menggebu dari tubuh Mama, “apa yang kamu lakukan, Nggoro???!!!” Dia marah besar, aku tahu itu, Mama pasti sangat marah.

Aku saja marah melihatnya sebab itu nampak menjijikan di rumah yang selalu bersih dan rapi ini.

Mama mengayunkan langkah menuju kesana sembari menabrak tubuh Papa yang tertegun dan seperti mulai tidak berdaya.

Papa menatap padaku dengan gusar. Tangannya mengepal, menunjukkan amarah yang sama, atau tidak sama? Entah. Dia marah padaku atau pada Mama? Aku tak tahu.

Secepat kilat Papa menyusul Mama menuju ke kamar mereka, dibantingnya pintu kamar itu dan kontan aku menutup telinga.

Anak kecil ini pergi, berlalu dari pertengkaran yang terjadi di kamar orangtuanya. Dapat kupastikan bahwa ini merupakan perselisihan yang lebih hebat dibandingkan apa yang terjadi di dapur tadi pagi.

Banyak makian yang sempat terdengar olehku.

Aku tak tahu itu apa?

Apa??? Memangnya aku tahu apa? Aku hanya seorang bocah berumur tujuh tahun.

Apa Papa benci kebersihan? Sehingga dia sengaja membuat kamar berantakan supaya Mama marah?

Apa Mama terlalu bersih sehingga Papa membencinya?

Sebenarnya kebiasaan Mama untuk bersih-bersih di hari Minggu itu merupakan hal yang bagus untuk rumah ini dan seluruh anggota keluarganya, itu tidak akan merugikan siapapun. Namun, Papa selalu lebih sering keberatan ketimbang memberi dukungan.

Ya Tuhan…Mama berteriak sangat keras bahkan aku dapat mendengarnya saat aku menuruni tangga dengan kuping yang sudah terbuka lebar.

Mama memaki? Ya, Mama memaki.

Tentang apa?

Aku anak baik

Aku anak baik

Aku anak baik

Ada sesuatu yang kotor. Mama mengatakan kalau dia melihat semua kekotoran itu.

Dimana?

Itu mungkin, teriakan Mama berikutnya menjelaskan tentang sesuatu yang menurutnya kotor.

Apa burung-burung peliharaan Papa di halaman rumah membuat Mama merasa terganggu?

Lagi-lagi Mama berteriak.

Oh…keras sekali ia berteriak.

***

ENAM

Ia berteriak dari dalam, mempersilakan tamunya untuk masuk ketika si tamu mengetuk pintu.

Si tamu mendorong pintu, masih sama seperti di luar, aroma kopi menyambutnya dengan segera.

Si tamu menemukan seseorang berdiri di pojok ruangan itu, menyudut di meja, tengah menatap keluar melalui jendela kaca, membelakangi pintu dengan punggungnya yang kecil. Tampilannya nampak rapi sekali padahal itu hari Sabtu, dengan setelan kemeja kerja, belt melingkar di pinggangnya yang ramping sempurna.

Si tamu menyadari bahwa pemilik ruangan itu mungkin acuh dengan kedatangannya, ia pun memutuskan untuk menyapa terlebih dahulu, “hai…”

Manusia di sudut ruangan membalikkan tubuhnya sembari menyapa, “hai, Mas!” Seperti memang terdengar dengan “tanda seru”, menimbulkan gema yang membuat tanda tanya.

Anggara, si tamu itu menatap kagum pada sesosok manusia di sudut sana. Mata bulatnya menggemaskan, bibirnya tipis merah, tak lama kemudian pipinya pun turut merah merekah.

“Kenapa kamu rapi sekali?” Anggara bertanya, “bukannya ini hari Sabtu dan kantormu ini libur?”

Hening beberapa detik di ruangan itu.

Hanya hening.

***

TUJUH

Hanya hening diatas sana.

Namun sekalinya Mama yang berbicara, gemanya berhamburan.

Kunaiki tangga perlahan. Mataku sudah tak peduli dengan darah yang berceceran dari tangan.

Terasa gelap di sepanjang tangga. Atau memang gelap?

Ah, iya…terjawab sudah. Ini memang gelap.

Seperti hari ini, ketika aku baru bangun dari tidur di pagi yang mendung dan nampak masih gelap gulita, atau hanya terlihat gelap karena mataku yang masih sayu menahan berat untuk terbuka dari pejamnya? Aku tidak begitu yakin, yang mana jawaban tepatnya.

Tapi kali ini aku yakin bahwa gelap yang kurasakan sedari pagi adalah pertanda awan hujan yang dibawa kemari.

Aku tak peduli juga jika Mama marah padaku karena aku sudah mengotori lantai dengan kakiku yang basah akibat menembus hujan deras di luar sana, bercampur dengan warna merah darah segar yang menyala-nyala, mengotori lantai marmer rumah kami.

Dapat kupastikan bahwa pintu kamar mereka sudah terbuka sehingga suara Mama tidak terhalangi oleh daun pintu untuk dapat kudengar. Aku pun jadi tahu kalau ia tersedu sambil mengatakan bahwa dia membenci Papa.

Aku tiba disana, melangkah mendekati pintu kamar orangtuaku yang memang sudah terbuka lebar, tidak tertutup rapat lagi seperti ketika Papa membanting daun pintu itu setengah jam yang lalu.

Kudapati Mama dan Papa berdiri berhadapan sambil membicarakan sesuatu dengan kalimat yang hanya dapat dimengerti oleh orang dewasa.

Mereka tidak menyadari kedatanganku.

Gelap melanda dari luar sana, datang bersama angin kencang dan menembus kemari, ke dalam rumah ini. Hanya kecil-kecil cahaya kilat yang terasa, memberi sedikit terang pada kakiku yang melangkah dengan perlahan tanpa suara.

Aku sudah tepat berdiri di gawang pintu.

Mama yang pertama menoleh.

Awalnya Mama acuh, namun hanya sedetik saja, dia lalu terperanjat melihat kucuran darah mengalir dari tangan kiriku. Mukanya seketika terbakar oleh warna merah yang menyala-nyala, persis seperti warna darah di tangan anaknya.

Mama berteriak padaku sambil memegang kepalanya dan berucap kasar pada Papa, sepertinya mengutuk Papa seolah-olah apa yang tengah terjadi padaku dan apa yang kulakukan adalah kesalahan Papa.

Padahal Papa tahu apa? Bukannya mereka sama-sama tidak melihatku di halaman tadi?

Papa pun sama reaksinya seperti Mama.

Mereka panik? Atau ketakutan?

Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan sebab mereka saling meneriaki, menyalahkan satu sama lain.

Tapi, kan seharusnya bukan itu reaksi mereka.

Mereka sama-sama tidak tahu apa-apa. Tidak ada satu pun yang mengetahui diriku apa adanya.

Aku anak baik.

Aku anak baik.

Aku anak baik.

***

          DELAPAN

      “Mas, lupakan Ana! Dan jangan permasalahkan Marissa! Dia tidak tertarik pada uang ataupun kemapanan, dia hanya suka menguasai orang,” tutur pria itu kepada seseorang yang kelak menjadi kekasihnya.

***

SEMBILAN

           “Aku tidak suka mendengar Mama mengatakan bahwa Papa lebih mencintai burung-burungnya

daripada aku dan Mama.”

            “Aku iri dan benci sama burung-burung ini.”

            Keduanya menatapku dengan pandangan yang kaku, namun tubuh mereka layu.

            Seketika ruangan itu menjadi sangat kelam dan mencekam.

Tetiba dapat kudengar suara burung-burung di bawah sana, di halaman depan rumah kami yang luas. Rintihan yang tergema perih, menyusup masuk terbawa angin bersamaan dengan aroma tanah akibat tertimpa air hujan, menyusup masuk perlahan melalui jendela di ruang terlarang milik Papa yang  selalu terbebelak lebar di pojok sana dan tiba kemari, memecah sepi.

Cicitan yang indah meskipun bukan suara merdu bersahutan seperti pagi-pagiku sebelum ini.

Kenapa masih bersuara? Bukankah tenggorokan mereka sudah kutebas pakai pisau terbesar dari knife set milik Mama?

Ohhh…tidak apa-apa. Mungkin mereka berderit, menjerit menahan sakit, menunggu mati.

            Aku yakin orangtuaku juga tentu mendengarnya.

            Kini kubuka genggaman tanganku perlahan dan menatap ke arah dua sejoli itu.

            Satu per satu kulesatkan mata kepada muka mereka berdua.

             Pertama pada Papa.

            Aku benci Papa.

Dia selalu salah memanggil namaku. 

Tapi bukan berarti Mama menjadi cukup aku segani hanya karena aku membenci suaminya sebab Mama pun sama kerasnya seperti batu yang dipenuhi lumut namun enggan lapuk.

Darah segar terus mengucur dari tanganku. Seekor burung kehilangan nyawanya disana.

            Merahnya darah mengotori lantai, bersama-sama dengan basah air yang mengalir dari tubuhku.

            Kemudian selanjutnya kulemparkan mata ke wajah Mama, Mamaku yang cantik jelita.

           “Ma, ini kan yang Mama mau? Burung-burung itu sudah mati. Sekarang Mama tidak perlu repot-repot membersihkan kotorannya lagi setiap pagi.”

            Bibir Mama bergetar, matanya tidak berkedip sama sekali dalam tatapnya kepadaku, bocah kecil ini.

          Dan kukembalikan mataku kepada Papa. Dia bisu, tidak seperti hari-hari lalu dimana ia banyak bicara dan selalu membuatku menjadi kaku, membuatku menjadi salah mengenali siapa diriku?

            Aku menatap mereka. Mereka menatapku. Tapi mereka tidak ingin saling menatap.

       Kataku pada Papa, “dan Papa…” aku berhenti berucap, mencari kalimat lanjutan yang hilang di tenggorokan.

Papa menunggu aku melanjutkan ucapanku namun tubuhnya lemas melihat darah burung kesayangannya yang masih terus mengalir dari tangan kiriku.

Apa yang dia pikirkan? Apa dia sedih? Atau marah?

Pasti dia marah. Meskipun dia tidak pernah secara langsung menunjukkannya padaku, tapi aku selalu tahu bahwa dia tidak menyukaiku, apalagi atas perbuatanku padanya hari ini pada burung-burungnya di halaman rumah kami.

            “Papa, aku Eno. Bukan Ana!”

Tolong berhenti memanggilku Ana!

Aku anak baik.

Aku anak baik.

Aku anak baik.

***

         SEPULUH

from : marissa.sukmawati@gmail.com

to : mischa.purba_akamitjah83@ymail.com

date : Dec, 15 2018, 07.05

Micah,

Apa kabar?

Apa sudah tiba di Jakarta?

Sebelumnya perkenalkan, saya istrinya Anggara.

Kamu pasti tidak mengenal saya. Sama, saya juga nggak begitu mengenal kamu, hehe.

Kita bisa berkenalan lebih lanjut disini.

Lima tahun lalu kita pernah bertemu di reuni SMA kalian. Mungkin kamu lupa, tapi saya ingat, kamu yang mana?

Kamu pakai kaos polo warna pink tua yang mencolok, duduk di pojok depan, satu meja dengan beberapa cewek yang kayaknya mereka tuh populer banget di sekolah kalian pada jamannya, bahkan setelah kalian lulus, nampaknya hal itu juga masih sama.

Salah satu band apa itu namanya yang waktu itu manggung? Band populer di Jakarta waktu tahun-tahun kita SMA, lucu banget mereka masih manggung di tahun 2013 itu, waktu umur mereka udah tua banget, hahaha. Mereka juga pernah manggung di SMEA gue, cuman gue lupa nama bandnya. Tapi gue inget banget lagunya yang waktu itu mereka nyanyikan.

Tunggu, gue kudu repot-repot googling dan copas disini, semoga gue nggak salah.

Everybody
Rock your body
Everybody
Rock your body right
Backstreet's back alright

Na na na na

Am I original? (yeah)
Am I the only one? (yeah)
Am I sexual? (yeah)
Am I everything you need?
You better rock you body now

Oh my God, gue lihat elu, Micah! Sumpah, lu keren banget!

Lu bergoyang dengan seksinya dari kursi tempat lu duduk.

Apa judul lagu itu? Everybody yah? Backstreet Boys.

Yup!

Am I original? (yeah)
Am I the only one? (yeah)
Am I sexual? (yeah)
Am I everything you need?
You better rock you body now

Iyes, lu seksi.

Gue yakin, Anggara gak memperhatikan elu, dia sibuk sendiri angkat gelas sama gengnya di meja kami. (Ssstttt! Waktu itu dia menyelundupkan 2 botol wine yang baru dia beli seminggu sebelumnya. Haha, nakal banget kan?)

Tapi sejujurnya mata gue gak bisa lepas dari elu.

Elu cool, sexy.

Am I the only one? Yup!

Am I sexual? Yes, you are!

Wkwkwk. Exactly, Micah! You’re sexual.

Hehe, maaf kalo gue salah.

Tapi arti kata “sexual” disini emang sejenis “seksi” kan?

Semacam itu lah.

Semacam elu.

Yah…gue nggak begitu ngerti bahasa Inggris, gue cuma lulus SMEA, di jurusan yang kurang populer pula. Orang lain berlomba-lomba masuk jurusan akuntansi, gue cuma bisa lolos di Administrasi Perkantoran, hahaha.

Nggak kayak Anggara yang bapaknya lumayan kaya, meskipun dia bodoh, tapi duit bapaknya bisa membiayai dia untuk sekolah disana. Gue juga nggak kayak elu yang dapat beasiswa sejak SMA, bisa duduk disana sama-sama mereka, anak-anak elite itu.

Beruntung gue dinikahi sama Anggara. Dia anak orang punya, bisa kuliah, bisa kerja dan tetap kaya.

(Eit, tapi bukan berarti bahasa Inggrisnya jauh lebih baik daripada gue, lhoh ya! Hahaha. Sama aja, dia sama payahnya. Dia 2 kali tinggal kelas gara-gara gak lulus pelajaran bahasa. Makanya dia lebih tua daripada elu padahal kalian satu angkatan kan?)

Wkwkwk.

Ngomong-ngomong gue udah baca tentang Goethe. Seperti biasa, tanya mbah google.

Laki gue goblok emang, mana tau dia hal begituan. Dia taunya cuma gimana caranya cari duit.

Tapi sebenarnya dia nggak goblok sih, toh setiap perempuan bakal bersyukur kalo punya laki yang pinter cari duit, termasuk gue.

Haha.

Baik lah, gue harus banyak ngomong dulu ke elu supaya nantinya lu tinggal merangkum apa yang gue omongin di jurnal, kan?

Seperti elu merangkum curhatan Anggara selama beberapa bulan ini. Ya, kan?

Dan semoga elu juga sempat membaca ini sebelum ketemu sama Anggara.

Begitu, betul?

Ok, lanjut!

Apa lagi yang bisa kita obrolin?

Oh, iya, suami gue sering bilang ke elu kalo gue suka banget bersih-bersih ya?

Haha. Bego dia. Bego dan munafik!

Jadi gini, Micah. Sebenarnya kebiasaan itu mungkin menurun dari Emak gue yang gak tahan sama rasa jijiknya kalo dia pergi ke dapur, mendapati lantai dapurnya berlemak gara-gara cipratan minyak jelantah waktu dia menggoreng tempe atau ikan.

Kami hidup miskin di Banten, dapur kami cuma diplester halus, gak pake ubin ataupun keramik. Bayangin kalo kena cipratan minyak! Pasti langsung bikin lantai itu bernoda bintik-bintik kecil yang menjijikkan. Belum lagi kalau keinjek, kaki bakal terasa lengket-lengket bercampur dengan hitamnya debu yang hinggap disana.

Lantas untuk mengatasi itu, Emak merebus air, gak perlu sampe mendidih, katanya sayang minyak tanahnya, yang penting air itu jadi panas. Setelahnya lu bisa nebak, kan? Dia bakal menyiram lantai dapur yang terpercik minyak pakai air rebusan itu.

Bukan pakai super pell atau wipol karena kami nggak punya, nggak kuat beli! Tapi dia pakai air panas untuk mengangkat semua lemak di atas lantainya.

Itu mencengangkan, sih. Idenya gak biasa karena waktu gue pertama kali melihat kebiasaan yang begitu, umur gue baru enam atau tujuh tahun, seusia anak gue sekarang. Jadi gue pikir, ide Emak untuk bersih-bersih di tengah keterbatasan kami itu brilian banget.

Semenjak itulah, akhirnya gue tau kalo Emak suka sekali kebersihan dan tentu kerapian juga, meskipun kami hidup miskin dan nggak punya apa-apa, asal rumah bersih dan terawat, pasti siapapun bakal seneng untuk tinggal di dalamnya.

Gue belajar banyak dari dia.

Dan lu tau? Hal begitulah yang awalnya membuat Anggara jatuh cinta ke gue.

Dulu waktu kami pacaran (gue masih jadi buruh pabrik dan dia adalah atasan gue), dia sering banget datang ke kos gue, mungkin seminggu bisa dua kali.

Kamar kos gue  selalu bersih, gue pel dua kali sehari, pagi-pagi sebelum gue berangkat kerja dan malamnya setelah gue selesai mandi.

Baju-baju always gue cuci setiap kali gue mandi (bukan cuma beberapa hari sekali maksudnya), setelah kering langsung gue gosok, gue lipet dan gue masukin ke dalam lemari. Dia duduk merokok di pojok kamar sambil memperhatikan rutinitas gue itu.

Rapi,gue  sangat rapi meskipun kamar kos gue cuma sebuah kamar kecil dengan satu lemari, tanpa dipan, gue tidur beralas kasur busa tipis tapi spreinya gue ganti tiap tiga hari sekali. Tepat ketika Anggara datang dan waktu dia kembali lagi tiga hari berikutnya, spreinya pasti sudah berganti.

Mungkin dia pikir bakal menyenangkan kalau punya istri tukang bersih-bersih, rumah bakal selalu bersih dan rapi. Atau menurutnya, dia nggak perlu sewa pembantu kali, hahaha.

Yang pasti, dia bilang kalau gue adalah istri idaman, bakal mengurus setiap detail di dalam rumah tangga dengan penuh perhatian.

Gue beruntung, akhirnya Anggara menikahi gue. Gue nggak pernah kembali lagi ke lantai berplester semen ataupun kosan yang sempit tanpa AC dan tidur di lantai dengan kasur busa tipis!

Apanya yang aneh? Nggak ada.

Gue cuma suka bersih-bersih, Micah!

Besok adalah hari Minggu, hari favorit gue untuk berada di rumah dan bersih-bersih.

Yang Anggara katakan itu emang bener! Gue nggak pernah duduk tenang, bahkan untuk membaca majalah atau pun main handphone, gue hanya bisa duduk selama dua sampai tiga menit. Ya…katakanlah sekitar selesai membaca satu halaman majalah. Selain itu, tugas gue adalah merapikan rumah.

Apanya sih yang aneh?

Lantai marmer yang bersih, lemari pakaian dari kayu jati yang selalu rapi, peralatan makan yang higienis. Apanya yang aneh??

Yang aneh itu Anggara!

Dia memelihara burung-burung di halaman tapi gue yang harus membersihkan kotorannya setiap pagi. Dia bangun udah siang, antara jam tujuh sampe setengah delapan, tinggal melenggang turun dari kamar ke halaman, sambil bersiul, melihat kandang yang sudah bersih, nggak ada taik yang berceceran, karena apa? Karena gue yang membersihkan!

Oh, iya ngomong-ngomong tentang burung peliharaan, apa dia sering menceritakan itu ke elu?

Dia punya tujuh ekor burung. Tiga perkutut, dua kenari dan dua lagi burung yang paling berisik, burung beo sialan!

Dia pasti nggak pernah menceritakan itu, kan? Nggak, lah! Pasti nggak pernah!

Tapi gue tebak, lu pasti tau, kan kalo dia pecinta burung? Hayooo…! Ngaku! Lu pasti tau! Darimana lu tau?

Ya pasti, lah dari halaman facebook atau IGnya. Ya, kan? Disitu, kan kalian pertama kali bertemu setelah sekian lama?

Di halaman facebook itu.

Ada muka istrinya disana?

Nggak ada. Jangankan muka saya, mukanya sendiri pun tidak ada!

Cuma ada postingan foto burung-burung itu, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati dan yang sudah terjual di tahun-tahun sebelumnya.

Ada muka Ana?

Ada postingan muka Ana disana?

Oh my God….! Ana?! Dia bercerita tentang nama Ana?

Gue nggak percaya kalo gue sungguhan membaca nama Ana di surel-surelnya ke elu selama ini!

Ya ampun…anehnya lagi kalo elu berusaha memahaminya dengan mempercayai itu.

Hahaha.

Begini, Micah

Hmmm…gimana yah? Gue bingung gue musti bilangnya gimana sih?

Micah, bagaimana caranya lu tau tentang kehidupan seseorang hanya dengan melihat rumahnya dari halaman?

Sekali lagi gue tanya, ada muka Ana di halaman facebook ataupun feed instagram punya suami gue?

Jangankan muka Ana, bahkan muka dia sendiri pun nggak pernah ada.

Gue kasih tau satu hal, Micah. Sebenarnya gue juga nggak tau, Ana itu siapa?

Kenapa dia terobsesi sama Ana?

Sekali lagi, Micah! Ya ampun ini, mah nggak akan Cuma sekali, sih! Kayaknya musti berkali-kali mengatakan ini! Jangankan muka Ana, bahkan muka gue pun nggak pernah ada disana, di halaman facebook ataupun instagramnya, bahkan kalau dia punya media sosial yang lain (yang  dia sembunyikan dari gue alias gue nggak tau), gue tetap yakin, nggak akan ada gue ataupun Ana.

Tapi kalau memang dia tetap bersikeras bahwa  Ana itu memang ada, maka kemungkinannya cuma satu, coba lu tanyakan ke dia, siapa Diana?

Kemana gadis kecil dalam kandungannya Diana? Tiga tahun lalu mertua gue yang menghakimi mereka di Singapura!

Coba, deh lu tanyain itu ke dia!

Dalam satu - dua jam ke depan, lu bakal bertemu dengan Anggara, kan? Dimana? Di kantor lu?

Coba tanyakan!

Hufffttt…!

Micah…

Astaga…

Wkwkwk. Ini terasa lucu banget, tau nggak, sih? Butuh berbulan-bulan bagi kalian untuk saling membalas email, tapi gue duduk manis disini cuma satu jam dan menyaksikan semuanya tanpa merasa kaget, tapi justru lega. Gue nggak kaget, karena gue tau, Anggara itu siapa?

Tapi elu? Elu tau dia siapa?

Okay, gue lega pula karena bisa menulis ini ke elu. Meskipun gue nggak berharap kalau elu bakal mengerti dengan bijaksana, atau berusaha memisahkan antara urusan personal dengan bagaimana cara elu menanggapi semua ini secara profesional!

(Wkwkwk…mahasiswa S2 di Jerman, lhoh!)

Jadi sekarang lu udah di Jakarta beneran, kan?

Elu mau satu burung yang ada di halaman rumah kami?

Kalo mau, jangan cuma bertemu di kantor! Mampir, lah kemari! Gue yakin, lu juga pecinta burung, kan? Sama seperti suami gue, wuahahaha,

Huhuyyyy…!

Kalo bukan sesama pecinta burung, nggak mungkin dong bisa saling bercengkrama sampai sejauh ini?

Sama seperti ketika dia memposting foto burung-burung itu di halaman facebook ataupun instagramnya. Sama seperti ketika dia membiarkan kotoran burung-burung itu mengotori halaman rumah kami yang selalu bersih. Sama seperti ketika dia selalu menyebut nama Ana di dalam rumah kami. Elu sama seperti itu, kan? Secinta itu!

(Bahkan mungkin dia lebih mencintai burung-burung itu ketimbang anak istrinya!)

Sama seperti ketika dia jatuh cinta ke elu.

Mampir, Micah! Pintu rumah gue terbuka lebar. Jangan hanya berdiri di halaman!

Supaya elu juga tau betapa bersihnya rumah gue! Supaya elu juga jadi bisa bertemu langsung dengan lelaki kecil yang bernama ANA!

Hahaha, ya ampun…asal lu tahu, gue sampai harus membuatkan mantera untuk anak gue supaya dia bisa mengendalikan dirinya saat menghadapi bapaknya sendiri!)

Aku anak baik. Aku anak baik. Aku anak baik.

Begitu manteranya.

Dan sesulit itu gue menghadapi semuanya ini, lantas dia seenaknya menulis nama Ana di setiap emailnya ke elu?

Hahaha, Ana…oh Ana….! Kau membuatku gila!

Sebenarnya siapa yang nggak “paham”, sih? Elu atau dia?

Atau gue yang nggak paham?!

Entah! Berhubung profesi lu psikolog, sebenarnya elu yang paling bisa menjawab. Tapi kemudian, kita juga sudah tau, elu itu siapa???

Okeyyy, lah Mitjah!

Nggak papa. Lihat aja nanti, yah??!

Salam kenal.

Sampai ketemu di rumah Bapak Anggara, masuklah ke dalam! Jangan cuma berdiri di halaman!

Kecuali kalau akhirnya Anggara yang memang memutuskan untuk keluar!

---

from :marissa.sukmawati@gmail.com

to : mischa.purba_akamitjah83@ymail.com

date : Dec, 15 2018, 07.57

Oh iya, Micah, btw kenapa lu duduk disana?

Di reuni itu, kenapa lu memutuskan untuk duduk disana?

Kenapa lu duduk di pojok depan, satu meja sama cewek-cewek cute itu, terus luwes banget bergoyang bersama mereka dengan hebohnya?

Atau karena cewek-cewek itu emang satu geng sama elu sejak kalian masih sekolah?

          (Maaf, Micah. Gue nggak bermaksud menghakimi elu. Terserah elu mau duduk dimana. Itu hak elu. Tapi andaikata hari itu lu tidak berkaos polo warna pink muda yang mencolok mata ataupun tidak memilih duduk bersama perempuan-perempuan centil itu di satu meja, mungkin hari ini gue nggak akan tau, elu yang mana?!)

Kenapa lu nggak duduk satu meja dengan Anggara atau temen-temen cowok yang lainnya?

Satu lagi, seperti yang gue bilang, ada tujuh ekor burung di halaman rumah kami.

Dan Anggara mencintai ketujuh-tujuhnya!

Jadi jangan berharap kalau elu cuma satu-satunya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEBUR

     Ibu sungguh-sungguh terobsesi menjadikanku aktris atau apapun itu yang bisa ditampilkan di televisi. Aku diantarnya ikut audisi demi audisi: menari, bernyanyi, berakting dan apapun itu yang biasa ditampilkan di televisi.      Anak kecil tak pernah tahu tentang tujuan hidupnya, orangtua yang bertugas membimbing anak-anak untuk mencapai cita-cita .      Itu yang selalu Ibu katakan.      Tak pernah sekalipun aku melawan sebab memang cuma Ibu yang mengurusku sendirian.      Hanya saja kelak ketika aku lepas dari masa remaja dan menjadi dewasa, aku tahu kalau terkadang ia tak sedang sungguh-sungguh seperti apa yang ia katakan. ***      “Aku lelah, Bu,” ucapku, memalingkan muka.      “ Casting ini untuk pemeran pendukung perempuan.”      “Lantas?”      “Hei! Bulan lalu seluruh uang Ibu sudah habis untuk berbagai treatmentmu di klinik kecanti...

Rekomendasi Pantai Hidden Gem di Gunung Kidul, Cocok buat Kaum Introvert yang Pengen Foto Liburannya Bersih dari Foto Manusia Lain

    Hei, Anda yang (katanya) introvert atau emang bener introvert parah seperti aku dan bestieku ini, bukankah di dalam hati Anda yang paling dalam, Anda tetap ingin jalan-jalan lalu berpamer ria di sosial media? Hhhh! Ngaku aja, deh!      Sebenernya yang paling penting bagi kaum introvert (mendang mending) adalah bisa berkelana kemana aja tanpa perlu memikirkan "harus/bakal bertemu siapa?" Jadi orang introvert itu sama sekali bukan katak dalam tempurung?! Ya dong!  (Karena katak bukan orang! Oke, skip!)       Nah, sekarang sebelum Anda berpikir terlalu jauh tentang mau healing kemana, sama siapa, nanti akan bertemu siapa, maka hal pertama yang Anda perlukan adalah keyakinan bahwa dompet Anda ada isinya, terutama buat beli bensin.       Jadi kalau di dompetnya cuma ada sepuluh ribu, ya jangan berpikir untuk ke pantai atau gunung dulu, ya cuk! Jangankan buat ke pantai, buat beli bensin dan starter motor thok, bisa-bisa...

TIGA KERAMAT

Kepala Suku/Ilustrator : Smavel Deck Ada tiga macam upacara adat yang akan mereka lakukan selama tiga hari berturut-turut. Aku wajib untuk ikut satu dari antara tiga itu. Tiga merupakan angka yang sakral bagi masyarakat suku di lembah Cendana ini. Dalam tujuh hari, mereka hanya boleh 3 hari bekerja. Hari-hari lainnya dipakai untuk beristirahat dan mengolah makanan. Anak umur 3 tahun wajib disunat. Remaja lelaki 13 tahun wajib hidup mandiri di pondoknya sendiri. Remaja putri umur segitu, yang belum menstruasi, wajib bekerja mencari ikan di rawa-rawa selama 3 hari berturut-turut untuk keluarganya. Jika sudah menstruasi, maka wajib dikawinkan dengan lelaki usia 1 3 tahun atau lebih. Ngeri memang mendengarnya, namun memang itulah alasanku datang kemari. Aku ingin tahu betul, bagaimana cara mereka bertahan hidup di bawah aturan yang sangat ketat, terkait angka-angka sakral yang telah mereka tetapkan sejak berabad-abad lalu. Mereka pun sangat terisolasi, jauh dari peradaban, ha...