SATU
(Anak,
7 tahun, pendiam, penyendiri)
Sebenarnya
kebiasaan Mama untuk bersih-bersih di hari Minggu merupakan hal yang bagus untuk
rumah ini dan seluruh anggota keluarganya, itu tidak akan merugikan siapapun.
Namun, Papa selalu lebih sering keberatan ketimbang memberi dukungan.
Seperti hari ini, ketika aku baru bangun dari tidur di pagi yang mendung
dan nampak masih gelap gulita, atau terlihat gelap karena mataku yang masih
sayu menahan berat untuk terbuka dari pejamnya? Aku tidak begitu yakin, yang
mana jawaban tepatnya.
Apa ayam sudah berkeliaran mencari makan dan kicau burung-burung di halaman
sudah saling bersahutan? Belum dapat kupastikan. Yang kuyakini hanyalah bahwa
hati ini agaknya menginginkan agar kakiku terayun turun menuju lantai satu
dimana sebuah perdebatan kecil tengah terjadi, terdengar sayup-sayup redup.
Ya,
kuturuti kata hatiku. Kuputuskan untuk turun ke bawah dan mendekat. Sebenarnya
bukan karena aku terlalu kepo dengan permasalahan apa yang tengah mereka
ributkan. Aku tidak begitu peduli dan mungkin sangat tidak peduli. Tapi
setidaknya aku berpikir bahwa jika aku bangun dan melewati mereka, maka mereka
akan menjadi malu dan segera menutup mulutnya rapat-rapat sebab keduanya
menjadi sadar kalau aku sangat terganggu. Selama beberapa detik langkah kakiku
terayun menyusuri anak tangga, kemudian tiba di lorong panjang yang mengarah ke
dapur, tempat mereka bercek-cok ria.
Samar-samar
mulai terdengar sekelebat percakapan dengan nada tinggi layaknya apa yang aku
simpulkan di awal tadi ; perihal bersih-bersih.
Papa :
Karena kamu selalu membersihkan semuanya terlalu bersih!
Mama :
Apa, sih maksud ‘terlalu bersih’ itu?
Papa :
Terkadang perkakasku hilang!
Mama :
Itu tidak hilang, cuma pindah tempat!
Papa :
Pindah tempat? Terakhir Minggu lalu kamu beberes, sekarang martilnya sudah
ketemu? Ketemu dimana? Di tempat sampah?
Mama :
Heh, aku nggak menyingkirkan martil, apalagi membuangnya! Itu mustahil! Pasti
kamu sendiri yang lupa taruh dimana pas hari Jumat kamu perbaiki jemuran.
Papa :
Ya mana kamu ingat?! Emangnya kamu ingat benda-benda apa saja yang sudah kamu
pindahkan?!!!
Aku
muncul di pintu dapur dan melewati tubuh mereka berdua yang berdiri dalam jarak
satu meter lebih sedikit.
Mereka
tidak begitu hirau padaku atau aku yang tidak dapat melihatnya dengan jelas
karena mataku masih sayu?
Langsung
saja kutuju pada dispenser yang berdiri tegak di samping kompor. Ada sebuah
gelas nganggur disana, tanpa penutup, entah milik siapa, aku tidak peduli. Aku hanya ingin tubuhku lewat diantara tubuh kedua
orangtua itu. Itu saja? Ya, tentu itu saja, supaya bisa menjadi kode bahwa aku
dan tidurku tengah terganggu.
Papa :
Kita sudah sepakat untuk bergantian membersihkan halaman rumah setiap satu minggu
sekali. Bergantian, hari Minggu ini aku, Minggu depannya lagi kamu.
Mama :
Oh, ya? Kita sepakat??? Setiap satu Minggu sekali di hari Minggu? Apa kamu
nggak lihat kalau setiap pagi selalu aku yang membersihkan halaman rumah dari
kotoran tujuh ekor burung peliharaanmu itu? Kamu pikir burung-burung itu bisa
membersihkan kandangnya sendiri? Nungguin kamu melakukan itu dua minggu sekali?
Yang bener aja lu!
Papa :
Kamu tahu kalau aku sering bangun kesiangan, kamu nggak pernah membangunkan aku
supaya aku yang mengerjakannya.
Mama
hanya diam. Dia sibuk kepada pekerjaannya lagi.
Tegukan
demi tegukan air putih mengalir ke tenggorokanku.
Pada
akhirnya Papa meminta maaf kepada Mama tentang kotoran burung-burung di halaman,
meskipun belakangan dia tetap membahas urusan martilnya.
Mama
tidak peduli. Dia terus saja berbicara pada Papa tentang betapa dia membenci
kotoran burung itu sembari tetap pada kesibukan membereskan perkakas dapur yang
terbongkar dari rangkaian kitchen set yang pintunya terbuka lebar. Nampaknya,
bahkan dia tidak melirik padaku.
Berantakan
sekali di dapur ini, seperti baru saja terjadi gempa atau coba saja bayangkan
jika kamu baru tiba di pengungsian!
Papa
tetap berdiri disana. Dia pun hanya melirik kecil padaku sambil berkacak
pinggang melihat aksi Mama.
Di tahap selanjutnya, Mama tentu akan terus
mengomel tanpa henti.
Tentang
apa aja, sih? Misalnya tentang lemari makan yang berdebu, menurut hematnya, itu
harus rutin dibersihkan karena disanalah tempat kita menyimpan makanan, dia
merasa tidak ada yang salah dengan semua itu. Kenapa setiap kali dia
bersih-bersih di hari Minggu dan mungkin secara kebetulan, beberapa kali
perkakas Papa hilang atau berpindah tempat, maka dia pula yang musti
disalahkan???
Kemudian
dia juga bilang kalau kompor, kulkas dan microwave, semua itu menyimpan kotoran
karena setiap hari selalu digunakan dan dia hanya sempat membersihkannya setiap
satu minggu sekali, di hari Minggu, seperti hari ini!
Lalu kembali pula ke permasalahan perkakas
pertukangan milik Papa, dia meyakini betul kalau setiap benda itu sudah selalu
disimpannya dengan rapi di gudang belakang meskipun dia juga sadar bahwa dia
sering memakai beberapa diantaranya untuk menempelkan paku di tembok, mengecat
ulang pagar atau membuka baut kipas angin dan exhaust. Semua dilakukannya demi
menata, mengatur dan membersihkan setiap sudut di area rumah ini, bahkan
seluruhnya, sampai ke halaman.
Sekali
lagi aku katakan, tujuannya baik, dia suka kebersihan, keindahan dan kerapian.
Namun
Papa masih saja berdiri disana, terus-menerus menatap kesal kepada Mama
seolah-olah Mama begitu mengganggunya.
Kuulangi
lagi perbuatanku, mengisi gelas dari dispenser dan berminat meminumnya, untuk
kedua kali dari gelas yang sama. Dalam kondisi sadar, aku mulai sedikit peduli
serta digantungi oleh rasa penasaran tentang bagaimana reaksi salah seorang
dari mereka sebab aku tahu kalau aku sedang melakukan sebuah kesalahan,
terutama di mata Mama.
Secepat
kilat Mama merebut gelas yang telah terisi separo itu dari tanganku ketika aku
mengarahkannya ke mulutku.
Nah,
rasa penasaranku sudah terjawab.
Mama :
Mama sudah berulang kali bilang! Jangan pakai gelas sembarangan! Apa kamu tahu
gelas itu bersih atau kotor, sedangkan dia dalam kondisi terbuka tanpa penutup?
Gimana kalau dia sudah ada disitu sejak semalam?? Ada cicak, semut, tikus, tai
burung atau apapun yang masuk kesana?! Apa susahnya mengambil gelas yang baru
dari dalam lemari? Itu jelas lebih bersih!
Tidak
akan kutatap mata Ibuku, aku hanya tertunduk layu. Kembali kepada perasaanku di
awal tadi, mulai tidak peduli lagi.
Wanita
berpiyama biru dongker yang kupanggil Mama itu pun membuang air dari dalam
gelas dan mencucinya di bawah keran pencuci piring dengan buru-buru, berisik
dan sedikit kasar. Siapapun yang melihatnya, bahkan hanya seorang makhluk kecil
sepertiku, tentu akan langsung dapat menyimpulkan bahwa ia sedang menumpahkan
emosi yang menggebu-gebu seperti tumpahan air dari gelasku itu.
Papa :
Itu gelas yang aku pakai lima belas menit lalu, kotor darimananya? Belum ada
semalaman disitu! Lagian dia sudah minum satu kali tadi, kenapa kamu baru
ngomelin dia sekarang?
Mama
diam, tidak mengindahkan omongan Papa.
Papa : Jangan
bersikap seolah-olah semuanya kotor, kotor, kotor sehingga kamu jadi bersikap
terlalu bersih!
Mama : Terlalu
bersih, terlalu bersih, selalu itu juga alasanmu! Lagipula, kamu tahu kalau dia
sudah minum satu kali dari gelas itu tadi, kenapa nggak kamu tegur?
Papa :
Astaga…! Kamu ini memang…
Aku
tidak mengatakan apapun, berlalu lagi diantara keduanya, melangkah menuju
tangga untuk kembali ke atas, ke kamarku sendiri.
Mereka
masih meributkan keyakinan mereka masing-masing yang membuatku justru semakin
tidak peduli. Artinya, misi awalku untuk membuat mereka merasa malu dan menutup
mulut rapat-rapat terbukti gagal. Aku harus peduli yang bagaimana lagi? Itu
bukan urusanku. Aku hanya ingin tidurku tidak terganggu sebab aku ini anak-anak
dan membutuhkan jam tidur yang cukup, bukankah begitu yang sering dikatakan
oleh Mama?
Aku anak baik.
Aku anak baik.
Aku anak baik.
***
DUA
(Papa,
37 tahun. Manajer Keuangan di sebuah perusahaan Farmasi. Pria yang mapan dan
sopan)
Sudah beberapa hari terakhir ini saya berkomunikasi semakin intens melalui email dengan seorang kawan lama semerakhir bertemu dengannya, sekira lima tahun lalu, di reuni SMA kami dan saya menemukannya lagi di facebook baru setahun belakangan ini. Menurut penuturannya, dia sekarang tinggal di Jerman, tepatnya di kota Munich.
Dia pulang ke Jakarta, saya rasa dalam Minggu ini.
Jadi, merasa bahwa ini adalah Minggu-Minggu kepulangannya, saya
memutuskan untuk semakin sering mengirim email kepadanya. Lebih sering daripada
biasanya. Sebab jika sebelumnya kami hanya berkomunikasi di platform media sosial,
maka beberapa bulan terakhir saya sudah memutuskan untuk pindah ke surel. Kenapa?
Tentu saja karena lebih mudah mengiriminya pesan melalui media ini, saya bisa
menulis sebanyak mungkin, sepanjang yang saya inginkan dan… Dan apa? Dan tentu
saja istriku belum tentu mengecek Emailku. Kemungkinan besar dia hanya akan
bekeliaran di Facebook ataupun Instagram. Menurutku, sulit terpikirkan olehnya
untuk menelusuri bagian lain yang agaknya sedikit tersembunyi ini, sebab
biasanya saya hanya akan membuka Email jika berurusan dengan pekerjaan, bukan
untuk bercerita dan membagi curhatan.
Selanjutnya, kembali kepada teman lamaku, seperti yang sudah saya bilang
tadi, di kemudian hari, menulis apapun padanya telah menjadi kebiasaan saya. Menulis
email setiap hari, setiap saat kalau saya sempat. Bukan cuma menulisnya, sebab
dia juga membalasnya, meski tidak sesering saya.
Selasa, 11 Desember 2018, 07.25 WIB
(Selasa, 11 Desember 2018, 01.25 Dini Hari Waktu
Jerman)
Micah,
Gue sadar kalo selama beberapa hari ini mood
gue naik turun. Eh, istilah mood naik turun itu bener nggak, sih? Coba tolong
lu koreksi, siapa tahu ada bahasa yang lebih tepat dari sisi psikologi.
Oke, itu nggak masalah. Tapi masalah utamanya
bukan terletak pada kesadaran gue tentang betapa naik turunnya mood itu dengan
cepat. Yang bikin gue frustrasi adalah ketika semakin gue berusaha untuk
mengontrol itu, semakin berat juga gue menghadapinya.
Ada solusi lain?
---
Selasa, 11 Desember 2018, 18.32 Petang Waktu
Jerman
(Rabu, 12 Desember 2018, 00.32 WIB)
Mas Anggara,
Dari setiap hal yang pernah kamu ceritakan ke
aku, sebenarnya aku curiga kalo kamu terlalu memendam semuanya sendirian. Tidak
ada tempat. Mungkin istrimu tidak begitu peduli, ya?
Sabar, yah. Aku masih terlalu sibuk untuk
menanggapi dengan cepat, tapi seperti yang sudah aku bilang sejak 2 minggu lalu
kalau aku mau pulang, jadi tenangkan hatimu sampe aku tiba di Jakarta! Kita
bisa ngobrol lebih leluasa.
---
Rabu, 12 Desember 2018, 07.00 WIB
(Rabu, 12 Desember 2018, 01.00 Dini Hari Waktu
Jerman)
Micah,
Lama banget reply email gue.
Lu bilang mau pulang mulu, tapi gaje pulangnya
kapan.
Gue musti bagaimana sekarang? Setiap kali gue
menatap ke sekeliling, rasanya semua salah. Gue disalahkan atas ketidakmampuan
gue dalam membina semua ini dengan baik.
Bini gue masih siapin sarapan. Gue bisa nunggu
sarapan siap sambil pura-pura sibuk di depan laptop.
Gue di ruang kerja di lantai dua, disini sejuk
banget, gak perlu AC ataupun fan soalnya gue punya jendela besar di sudut
ruangan yang selalu terbuka lebar, angin bebas keluar masuk melewatinya. Gue
sering duduk di pojok situ sambil melihat ke luar, memperhatikan dan
mendengarkan kicau burung-burung piaraan gue di bawah sana, di halaman.
Ah, andaikan elu bisa mampir kesini, lu akan
tau betapa asrinya rumah ini (terlepas dari kebersihan dan kerapiannya yang
selalu terjaga, yah!) meskipun bangunannya mungil tapi halaman kami luas, bisa
berkebun dan beternak disitu, wkwk (sayangnya bini gue nggak begitu suka hewan
peliharaan).
Sekarang gue lagi
baca-baca email kita selama beberapa bulan terakhir. Seru banget, rasanya masih
nggak percaya kalo kita bisa kontak lagi dengan cara seperti ini.
Micah, btw Gute itu
siapa?
Gue kadang kayaknya
pinter, tapi sekaligus bodoh. Pengetahuan gue sempit banget.
Minggu lalu gue ketemu klien yang katanya baru
pulang dari studi banding pengolahan limbah farmasi di Frankfurt. Kami ngobrol
agak lama. Dia cewek, masih muda, tapi banyak ngomong. Dibandingkan bercerita
tentang hasil kerjanya disana, dia lebih banyak ngobrolin nama Gute. Dia bilang
mengagumi Gute, sampe perspektif dia tentang Gute, katanya kalo kelak dia punya
anak, anaknya akan belajar privat di rumah saja seperti Gute, apalagi dia gak
percaya sama pendidikan formal di sekolah yang lagi-lagi katanya, itu membuat
manusia cuma akan terjebak sistem, menjadi sempit, hanya tergantung pada guru dan
buku, bukan bergantung sama akal sehatnya sendiri untuk mencari fakta dari
pengalaman di luar sana.
Ya, gue tau kalo
gue bisa mencari tentang Bung Gute di gugel, tapi yang tidak gue pahamin adalah
kenapa dia seperti berusaha menunjukkan kesannya tentang Gute ke gue? Apa
karena dia merasa dia pinter?
Gue bingung, dia pinter atau sotoy?
Kayaknya dia nggak
sedang membicarakan Gute tapi sedang membicarakan dirinya sendiri. Dia seperti
sudah tahu banyak tentang Jerman, tentang seniman Jerman, kebudayaan Jerman,
cara berpikir orang Jerman, sampe-sampe dia lupa bercerita tentang apa? Tentang
hasil studi bandingnya disana, lah! Belakangan gue curiga, atau jangan-jangan
dia nggak bisa menceritakan tentang hasil studinya, sehingga dia musti menutupi
itu dengan ke-sotoy-annya?
Dia itu pinter,
sotoy atau munafik?
(Yah…lu juga musti
tahu… Huft, ya ampun… Setiap kali ada orang yang mengatakan “Jerman”, selalu membuat
gue teringat tentang elu)
Wait!
Gue musti sarapan.
Dia bisa marah kalo gue nggak sarapan tepat
waktu karena dia harus mencuci semua piring dan gelas sesegera mungkin.
Jadi sebelum kami keluar meninggalkan rumah
ini di pagi hari, dia harus yakin kalo dapur dan semua perabotannya sudah benar-benar
bersih. Seperti itulah! Dia suka banget bersih-bersih! Bahkan mungkin lebih
mencintai kebersihan dan kerapian daripada suaminya sendiri.
Lu tau nggak?! Kalo gue lagi sarapan di
meja dan ada satu biji aja nasi yang jatuh, dia bakal langsung menjumputnya,
membuang itu ke tempat sampah.
Kalau posisi lipatan baju di lemari
bergeser, satu senti aja, dia pasti bakal langsung tau, cuma dalam tiga detik
doang! Dan mulutnya langsung bersuara kenceng : pelan-pelan, dong kalau narik
pakaian!
Hal aneh lain yang sering dia lakukan dan
bikin gue males melihatnya adalah kalau dia sering banget memindahkan
barang-barang padahal mungkin setengah jam yang lalu, dia baru merapikan itu.
Kayaknya posisi benda-benda di dalam rumah tuh nggak pernah bener gitu!
Vas bunga plastik di pojok ruang keluarga
cuma bakal duduk diam sebentar disitu karena dia akan memindahkannya sepuluh menit
kemudian kalau dia merasa itu lebih cocok berada di sudut lainnya.
Begitu juga dia memperlakukan benda-benda
yang lain. Misalkan, nih, dia duduk di ruang keluarga, sambil main hp, nonton
TV atau bahkan lagi baca majalah, matanya itu lhoh, nggak akan lama fokus ke
apa yang dilihatnya. Sebentar-sebentar dia bakal merasa terganggu dengan letak pigura
foto yang sepuluh menit lalu baru ditatanya diatas buffet kecil, kemudian dia
tukar sama vas bunga yang tadi, yang gue bilang ada di pojok ruang keluarga tadi
itu tuh! Nah, begitu aja terus setiap seminggu sekali.
Nanti kalau gue tanya kenapa dia begitu,
dia nggak akan marah, tapi seperti biasanya, dia diam saja.
Hahaha. Kenapa ya? Aneh aja gitu gue
melihat kelakuannya.
Eh, udah jam berapa ini? Gue musti ke halaman,
kasih makan peliharaan, terus mandi dan sarapan.
Nanti gue lanjut di kantor.
(Meskipun lu
reply-nya lama, yang penting gue masih bisa terus bebas bicara)
---
Rabu, 12 Desember 2018, 02.20 Dini Hari Waktu
Jerman
(Rabu, 12 Desember 2018, 08.20 WIB)
Mas, maksud km Goethe? (Ya bener, sih bacanya
emang Gute, tapi sebaiknya menulisnya yang bener juga, yah? Hahaha)
Siapa nama cewek yang pergi studi ke Frankfurt
itu?
Aku curiga dia mau membuat kamu terkesan
tentang pengetahuannya. Atau mungkin pengetahuannya tentang studi banding
limbah farmasi itu cukup dangkal, jadi dia berusaha mengalihkan pehatianmu dari
situ ke pembicaraan tentang Goethe?
Hahahaha.
Mas, jangan sering membicarakan seseorang
dengan frase kata yang terlalu negatif begitu dong! Itu tuh ngaruh tau, gak?
Semacam sugesti. Mungkin sebenarnya apa yang kita lihat nggak begitu buruk tapi
karena kita mengucapkan kata-kata buruk terus menerus yang berkaitan dengan
itu, berkali-kali, berulang kali, jadinya akan buruk beneran.
Jangan
terlalu negatif dalam menilai apapun yang mungkin kelihatannya jelek! Lihat dari
sudut pandang yang lebih luas dan jauh ke depan!
Yang penting Ana baik-baik aja, kan?
Kamu punya rencana apa kalau aku pulang?
Eh, ini aku cepet, kan reply-nya? Hehe. Aku
lagi bersemangat ngerjain thesis dan km bisa jadi moodboosterku banget di depan
laptop, ehehe.
Btw, sampe detik ini, kamu nggak penasaran
tentang judul tesisku?
Ah, nggak usah, deh! Nanti aja kita ngobrolin
itu!
Wkwkwk.
Aku lebih seneng kalo kamu bercerita semakin
banyak tentang permasalahanmu daripada aku harus bercerita tentang diriku
sendiri.
---
Rabu, 12 Desember 2018, 09.00 WIB
(Rabu, 12 Desember 2018, 03.00 Dini Hari Waktu
Jerman)
Thank you Micah, kali ini lu gercep reply
emailnya, hehehe. Padahal disana dini hari yah? Biasanya gue berharap lu reply
pas jam makan siang, menjelang pagi disana. Tapi terserah, sih, yang penting lu
reply, hehehe.
Banyak amat nanyanya???
Satu-satu, dong!
Haha.
Oke, gue jawab satu persatu.
Satu, nama cewek “Gute” itu adalah Bonita, gue
nggak tau banyak lagi tentang dia. Gue udah baca hasil studinya disana. Jurnalnya
lumayan, lumayan gak ada gunanya buat gue. Wuahaha.
Ups, jadi yang bener Goethe? Yah, sebenernya
gue juga udah tau, tapi kan pengucapannya begitu, jadi ya segampangnya aja lah
nulisnya, wkwk.
Waduh, jadi bilang “wkwk” pula gue. Jadi
selama di Jerman, lu masih tetap sering pake “wkwkwk” kalo chatting sama orang
Indo? Hahaha.
Dua, Ana baik-baik aja. Seperti biasa, dia
tetap jarang bicara. Gue harus selalu bertanya, bertanya, bertanya. Meskipun
gue sadar, betapa gue ribut dan berisik pun selalu akan percuma.
Tiga, Ana memang penting, tapi diri gue lebih
penting!
Ups, gue nggak bermaksud egois sama semua ini.
Maksudnya, kalo gue nggak mementingkan diri gue sendiri, lantas siapa yang akan
peduli sama Ana nanti? Jadi, gue nomor satu dan Ana nomor dua. Kenapa gue menomorsatukan
diri gue sendiri? Karena pada akhirnya, nomor satunya adalah Ana.
Ah, paham, nggak, sih lu? Hahaha.
Maksudnya….gue harus selesai sama diri gue
sendiri, Micah!
Sebelum gue membantu Ana, gue musti
menyelesaikan kesalahan-kesalahan di dalam diri gue sendiri. Itu masalah
utamanya!
Ok, nomor empat. Gue bukan gak penasaran sama
kuliah lu disana. Jelas gue penasaran. Tapi, bukankah alangkah baiknya kalau
bercerita secara langsung saja?
Luring maksudnya, Micah.
Baiklah, tentang sugesti negatif yang lu omongin
itu, ok lah, akan gue inget-inget nasehat lu (Bukan karena gue pikir bahwa
nasehat lu itu bener, tapi mungkin karena elu yang mengatakannya, jadi taruhlah
itu bener jadinya, wuahahaha).
Hadew… Micah! Boring banget dah. Berharap
segera ketemu sama terapis pribadi gue ini. Haha. Apa daya dia masih di negeri
orang, gak jelas pulangnya kapan?
Gue pernah bermimpi kuliah setinggi elu di
negeri orang.
Tapi apa daya, gue terjebak disini sekarang.
---
Rabu, 12 Desember 2018, 14.00 WIB
(Rabu, 12 Desember 2018, 08.00 Pagi Waktu
Jerman)
Lu gak reply lagi. Selalu sering tiba-tiba
menghilang dan bikin gue tambah frustrasi.
Gue cek facebook dan instagram juga tapi lu
nggak pernah online.
Gue sedih, kan jadinya?
Atau lu lagi tidur karena begadang ngerjain
thesis semalaman?
Ok, gak papa.
Gue berharap lu reply email ini pas lu bangun.
Atau share aja kontak whatsapp lu, Micah!
Pleaseee…
---
Kamis, 13 Desember 2018, 01.07 Siang Waktu
Jerman
(Kamis, 13 Desember 2018, 19.07 WIB)
Mas,
Maaf, aku kurang enak badan. Mungkin karena
terlalu bersemangat dan begadang terus kali, ya? Jadinya kemarin aku tidur
seharian.
Lagipula disini cuaca kering banget, dingin,
salju tebal dan aku khawatir kalau aku flu, jadi aku putuskan untuk langsung
tidur aja kalo merasa badan udah sedikit lunglai. Aku kepikiran, begitu aku
tiba di Indonesia (padahal saat yang sama, aku sedang melalui musim dingin yang ekstrim disini), pasti aku
bakal shock. Tapi nggak papa, aku udah siapkan banyak vitamin di kantong obat,
aku nggak akan lupa.
(Hari ini aku ada jadwal bimbingan jam 2 siang
tapi aku berencana mau lewat skype aja deh)
Kalo aku kasih nomor WA, ntar kamu beneran
jadi pasienku, kamu mau?
Hehe.
Maksudnya, kalo kamu konsultasi terlalu intens
denganku via WA, jadi aku harus bertindak profesional juga sebagai terapismu?
Kamu harus membayarku secara professional dong? Hahaha.
Kamu mau?
Kalo aku, sih, nggak.
Hehe.
---
Kamis, 13 Desember 2018, 01.16 Siang Waktu
Jerman
(Kamis, 13 Desember 2018, 19.16 WIB)
Kecuali kalo kamu
memintanya atas alasan lain.
---
Kamis, 13 Desember 2018, 19.30 WIB
(Kamis, 13 Desember 01.30 Siang Waktu Jerman)
Micah,
Gue gercep, kan?
Gak kek elu!
Gue masih lembur,
nih di kantor. Lumayan, kan bisa sambil munggu elu reply email gue?
Gue tuh berharap lu
bisa reply gue se-gercep gue gini, tauk???
Tapi gak papa, sih,
gue juga paham kesibukan lu. Lagian kalau cuaca lagi gak bersahabat, ya jangan
dipaksain buat beraktivitas! Apalagi sekedar baca email gue, wkwkwk.
Micah, lu tau gak?
Bini gue itu orangnya egois. Dia cuma sibuk
bekerja demi mengejar target dan kariernya. Kariernya emang bagus lho, Micah.
Dia masih kerja di pabrik yang sama sejak kami kenal pertama dulu dan gue jadi
atasannya.
Dia berangkat dari bawah, dari buruh sampe sekarang
jadi kepala bagian. Hebat juga, kan?
Tapi sebenarnya, menurut gue pribadi, gue akan
sangat mampu mencukupi semua kebutuhan di rumah tangga ini. Memberikan dia uang
yang cukup, bahkan mungkin kemewahan.
Tapi entahlah. Istri gue tetap memilih bekerja.
Kami jarang bicara kecuali sedang marah atau
ya…pastinya kalo lagi saling membutuhkan di tempat tidur lah, hufft.
Micah, lu mustinya kasih gue free konsultasi dong, sebagai temen lah!
Masa’ lu gak ada simpati sama gue atas semua hal yang pernah gue curhatin ke elu??? Meskipun lu pikir gue cuma butuh kawan curhat, tapi kalo apa yang lu katakan sebagai ‘cara profesional’ itu bisa memberikan kelegaan buat gue, ya gue mau-mau aja lah.
---
Kamis, 13 Desember 2018, 21.30 WIB
(Kamis, 13 Desember 2018, 03.30 Sore Waktu Jerman)
Sorry, maksud gue, gue pasti mau, bukan cuma
“mau-mau aja” hehehe.
Buruan reply!
Sebentar lagi gue
pulang kantor.
Next time gue janji kalo gue bakal bercerita lebih banyak tentang Ana.
Udah 2 hari ini Ana banyak tingkah, terutama urusan makanan. Gue yang biasa bertanya dengan lembut, sekarang udah makin gak bisa mengontrol diri gue dan yang muncul dari mulut bukan lagi pertanyaan, tapi kalimat dengan nada tinggi. Itu bikin gue merasa bersalah dan kecewa setelahnya.
Gue udah jenuh sama semua yang gue hadapi
selama ini dan nggak bisa melampaui emosi gue sendiri.
Lu musti tolong
gue, Micah!
---
Jumat, 14 Desember 2018, 01.15 Dini Hari Waktu Jerman
(Jumat, 14 Desember
2018, 07.15 WIB)
Mas,
Maaf, aku lagi
sibuk banget.
Aku duduk di depan
laptop berjam-jam sejak jam 8 tadi. Kayak bisa hangat aja duduk disini dan
terkena radiasi dari layar laptop.
Suhu di Munchen semingguan ini berkisar dari 4
derajat sampe -3, paling ekstrim, sih ini mah, dingin banget. Lebih dingin dari
cuaca terekstrim di tahun lalu, deh kayaknya.
Tenang, yah?
Aku sudah merangkum
semua curhatanmu selama beberapa bulan terakhir ini di jurnalku.
Aku juga agak
sedikit frustrasi karena ada beberapa pasien lamaku di Indonesia yang masih
sering menghubungi dengan keluhan-keluhan yang baru padahal semenjak aku lanjut
studi di Jerman ini, pengobatan mereka udah dialihkan ke psikolog lain. Aku
bukannya nggak mau membantu secara kemanusiaan, cuman kan…aku udah nggak pernah
tahu dan nggak pernah follow up perkembangan kondisi mereka akhir-akhir ini.
Aku frustrasinya itu, lho mas karena aku harus mulai dari mana? Tugasku memang
cuma mendengarkan tapi ternyata di saat yang berbarengan dengan studiku seperti
sekarang ini, “imanku” bener-bener diuji hahaha.
(Yah…begitulah, kami juga manusia, terkadang
butuh didengarkan juga, hihihi).
Tapi kabar baiknya,
mereka (ex pasien-pasienku itu) mulai intens menghubungi aku lagi, karena apa?
Karena apa hayooo? Hehe, karena mereka tahu kalo aku segera kembali ke Jakarta
dalam waktu dekat.
Jangan tersinggung!
Kalo untuk kamu, aku nggak keberatan sama sekali.
Wkwkwk.
(Jawabannya bener!
Aku masih sering pake “wkwkwk” kalo lagi chatting sama temen-temen Indonesia.
Uhuy!!)
Aku bakal di Indonesia selama satu minggu sampai sepuluh hari. Silakan bercerita
sebanyak-banyaknya tentang Ana!
Nanti kalo aku
sudah mau pulang ke Jakarta, baru aku kasih kontak WA’ku.
Tapi tolong! Jangan
dimasukin di grup Alumni SMA, yah! Pokoknya itu yang aku minta!
---
Jumat, 14 Desember 2018, 08.10 WIB
(Jumat, 14 Desember
2018, 02.10 Dini Hari Waktu Jerman)
Micah,
Gue senang banget lu mau pulang ke Jakarta.
Gue janji, gue nggak akan share nomer kontak
lu ke siapapun.
Maaf, bukannya gue memaksa. Wkwkwk.
Lhah elu, sih…udah dari berbulan-bulan lalu
gue share kontak WhatsApp gue ke elu tapi lu nggak pernah mau menghubungi.
Ok, jadinya kapan pulang?
Awal tahun depan? Tinggal menghitung hari,
hehe.
Tapi gue berharap, lu bisa pulang lebih awal.
Semakin cepet kita bertemu, semakin cepet gue curhat ke elu, semakin ringan
beban yang musti gue tanggung sendirian ini.
Gue juga bingung, Micah.
Gue punya karier yang bagus dan mulus. Gue,
lhoh gak pernah namanya kesandung masalah sama pekerjaan. Sekarang pun gue cuma
lagi sibuk-sibuknya merampungkan laporan tahunan. Nggak ada masalah yang begitu
berarti kecuali tentang bos gue yang sewot mulu, nyuruh buru-buru jadwalkan
RUPS di Kendari.
Gue muwluss urusan fulus, Micah. Kalo cuma
membawa Ana jalan-jalan keliling Munich tahun depan, gue mampu.
Tapi gue merasa gagal sama hubungan gue dengan
Ana. Dia gak menyukai gue sebagaimana mestinya. Gue nggak pernah merasa bisa
membereskan semua itu sampai tuntas.
Dan yang paling penting, karena gue nggak
pernah selesai sama diri gue sendiri.
Apa, sih selain curhat ke psikolog?
Lagipula, pada dasarnya, gue emang nggak bisa
sepenuhnya jujur sama siapapun.
---
Jumat, 14 Desember 2018, 09.00 WIB
(Jumat, 14 Desember 2018, 03.00 Dini Hari Waktu Jerman)
Micah,
Gue tahu lu sibuk. Tapi Gue udah pernah kasih nomer WhatsApp gue, kan? Awal-awal kita mulai kontak via email, 3 bulan lalu, gue udah share nomer itu dan gue selalu berharap lu mau hubungin gue kesitu. Sekarang, pun harapan gue masih sama.
Segera yah???
Gue tunggu elu di Jakarta.
***
TIGA
(Micah,
35 tahun, Psikolog & Mahasiswa S2 Jurusan Psikologi Program Kerjasama
Pemerintah Indonesia & Jerman)
Siapa
yang tidak merindukan Jakarta di hari Sabtu atau Minggu pagi yang cerah? Minim
polusi dan kemacetan. Sekali seminggu mencuci paru-paru di sekeliling tugu
Monas, putar balik atau menyeberang jalan tanpa perlu disemprot klakson panjang
dari supir-supir angkot yang tidak sabaran.
Mungkin
kamu akan sama sepertiku, pasti sangat merindukan itu. Kecuali…
Kecuali
apa?
Kecuali
jika kamu hanya datang karena mampir pulang, mungkin bukan itu yang terlalu
kamu rindukan. Hari-hari biasa agaknya lebih berkesan, sebab begitu terasa
aroma Jakarta yang semrawut dan penuh kenangan, seperti ketika pulang kuliah dan
duduk di dalam angkot berdesak-desakan, pindah lagi ke metro mini atau Transjakarta,
kemudian ketiduran di kereta.
Sebab aku sudah begitu lama tak
merasakannya. Sehingga begitu rindu dan sangat rindu.
Sayangnya aku tiba pada Sabtu
dini hari waktu Jakarta, menuju akhir pekan yang sangat tentram tanpa hiruk
pikuk, bukan seperti sedang berurusan dengan pekerjaan, namun seperti
kepulangan untuk liburan. Sampai-sampai aku ketiduran di apartemenku, hingga
pagi hari dan bahkan belum sempat mengecek Email, WhatsApp maupun Telegram.
Saat terbangun dalam posisi
tekejut karena bermimpi terjun dari lantai dua puluh di apartemenku, aku lega
karena aku masih hidup.
Beberapa teguk air membasahi
tenggorokan, kemudian secara perlahan, aku berusaha mengumpulkan ingatan.
Ah, air
ini segar sekali rasanya. Aku membelinya di dalam tabung sekira 19 liter banyaknya,
(yah…you know, tabung yang namanya gallon), beberapa jam lalu sebelum aku masuk
kemari, sambil merasa asyik, menikmati pendingin di dalam minimarket karena
lembab sekali cuaca di luar sekalipun hujan (terkait perubahan cuaca yang cukup
ekstrim, mendadak di dalam minimarket itu, ternyata ada sedikit perasaan
merindukan Munchen, meskipun selama seminggu belakangan disana, aku merasa
kurang enak badan karena terlalu dingin untuk bepergian).
Di
tengah jet lag berkepanjangan, sedang kuyakinkan diriku sendiri bahwa aku telah
sampai di tanah airku, berharap segera bertemu pohon pisang dan juga kelapa,
nah, baru lah aku semakin yakin kalau aku sudah di Indonesia.
Mereka,
tukang gallon itu mengantarnya ke depan kamarku sebelum aku tertidur. Aneh
memang, aku harus menyeretnya masuk ke dalam apartemenku, melalui pintu dan
sekat-sekat menuju ke dapur kemudian memasangnya di dalam kotak bernama
dispenser. Yah, sebenarnya tidak ada yang aneh. Tapi, di Jerman air gratis,
bisa langsung kuminum dari keran, jadi ya kurang lebih begitu kenapa aku bilang
ini semua terasa aneh.
Mungkin
itu perasaan yang berlebihan. Aku sedang pulang ke negaraku, itu saja
seharusnya.
Ah, gara-gara gallon yang aneh
itu, seluruh pikiranku saat terbangun di negeri ini justru tertuju padanya,
bukan pada hal lain yang seharusnya.
Memangnya apa yang seharusnya dipikirkan oleh orang ketika bangun dari tidurnya? Hehe, mungkin saat ini hampir semua orang di seluruh dunia ketika bangun tidur memikirkan untuk berdoa.
Tapi bukan, sebelum berdoa biasanya mereka akan apa? Ya mengecek handphone tentu saja. Itu aneh lagi? Ya, memang aneh, sih, orang lebih ingat sama handphonenya ketimbang pada penciptanya! Tapi tetap saja aku merasa itu tidak begitu aneh ketimbang membeli air minum di dalam gallon.
Begitulah
kira-kira ceritanya kenapa ingatan terakhirku tertuju pada gallon air mineral,
bukan pada tumpukan Email ataupun pesan WhatsApp yang masuk sejak kemarin sore
sampai semalam ketika aku landing.
Baiklah, untuk memenuhi
persyaratan sebagai bagian dari hampir semua orang di seluruh dunia yang lebih memilih untuk mengecek handphonenya
daripada nafasnya ketika bangun dari tidur, maka aku kembali ke kamar.
Pukul 7
lewat 10 pagi waktu Jakarta, hari Sabtu, 15 Desember 2018, 30 derajat celcius,
tertera begitu di layar handphone.
Selanjutnya
mengecek WhatsApp karena dari situlah permulaan hidup dan hampir segala
kegiatanku berawal.
Ah, ya Tuhan.
Kenapa
Ibu harus menelepon sebanyak itu untuk memastikan aku sampai dimana? Padahal
sudah kukatakan lewat voice note subuh tadi bahwa aku landing dengan aman,
sentosa, setelah hampir 18 jam mengudara ditambah mampir sejenak di Amsterdam.
Kemudian apa lagi? Nah…kemudian aku juga bilang kalau aku lagi minum kopi di Starbucks
bandara Soeta dan tentunya memesan grab untuk pulang ke apartemen.
Memangnya
dia pikir aku akan langsung kembali lagi ke Jerman sehingga dia merasa pantas
untuk harus bersikap demikian?
Kenapa
orangtua selalu berpikir bahwa anaknya adalah anak kecil yang harus dikontrol
begitu detail? (Memang aku sudah tahu jawaban untuk pertanyaan ini sebab aku
mempelajarinya di semester-semester awal masa kuliahku di Bandung dulu, ya itu
jelas ada di Mata Kuliah Perkembangan Anak dan Remaja, tapi aku tetap
mempertanyakannya supaya Ibu atau Bapak yang bisa langsung memberi jawaban
bagiku tentang pertanyaan itu : Kenapa orangtua selalu berpikir bahwa anaknya
adalah anak kecil yang harus dikontrol begitu detail?).
Lagian
aku akan pulang ke Bogor hari Selasa
atau Rabu. Dan kalian, orangtuaku, kalian akan bisa sepuasnya melihat dan
mengawasi apa yang aku lakukan, bahkan saat aku tidur sekalipun! Karena kalian
tidak pernah membuat gerendel atau kunci untuk kamarku!
Ok,
cukup! Aku tidak mau membicarakan itu lagi di dalam kepalaku.
Oh, tapi sebenarnya aku belum
merasa cukup untuk setiap pergulatan batin ini! Lagipula ada waktunya Ibu
sering berkata, ehem, demikian katanya, “ya tentu saja kamu merasa seperti ini,
seperti itu, terkekang, tidak mendapatkan kebebasan! Tidak seperti di negeri Paman
Sam sana, dimana kamu bisa sebebasnya melakukan keinginan dan tujuanmu!
Lagipula karena apa? Ya karena kamu ini cuma anak! Nanti suatu saat akan ada
waktunya kamu menjadi orangtua dan merasakan yang kami rasakan!”
Dia sungguhan pernah mengatakan
tentang Paman Sam itu lewat telepon!
Aku tidak sempat menyanggah sebab
saat itu dia langsung menutup teleponnya dengan sikap berapi-api, panas hati
dan lupa diri.
Masalah
awalnya apa? Waktu itu aku baru seminggu tinggal di Munchen, dia berpikir aku
akan selamanya menetap disana. Buktinya? Dia meneleponku tiga kali sehari. Oh,
tidak, lebih dari tiga kali sebab terkadang kalau aku terlalu lama (menurut
versinya, 10 menit itu lama) membalas pesan WhatsAppnya, maka dia akan
melakukan sebuah gerakan “telepon berdering” yang tidak penting, yang pernah
kita kenal sebagai “missed call”.
Ya,
itu, setelah muncul kata “berdering” muncul di layar handphone, maka dia akan
mematikannya. Itu yang aku sebut sebagai gerakan “telepon berdering”, tujuannya
agar aku terganggu dan segera membaca pesannya. Semacam alarm atau apa lah,
entah.
Aku
keberatan kalau dia meneleponku tiga kali sehari! Ya, itu saja. Jadi aku marah
dan dia mengatakan sebuah kalimat yang berujung pada nama Paman Sam. Dia
mencatut nama orang yang tidak dia kenal dan tidak mengenali dia, bahkan
mungkin orang itu tidak pernah hidup di Munchen seumur hidupnya.
Kesal
sekali mengingat itu!
Tetapi nanti kalau aku pulang
kampung ke Bogor, aku pasti akan membicarakan itu.
Oh,
tidak. Bukan tentang alasan kemarahannya yang harus diperjelas dan
diperdebatkan lagi. Namun yang pertama : dia harus tahu Paman Sam itu siapa dan
aku tidak tinggal di negaranya .
Walaupun
sebenarnya aku merasa maklum dan tidak keberatan dengan kesalahan kecil seperti
itu, namun ini tetap harus diperjelas!
Oke,
Ibuku cuma lulusan SD, dia putus sekolah setelah dua tahun duduk di SMP, bukan
hal yang aneh jika dia berkata demikian. Yang nanti bisa jadi masalah adalah
apabila dia salah mengatakan hal bodoh seperti itu di depan orang lain. Sebab apa?
Sebab, bagaimana jadinya nanti penilaian orang? Bukan, tentu bukan karena dia
sendiri yang mungkin dianggap bodoh. Tidak masalah, sebab orang pasti tahu
kalau tingkat pendidikannya memang rendah. Tapi masalahnya adalah anaknya ini
sedang studi S2 di Jerman, apakah anak yang sedang studi S2 di Jerman ini tidak
pernah mengatakan hal yang sesungguhnya tentang Paman Sam atau pun orang
Austria yang kemudian menjadi warga Negara Jerman dan berakhir dengan kisah
rezim diktatornya itu? (Maaf, menyebut namanya akan menjadi sangat sensitif
bagi orang Jerman dan sekarang saya sedang tinggal disana, jadi saya sangat
menghormati itu.) Betapa bodohnya anaknya ini kalau membiarkan Ibunya yang
minim pendidikan lantas menyerocos tentang nama Paman Sam secara menggebu-gebu
padahal Paman Sam tidak disana! Memalukan!
Hal lain
yang perlu kutegaskan pada Ibu adalah : kenapa sejauh itu membicarakan tentang
hubungan antara orangtua dan anak? Aku ini seorang psikolog, aku tentunya sudah
tahu bagaimana caranya memahami anakku kelak (nampaknya argument pertama tadi
tentang aku tidak perlu memperjelas tentang alasan kemarahannya, tidak berlaku
untuk ini).
Oh, ya? Suatu hari aku akan menjadi
orangtua. Sungguh, kah? Aku akan punya anak?
Oke, kali ini aku akan sungguh-sungguh
berhenti mempertanyakan dan membicarakan hubunganku dengan Ibu dan juga dengan
anakku, suatu saat kelak. Buat apa? Aku belum punya anak dan belum tentu juga!
(Sambil memikirkan ini, aku
resah. Sungguh. Aku berada di garis pertahanan yang sebelah mana? Oh ya Tuhan.
Kenapa aku mendadak sangat Indonesia sekali jadinya?)
Cukup!
Pandangku melompat ke luar
jendela.
Sudahi hiruk pikuk di dalam
kepala!
Jakarta,
Jakarta, Jakarta.
Aku
sedang menikmati udara Jakarta. Aku harus menikmati ini tanpa perlu terbebani
sesuatu yang seharusnya tidak usah aku bicarakan dengan sangat teliti!
Tahun
lalu aku pulang kemari, aku tidak begitu gusar. Namun pada saat itu, aku belum
melewati ulang tahunku yang ke-35. Kata orang, ini adalah paruh waktumu di
dunia. Jika diibaratkan rata-rata usia orang hidup di muka bumi ini sampai pada
70 tahun, maka aku sudah menjalani setengahnya.
Mataku basah. Tetapi aku
menyangkal bahwa itu bulir-bulir air yang mengalir karena mataku tertusuk perih
yang bersumber dari ulu hati. Ini mungkin cuma air apa? Bisa jadi keringat yang
mengalir dari dahi sebab disini cuaca sangat lembab meskipun AC sudah ada di
angka 22.
Sudahlah! Aku perlu kembali mengecek hal-hal lainnya di handphone. Aku punya banyak kepentingan disitu, bukan cuma ingin meratapi kemarahanku karena sikap Ibu.
Baiklah, hal yang paling
mencolok ketika kita membuka WhatsApp tentunya ialah grup tidak penting yang
satu dan grup tidak penting yang lainnya dengan ratusan obrolan yang pasti
sudah aku bisukan. Skip!
Aku
perlu membaca hal-hal yang bermanfaat di pagi hari.
Bukan,
bukan khotbah pagi atau siraman rohani! Maksudnya kalau-kalau seseorang
(biasanya, sih banyak orang) membutuhkan bantuanku untuk berkonsultasi. Itu
sesuatu yang bermanfaat, kan? Aku membantu mereka.
Tetapi
tidak ada.
Sebelum
berharap bahwa aku memang sungguhan berguna bagi orang lain, semestinya aku
sudah sadar kalau aku memang “menutup pintu” konsultasi di akhir pekan.
Skip
pesan dari Ibu (“Supaya Ibu bisa masakin soto mie kesukaan Micah” hanya sepotong
kalimat tersebut yang nampak disitu dengan angka sepuluh berwarna merah di
bagian kanan, menunjukkan jumlah baris teks lain diatasnya yang tidak akan aku
buka kecuali aku siap, biasanya setelah makan siang dimana nyawaku terkumpul
penuh sebab sudah kenyang).
Skip
juga pesan dari Bapak sebab isinya pasti kurang lebih seperti yang dimaksudkan
Ibu.
Ah, Abang pula di bawahnya.
Kenapa
orang-orang ini? Memangnya tidak ada grup keluarga dan mereka harus menanyaiku satu-persatu
karena membutuhkan jawaban yang sangat personal seolah-olah aku ini baru pulang
dari perang atau barusan keluar dari penjara?
Memang
mereka selalu cari perkara kalau si bungsu pulang.
Skip
semua!
Oke, di
bawahnya ada satu pesan tanpa nama. Hanya sederet nomor handphone sebab aku
memang belum menyimpan kontaknya.
Pasien,
kah?
Bisa
ya, bisa tidak.
Apa
yang dia katakan?
Oh, dia
sedang mengetik.
Ada
lima pesan dan kalimat terakhir di baris chatnya tertutupi dengan sederet kata
“mengetik…”.
Jempolku
bergetar menyaksikan gerakan berkedip-kedip di layar handphone. Antara
“mengetik…” kemudian jeda, sepersekian detik kemudian dia mengetik lagi.
Bibirku
tersenyum kecil, hampir melebar namun kutunda karena hatiku berdesir-desir.
Ingin
kuintip dari foto profilnya, tapi tidak ada apa-apa, dia mengirim pesan tanpa memasang
foto profil.
Orang
itu selesai mengetik.
“Micah,
aku sudah menunggu di lobi kantormu. Kamu bilang……..” seterusnya tidak dapat terbaca
kecuali kalau aku buka.
Micah
tertegun. Ia masih enggan untuk langsung menyentuh chat dari nomor seseorang
yang tidak ada di kontaknya meskipun dia tahu, itu siapa.
Namun
meskipun aku tahu, itu siapa, aku masih memutuskan untuk menganggap bahwa
diriku hanya mungkin sedang bermimpi. Aku berusaha keluar dari semua perasaan
itu namun yang kudapati hanyalah bahwa aku merasa bahagia, sekalipun tidak
jelas apa alasannya?
Mungkin
ini semacam penghiburan yang kuterima dari orang lain setelah sepagi ini
memikirkan betapa resahnya aku yang hendak bertemu dengan keluargaku sendiri. Maksudnya
aku tidak harus melulu memikirkan mereka. Ada orang lain yang bisa aku pikirkan
dan mungkin juga memikirkanku. Atau aku memang sungguhan bahagia karena aku
tahu siapa yang ada di balik gambar profil yang tersembunyi itu? Entah. Sekali
lagi aku tegaskan, tidak jelas apa alasannya?
Dalam
sekejap saja, jempolku bergetar, hampir menyentuh layar bertuliskan kata “Micah,”
(tentu saja bukan yang ditulis oleh Ibu, Bapak atau pun Abang, namun oleh si
nomor misterius itu).
Tetapi
dalam sekian detik, satu email masuk dan muncul di bagian paling atas layar
Huaweiku.
Itu
mengganggu? Sedikit. Semestinya tidak sih, biasanya itu bukan hal yang penting
di hari Sabtu, misalkan promo kartu kredit untuk makan Sushi di restoran
Jepang.
Hanya
saja…kali ini tampaknya bukan. Bukan promo makan Sushi dan juga bukan hanya
“sedikit” menganggu. Perhatianku harus tertuju kesitu.
Mungkin pasien yang lain?
Tidak,
alamat email ini asing.
Oh, itu
menyedot seluruh perhatianku yang tadinya tertuju pada layar WhatsApp, kini
harus tertuju pada surel itu.
Kutarik
lagi baris itu untuk dapat melihat alamat surel si pengirim.
Keningku
berkerut.
from : marissa.sukmawati@gmail.com
to : me
date : Dec, 15 2018, 07.05
Micah,
***
EMPAT
“Micah, aku sudah menunggu di
lobi kantormu. Kamu bilang tak akan ada siapa-siapa disini pada akhir pekan,
kan? Aku harap demikian.”
Saya suka aroma lobi ini, tenang
dan menyejukkan. Ini bau kopi, bukan lavender seperti di rumahku.
Saya
pikir wangi kopi tidak begitu menenangkan tetapi saya salah, boleh juga nanti
kucoba untuk di rumah. Nah, jika Anna tidak suka, dia pasti akan mengatakannya,
sebab dia sangat peka dengan aroma dan rasa, jika sekira itu menganggunya, dia
akan komplain dengang tegas atau sekedar mengeluarkan suara. Jadi bisa
dikatakan bahwa itu salah satu cara yang efektif untuk memaksa Anna agar mau
berbicara.
Saya harap
nanti kamu bisa menyatakan pendapatmu tentang ide bodohku itu .
Eh, ada
pot-pot bunga besar di setiap pojok ruangan, semuanya diisi dengan tanaman yang
berdaun sama, sama pula besarnya meskipun semuanya memang besar-besar. Yah,
tepat sekali! Kuping gajah.
Desainnya
juga lumayan, sangat terang karena pintu kaca ada dimana-mana. Atau malah lebih
mirip klinik? Tapi, bukankah ini memang klinik, Micah? Atau apa? Hahaha. Saya
pasiennya! Kamu akan mengobatiku dengan senang hati. Hahaha! Oh, ya Tuhan!!
Maaf, nampaknya saya terlalu bahagia.
Saya
tidak begitu yakin kalau saya akan bertemu dengan seorang mahasiswa S2 Jerman
yang sedang pulang kampung. Maksudnya bukan tidak yakin dengan status
kemahasiswaanmu itu, namun saya cukup senang karena ini seperti hari yang lain,
sangat berbeda dibanding pertemuan-pertemuan kita di masa lalu dimana kamu
selalu duduk jauh dariku, bahkan kita bukan kawan yang sering bercengkrama di
SMA. Ini aneh, seperti memulai babak baru dalam hidupmu, namun kamu tidak
begitu yakin bahwa kamu telah memutuskan untuk memulainya. Seperti apa, ya
maksudnya? Mungkin seperti berada di alam bawah sadar. Seperti tiba-tiba saja.
Ada
tiga ruangan berjejer yang menghadap ke lobi. Aku menuju ke ruangan yang paling
pojok, Micah mengatakan bahwa dia ada disana.
Ah,
benar saja, ada namamu tertera di pintunya.
***
LIMA
Pintunya
tertutup rapat, aku berusaha menggapai gagangnya tetapi tiba-tiba terbuka dari
dalam. Papa yang membukanya dan dengan sigap ia mencegahku masuk ke kamar
mereka.
Kenapa?
Aku bilang kalau aku cuma ingin menumpang pipis sebab Mama tengah membersihkan toilet di bawah dan itu memaksaku untuk meminjam toilet lain di rumah ini, yaitu di kamar utama milik orangtua. Namun Papa bersikeras melarangku masuk, dia hanya mengintip dari balik pintu kamar. Aku bingung, memangnya kenapa? Lagian tengah malam, pun aku sering mengetuk pintu kamar ini untuk menumpang pipis di toilet kamar mereka.
Tetap kupaksa Papa untuk membukakan pintu karena tak tahan dengan rasa ingin pipisku. Tetapi sungguh, sekali lagi Papa tetap menolak dan malah mendorongku dengan kuat, membuatku terjembab ke lantai.
“Oh, sayang. Maafin Papa! Maafin
Papa, nak!” kemudian dia mencoba membantu dengan mengulurkan tangannya padaku.
Tak kuhiraukan, kutatap mukanya
dengan perasaan sengit, rasa sakitnya tidak seberapa tapi menyadari bahwa
ayahku terlampau kasar, itu membuatku sedikit terluka.
Pintu kamar mereka pun akhirnya tidak sengaja terbuka lebar, mungkin
karena angin yang berhembus dari luar.
Darimana?
Ada sebuah ruangan yang cukup sering didatangi oleh Papa di sudut lantai
dua. Semacam ruangan terlarang. Jangankan aku, Mama pun jarang menyentuhnya.
Rasa-rasanya itu adalah satu-satunya ruangan di rumah ini yang sulit terjamah
oleh Mama sebab disanalah Papa menyimpan pekerjaannya, bisa dilihat dari banyak
sekali buku di lemari kaca, kertas-kertas diatas meja, beserta laptop yang
sering menyala di sebelahnya. Papa tidak ingin pekerjaannya dikacaukan dan Mama
pun tidak tertarik untuk penasaran.
Di dalam ruangan itu ada sebuah jendela yang cukup panjang dan lebar,
jarang tertutup, entah panas maupun hujan.
Aku pun jarang sekali berada disana kecuali dia yang menghampiriku di
pagi hari, kemudian mengajakku menuju ke sudut situ, katanya untuk menikmati
ruang kerja Papa sambil mendengarkan suara cicit burung di bawah sana. Tak
jarang aku menolaknya, kembali ke kamarku sendiri kemudian menutup pintu,
perlahan tanpa suara.
Kendati demikian, dapat kupastikan bahwa goyangan angin berasal dari jendela
besar yang terletak disana, sebab pintu ruangan itu terbuka separuh.
Tiupan angin di Minggu pagi yang hening berhembus dari luar, menyusup
masuk melalui jendela besar di dalam ruang terlarang itu, dimana Papa sering
berdiri disana, menatap ke bawah, ke halaman rumah kami yang luas.
Angin itu kemudian perlahan menuju kemari, membuat pintu kamar Mama dan
Papa yang tadinya hanya terbuka separuh, kini jadi terbuka penuh.
Dan
mataku terbang kembali kepada kamar Mama dan Papa. Dapat kulihat banyak pakaian
berhamburan di lantai kamar kedua orangtuaku.
Aku tidak
langsung menyambut tangan Papa yang masih mengarah kepadaku untuk memberi
pertolongan. Mataku tersudut untuk berkeliling menuju ke dalam kamar itu.
Tiba-tiba terdengar suara Mama
memanggil namaku bersama derap langkah kakinya menaiki tangga, tok, tok, tok,
seperti sengaja dihentakkan dengan kuat.
Dia
selalu bersuara begitu dengan sandal selopnya yang berat. Memang dia menginginkan
itu sebab katanya dia takut kalau naik turun tangga sendirian, terutama pada malam
hari dan tidak ada siapapun disana, makanya dia harus menimbulkan suara dari
kakinya sendiri supaya dia bisa merasa aman. Aku belum tahu apa hubungannya.
Hanya itu yang sering Mama katakan padaku dan mungkin juga pada Papa, mungkin.
“Ayo bangun!” Papa berbisik tegas
padaku dengan mata melotot. Pasti dia takut Mama akan melihatku dengan posisi
begitu dan mempertanyakan semuanya.
Mama akan tiba dengan cepat dari
lantai bawah, melewati tangga, sebentar lagi tiba disini hanya dalam beberapa
detik, dimana aku dan Papa tengah beradu pandang dan aku belum memutuskan
apakah aku ingin bangun sendiri atau ditolong oleh tangan ayahku.
Kupalingkan wajah dari Papa. Kubantu
diriku sendiri untuk bangkit dan tak peduli dengan uluran tangannya.
“Toiletnya sudah bersih,
sayang,” benar saja, dia sudah berada di dekat sini, di ujung tangga masuk ke
lantai dua rumah kami yang tenang dan selalu bersih.
Kusempatkan mata untuk melirik
ke dalam sana lagi, pada kamar tidur Mama Papa yang luas.
Itu
nampaknya bukan sekedar pakaian yang berhamburan di lantai. Mama tidak mungkin
melakukannya. Mamaku selalu bersih dan rapi, bahkan meskipun dia bekerja seharian
dan sore hari baru kembali ke rumah, dia pasti akan tetap merapikan rumah ini
sebagaimana mestinya sebagai seorang Ibu. Apalagi di hari Minggu yang tenang
seperti sekarang, maka rumah adalah seutuhnya milik Mama, hanya dia yang boleh
mengubah letak pot bunga sekalipun dan meskipun hanya bergeser sepuluh senti
dari letak awalnya. Kecuali memang di ruangan pojok sana, tempat Papa mengatur
sendiri semuanya sendirian tanpa mau dicampuri oleh Mama.
Jadi jelas, kamar yang semrawut itu perbuatan Papa.
Papa menatap pada kedatangan Mama dengan mata yang masih melotot, sama seperti tatapnya kepadaku beberapa detik lalu.
Kening Mama berkerut. Dia
melemparkan mata pada muka kami, satu per satu, awalnya padaku kemudian pada
Papa, seperti mengetahui kalau sesuatu baru saja terjadi. Meskipun aku sudah
bangkit dari jatuhku akibat perbuatan Papa, namun wajah suramku dan mata Papa
yang pecicilan, mungkin memberi isyarat berbeda bagi Mama.
Tidak ada yang berbicara lagi
dan hanya hening.
Keheningan ini kemudian menjadi
sangat menegangkan.
Mama mendekat padaku.
Papa segera berjalan mundur menuju ke pintu kamarnya, sangat ketakukan melihat pada langkah Mama.
Lirikan mata Mama terayun ke
kamar mereka yang pintunya terbuka lebar sepenuhnya.
Keheningan
yang tadinya bersuara, kini dipecahkan oleh amarah yang menggebu dari tubuh
Mama, “apa yang kamu lakukan, Nggoro???!!!” Dia marah besar, aku tahu itu, Mama
pasti sangat marah.
Aku
saja marah melihatnya sebab itu nampak menjijikan di rumah yang selalu bersih
dan rapi ini.
Mama
mengayunkan langkah menuju kesana sembari menabrak tubuh Papa yang tertegun dan
seperti mulai tidak berdaya.
Papa
menatap padaku dengan gusar. Tangannya mengepal, menunjukkan amarah yang sama,
atau tidak sama? Entah. Dia marah padaku atau pada Mama? Aku tak tahu.
Secepat
kilat Papa menyusul Mama menuju ke kamar mereka, dibantingnya pintu kamar itu dan
kontan aku menutup telinga.
Anak
kecil ini pergi, berlalu dari pertengkaran yang terjadi di kamar orangtuanya.
Dapat kupastikan bahwa ini merupakan perselisihan yang lebih hebat dibandingkan
apa yang terjadi di dapur tadi pagi.
Banyak
makian yang sempat terdengar olehku.
Aku tak
tahu itu apa?
Apa???
Memangnya aku tahu apa? Aku hanya seorang bocah berumur tujuh tahun.
Apa
Papa benci kebersihan? Sehingga dia sengaja membuat kamar berantakan supaya
Mama marah?
Apa
Mama terlalu bersih sehingga Papa membencinya?
Sebenarnya
kebiasaan Mama untuk bersih-bersih di hari Minggu itu merupakan hal yang bagus
untuk rumah ini dan seluruh anggota keluarganya, itu tidak akan merugikan
siapapun. Namun, Papa selalu lebih sering keberatan ketimbang memberi dukungan.
Ya
Tuhan…Mama berteriak sangat keras bahkan aku dapat mendengarnya saat aku
menuruni tangga dengan kuping yang sudah terbuka lebar.
Mama
memaki? Ya, Mama memaki.
Tentang
apa?
Aku anak baik
Aku anak baik
Aku anak baik
Ada
sesuatu yang kotor. Mama mengatakan kalau dia melihat semua kekotoran itu.
Dimana?
Itu
mungkin, teriakan Mama berikutnya menjelaskan tentang sesuatu yang menurutnya
kotor.
Apa
burung-burung peliharaan Papa di halaman rumah membuat Mama merasa terganggu?
Lagi-lagi
Mama berteriak.
Oh…keras
sekali ia berteriak.
***
ENAM
Ia berteriak dari dalam, mempersilakan tamunya untuk masuk ketika si
tamu mengetuk pintu.
Si tamu mendorong pintu, masih sama seperti di luar, aroma kopi
menyambutnya dengan segera.
Si tamu menemukan seseorang berdiri di pojok ruangan itu, menyudut di
meja, tengah menatap keluar melalui jendela kaca, membelakangi pintu dengan
punggungnya yang kecil. Tampilannya nampak rapi sekali padahal itu hari Sabtu,
dengan setelan kemeja kerja, belt melingkar di pinggangnya yang ramping
sempurna.
Si tamu menyadari bahwa pemilik ruangan itu mungkin acuh dengan
kedatangannya, ia pun memutuskan untuk menyapa terlebih dahulu, “hai…”
Manusia di sudut ruangan membalikkan tubuhnya sembari menyapa, “hai,
Mas!” Seperti memang terdengar dengan “tanda seru”, menimbulkan gema yang
membuat tanda tanya.
Anggara, si tamu itu menatap kagum pada sesosok manusia di sudut sana.
Mata bulatnya menggemaskan, bibirnya tipis merah, tak lama kemudian pipinya pun
turut merah merekah.
“Kenapa kamu rapi sekali?” Anggara bertanya, “bukannya ini hari Sabtu
dan kantormu ini libur?”
Hening beberapa detik di ruangan itu.
Hanya hening.
***
TUJUH
Hanya
hening diatas sana.
Namun
sekalinya Mama yang berbicara, gemanya berhamburan.
Kunaiki
tangga perlahan. Mataku sudah tak peduli dengan darah yang berceceran dari
tangan.
Terasa
gelap di sepanjang tangga. Atau memang gelap?
Ah,
iya…terjawab sudah. Ini memang gelap.
Seperti hari ini, ketika aku baru bangun dari tidur di pagi yang mendung
dan nampak masih gelap gulita, atau hanya terlihat gelap karena mataku yang
masih sayu menahan berat untuk terbuka dari pejamnya? Aku tidak begitu yakin,
yang mana jawaban tepatnya.
Tapi kali ini aku yakin bahwa gelap yang kurasakan sedari pagi adalah
pertanda awan hujan yang dibawa kemari.
Aku tak peduli juga jika Mama marah padaku karena aku sudah mengotori
lantai dengan kakiku yang basah akibat menembus hujan deras di luar sana,
bercampur dengan warna merah darah segar yang menyala-nyala, mengotori lantai
marmer rumah kami.
Dapat
kupastikan bahwa pintu kamar mereka sudah terbuka sehingga suara Mama tidak
terhalangi oleh daun pintu untuk dapat kudengar. Aku pun jadi tahu kalau ia
tersedu sambil mengatakan bahwa dia membenci Papa.
Aku tiba
disana, melangkah mendekati pintu kamar orangtuaku yang memang sudah terbuka
lebar, tidak tertutup rapat lagi seperti ketika Papa membanting daun pintu itu
setengah jam yang lalu.
Kudapati
Mama dan Papa berdiri berhadapan sambil membicarakan sesuatu dengan kalimat
yang hanya dapat dimengerti oleh orang dewasa.
Mereka
tidak menyadari kedatanganku.
Gelap
melanda dari luar sana, datang bersama angin kencang dan menembus kemari, ke
dalam rumah ini. Hanya kecil-kecil cahaya kilat yang terasa, memberi sedikit
terang pada kakiku yang melangkah dengan perlahan tanpa suara.
Aku
sudah tepat berdiri di gawang pintu.
Mama
yang pertama menoleh.
Awalnya
Mama acuh, namun hanya sedetik saja, dia lalu terperanjat melihat kucuran darah
mengalir dari tangan kiriku. Mukanya seketika terbakar oleh warna merah yang
menyala-nyala, persis seperti warna darah di tangan anaknya.
Mama
berteriak padaku sambil memegang kepalanya dan berucap kasar pada Papa, sepertinya
mengutuk Papa seolah-olah apa yang tengah terjadi padaku dan apa yang kulakukan
adalah kesalahan Papa.
Padahal
Papa tahu apa? Bukannya mereka sama-sama tidak melihatku di halaman tadi?
Papa
pun sama reaksinya seperti Mama.
Mereka
panik? Atau ketakutan?
Aku tidak
tahu apa yang mereka lakukan sebab mereka saling meneriaki, menyalahkan satu
sama lain.
Tapi,
kan seharusnya bukan itu reaksi mereka.
Mereka
sama-sama tidak tahu apa-apa. Tidak ada satu pun yang mengetahui diriku apa
adanya.
Aku anak baik.
Aku anak baik.
Aku anak baik.
***
DELAPAN
“Mas, lupakan
Ana! Dan jangan permasalahkan Marissa! Dia tidak tertarik pada uang ataupun kemapanan, dia hanya
suka menguasai orang,” tutur pria itu kepada seseorang yang kelak menjadi
kekasihnya.
***
SEMBILAN
“Aku tidak suka mendengar Mama
mengatakan bahwa Papa lebih mencintai burung-burungnya
daripada aku dan
Mama.”
“Aku iri dan benci sama
burung-burung ini.”
Keduanya menatapku dengan
pandangan yang kaku, namun tubuh mereka layu.
Seketika ruangan itu menjadi
sangat kelam dan mencekam.
Tetiba
dapat kudengar suara burung-burung di bawah sana, di halaman depan rumah kami
yang luas. Rintihan yang tergema perih, menyusup masuk terbawa angin bersamaan
dengan aroma tanah akibat tertimpa air hujan, menyusup masuk perlahan melalui
jendela di ruang terlarang milik Papa yang selalu terbebelak lebar di pojok sana dan tiba
kemari, memecah sepi.
Cicitan yang indah meskipun bukan suara merdu bersahutan seperti
pagi-pagiku sebelum ini.
Kenapa
masih bersuara? Bukankah tenggorokan mereka sudah kutebas pakai pisau terbesar
dari knife set milik Mama?
Ohhh…tidak
apa-apa. Mungkin mereka berderit, menjerit menahan sakit, menunggu mati.
Aku yakin orangtuaku juga tentu
mendengarnya.
Kini kubuka genggaman tanganku
perlahan dan menatap ke arah dua sejoli itu.
Satu per satu kulesatkan mata
kepada muka mereka berdua.
Pertama pada Papa.
Aku benci Papa.
Dia selalu salah memanggil namaku.
Tapi bukan berarti Mama menjadi cukup aku segani hanya karena aku membenci suaminya sebab Mama pun sama kerasnya seperti batu yang dipenuhi lumut namun enggan lapuk.
Darah segar terus mengucur dari tanganku. Seekor burung kehilangan nyawanya disana.
Merahnya darah mengotori lantai,
bersama-sama dengan basah air yang mengalir dari tubuhku.
Kemudian selanjutnya kulemparkan
mata ke wajah Mama, Mamaku yang cantik jelita.
“Ma, ini kan yang Mama mau?
Burung-burung itu sudah mati. Sekarang Mama tidak perlu repot-repot
membersihkan kotorannya lagi setiap pagi.”
Bibir Mama bergetar, matanya
tidak berkedip sama sekali dalam tatapnya kepadaku, bocah kecil ini.
Dan kukembalikan mataku
kepada Papa. Dia bisu, tidak seperti hari-hari lalu dimana ia banyak bicara dan
selalu membuatku menjadi kaku, membuatku menjadi salah mengenali siapa diriku?
Aku menatap mereka. Mereka
menatapku. Tapi mereka tidak ingin saling menatap.
Kataku pada Papa, “dan Papa…”
aku berhenti berucap, mencari kalimat lanjutan yang hilang di tenggorokan.
Papa
menunggu aku melanjutkan ucapanku namun tubuhnya lemas melihat darah burung
kesayangannya yang masih terus mengalir dari tangan kiriku.
Apa
yang dia pikirkan? Apa dia sedih? Atau marah?
Pasti
dia marah. Meskipun dia tidak pernah secara langsung menunjukkannya padaku,
tapi aku selalu tahu bahwa dia tidak menyukaiku, apalagi atas perbuatanku
padanya hari ini pada burung-burungnya di halaman rumah kami.
“Papa, aku Eno. Bukan Ana!”
Tolong
berhenti memanggilku Ana!
Aku anak baik.
Aku anak baik.
Aku anak baik.
***
SEPULUH
from : marissa.sukmawati@gmail.com
to : mischa.purba_akamitjah83@ymail.com
date : Dec, 15 2018, 07.05
Micah,
Apa kabar?
Apa sudah tiba di Jakarta?
Sebelumnya perkenalkan, saya istrinya Anggara.
Kamu pasti tidak mengenal saya. Sama, saya
juga nggak begitu mengenal kamu, hehe.
Kita bisa berkenalan lebih lanjut disini.
Lima tahun lalu kita pernah bertemu di reuni
SMA kalian. Mungkin kamu lupa, tapi saya ingat, kamu yang mana?
Kamu pakai kaos polo warna pink tua yang
mencolok, duduk di pojok depan, satu meja dengan beberapa cewek yang kayaknya
mereka tuh populer banget di sekolah kalian pada jamannya, bahkan setelah
kalian lulus, nampaknya hal itu juga masih sama.
Salah satu band apa itu namanya yang waktu itu
manggung? Band populer di Jakarta waktu tahun-tahun kita SMA, lucu banget
mereka masih manggung di tahun 2013 itu, waktu umur mereka udah tua banget,
hahaha. Mereka juga pernah manggung di SMEA gue, cuman gue lupa nama bandnya.
Tapi gue inget banget lagunya yang waktu itu mereka nyanyikan.
Tunggu, gue kudu repot-repot googling dan copas
disini, semoga gue nggak salah.
Everybody
Rock your body
Everybody
Rock your body right
Backstreet's back alright
Na na na na
Am I original? (yeah)
Am I the only one? (yeah)
Am I sexual? (yeah)
Am I everything you need?
You better rock you body now
Oh my God, gue lihat elu, Micah! Sumpah, lu keren
banget!
Lu bergoyang dengan seksinya dari kursi tempat lu duduk.
Apa judul lagu itu? Everybody yah? Backstreet Boys.
Yup!
Am I original? (yeah)
Am I the only one? (yeah)
Am I sexual? (yeah)
Am I everything you need?
You better rock you body now
Iyes, lu seksi.
Gue yakin, Anggara gak
memperhatikan elu, dia sibuk sendiri angkat gelas sama gengnya di meja kami. (Ssstttt!
Waktu itu dia menyelundupkan 2 botol wine yang baru dia beli seminggu sebelumnya.
Haha, nakal banget kan?)
Tapi sejujurnya mata gue gak
bisa lepas dari elu.
Elu cool, sexy.
Am I the only one? Yup!
Am I sexual? Yes, you are!
Wkwkwk. Exactly, Micah!
You’re sexual.
Hehe, maaf kalo gue salah.
Tapi arti kata “sexual”
disini emang sejenis “seksi” kan?
Semacam itu lah.
Semacam elu.
Yah…gue nggak begitu ngerti
bahasa Inggris, gue cuma lulus SMEA, di jurusan yang kurang populer pula. Orang
lain berlomba-lomba masuk jurusan akuntansi, gue cuma bisa lolos di Administrasi
Perkantoran, hahaha.
Nggak kayak Anggara yang
bapaknya lumayan kaya, meskipun dia bodoh, tapi duit bapaknya bisa membiayai dia untuk sekolah
disana. Gue juga nggak kayak elu yang dapat beasiswa sejak SMA, bisa duduk
disana sama-sama mereka, anak-anak elite itu.
Beruntung gue dinikahi sama
Anggara. Dia anak orang punya, bisa kuliah, bisa kerja dan tetap kaya.
(Eit, tapi bukan berarti
bahasa Inggrisnya jauh lebih baik daripada gue, lhoh ya! Hahaha. Sama aja, dia
sama payahnya. Dia 2 kali tinggal kelas gara-gara gak lulus pelajaran bahasa.
Makanya dia lebih tua daripada elu padahal kalian satu angkatan kan?)
Wkwkwk.
Ngomong-ngomong gue udah
baca tentang Goethe. Seperti biasa, tanya mbah google.
Laki gue goblok emang, mana
tau dia hal begituan. Dia taunya cuma gimana caranya cari duit.
Tapi sebenarnya dia nggak
goblok sih, toh setiap perempuan bakal bersyukur kalo punya laki yang pinter
cari duit, termasuk gue.
Haha.
Baik lah, gue harus banyak
ngomong dulu ke elu supaya nantinya lu tinggal merangkum apa yang gue omongin
di jurnal, kan?
Seperti elu merangkum
curhatan Anggara selama beberapa bulan ini. Ya, kan?
Dan semoga elu juga sempat
membaca ini sebelum ketemu sama Anggara.
Begitu, betul?
Ok, lanjut!
Apa lagi yang bisa kita
obrolin?
Oh, iya, suami gue sering
bilang ke elu kalo gue suka banget bersih-bersih ya?
Haha. Bego dia. Bego dan
munafik!
Jadi gini, Micah. Sebenarnya
kebiasaan itu mungkin menurun dari Emak gue yang gak tahan sama rasa jijiknya
kalo dia pergi ke dapur, mendapati lantai dapurnya berlemak gara-gara cipratan
minyak jelantah waktu dia menggoreng tempe atau ikan.
Kami hidup miskin di Banten,
dapur kami cuma diplester halus, gak pake ubin ataupun keramik. Bayangin kalo
kena cipratan minyak! Pasti langsung bikin lantai itu bernoda bintik-bintik
kecil yang menjijikkan. Belum lagi kalau keinjek, kaki bakal terasa
lengket-lengket bercampur dengan hitamnya debu yang hinggap disana.
Lantas untuk mengatasi itu,
Emak merebus air, gak perlu sampe mendidih, katanya sayang minyak tanahnya,
yang penting air itu jadi panas. Setelahnya lu bisa nebak, kan? Dia bakal
menyiram lantai dapur yang terpercik minyak pakai air rebusan itu.
Bukan pakai super pell atau
wipol karena kami nggak punya, nggak kuat beli! Tapi dia pakai air panas untuk
mengangkat semua lemak di atas lantainya.
Itu mencengangkan, sih.
Idenya gak biasa karena waktu gue pertama kali melihat kebiasaan yang begitu,
umur gue baru enam atau tujuh tahun, seusia anak gue sekarang. Jadi gue pikir,
ide Emak untuk bersih-bersih di tengah keterbatasan kami itu brilian banget.
Semenjak itulah, akhirnya
gue tau kalo Emak suka sekali kebersihan dan tentu kerapian juga, meskipun kami
hidup miskin dan nggak punya apa-apa, asal rumah bersih dan terawat, pasti
siapapun bakal seneng untuk tinggal di dalamnya.
Gue belajar banyak dari dia.
Dan lu tau? Hal begitulah yang
awalnya membuat Anggara jatuh cinta ke gue.
Dulu waktu kami pacaran (gue
masih jadi buruh pabrik dan dia adalah atasan gue), dia sering banget datang ke
kos gue, mungkin seminggu bisa dua kali.
Kamar kos gue selalu bersih, gue pel dua kali sehari, pagi-pagi
sebelum gue berangkat kerja dan malamnya setelah gue selesai mandi.
Baju-baju always gue cuci
setiap kali gue mandi (bukan cuma beberapa hari sekali maksudnya), setelah
kering langsung gue gosok, gue lipet dan gue masukin ke dalam lemari. Dia duduk
merokok di pojok kamar sambil memperhatikan rutinitas gue itu.
Rapi,gue sangat rapi meskipun kamar kos gue cuma sebuah
kamar kecil dengan satu lemari, tanpa dipan, gue tidur beralas kasur busa tipis
tapi spreinya gue ganti tiap tiga hari sekali. Tepat ketika Anggara datang dan
waktu dia kembali lagi tiga hari berikutnya, spreinya pasti sudah berganti.
Mungkin dia pikir bakal
menyenangkan kalau punya istri tukang bersih-bersih, rumah bakal selalu bersih
dan rapi. Atau menurutnya, dia nggak perlu sewa pembantu kali, hahaha.
Yang pasti, dia bilang kalau
gue adalah istri idaman, bakal mengurus setiap detail di dalam rumah tangga
dengan penuh perhatian.
Gue beruntung, akhirnya
Anggara menikahi gue. Gue nggak pernah kembali lagi ke lantai berplester semen
ataupun kosan yang sempit tanpa AC dan tidur di lantai dengan kasur busa tipis!
Apanya yang aneh? Nggak ada.
Gue cuma suka bersih-bersih,
Micah!
Besok adalah hari Minggu,
hari favorit gue untuk berada di rumah dan bersih-bersih.
Yang
Anggara katakan itu emang bener! Gue nggak pernah duduk tenang, bahkan untuk
membaca majalah atau pun main handphone, gue hanya bisa duduk selama dua sampai
tiga menit. Ya…katakanlah sekitar selesai membaca satu halaman majalah. Selain
itu, tugas gue adalah merapikan rumah.
Apanya sih yang aneh?
Lantai marmer yang bersih,
lemari pakaian dari kayu jati yang selalu rapi, peralatan makan yang higienis.
Apanya yang aneh??
Yang aneh itu Anggara!
Dia memelihara burung-burung
di halaman tapi gue yang harus membersihkan kotorannya setiap pagi. Dia bangun
udah siang, antara jam tujuh sampe setengah delapan, tinggal melenggang turun
dari kamar ke halaman, sambil bersiul, melihat kandang yang sudah bersih, nggak
ada taik yang berceceran, karena apa? Karena gue yang membersihkan!
Oh, iya ngomong-ngomong
tentang burung peliharaan, apa dia sering menceritakan itu ke elu?
Dia punya tujuh ekor burung.
Tiga perkutut, dua kenari dan dua lagi burung yang paling berisik, burung beo
sialan!
Dia pasti nggak pernah
menceritakan itu, kan? Nggak, lah! Pasti nggak pernah!
Tapi gue tebak, lu pasti tau,
kan kalo dia pecinta burung? Hayooo…! Ngaku! Lu pasti tau! Darimana lu tau?
Ya pasti, lah dari halaman
facebook atau IGnya. Ya, kan? Disitu, kan kalian pertama kali bertemu setelah
sekian lama?
Di halaman facebook itu.
Ada muka istrinya disana?
Nggak ada. Jangankan muka
saya, mukanya sendiri pun tidak ada!
Cuma ada postingan foto
burung-burung itu, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati dan yang sudah terjual
di tahun-tahun sebelumnya.
Ada muka Ana?
Ada postingan muka Ana
disana?
Oh my God….! Ana?! Dia
bercerita tentang nama Ana?
Gue nggak percaya kalo gue
sungguhan membaca nama Ana di surel-surelnya ke elu selama ini!
Ya ampun…anehnya lagi kalo
elu berusaha memahaminya dengan mempercayai itu.
Hahaha.
Begini, Micah
Hmmm…gimana yah? Gue bingung
gue musti bilangnya gimana sih?
Micah, bagaimana caranya lu
tau tentang kehidupan seseorang hanya dengan melihat rumahnya dari halaman?
Sekali lagi gue tanya, ada
muka Ana di halaman facebook ataupun feed instagram punya suami gue?
Jangankan muka Ana, bahkan
muka dia sendiri pun nggak pernah ada.
Gue kasih tau satu hal,
Micah. Sebenarnya gue juga nggak tau, Ana itu siapa?
Kenapa dia terobsesi sama
Ana?
Sekali lagi, Micah! Ya ampun
ini, mah nggak akan Cuma sekali, sih! Kayaknya musti berkali-kali mengatakan
ini! Jangankan muka Ana, bahkan muka gue pun nggak pernah ada disana, di
halaman facebook ataupun instagramnya, bahkan kalau dia punya media sosial yang
lain (yang dia sembunyikan dari gue
alias gue nggak tau), gue tetap yakin, nggak akan ada gue ataupun Ana.
Tapi kalau memang dia tetap
bersikeras bahwa Ana itu memang ada,
maka kemungkinannya cuma satu, coba lu tanyakan ke dia, siapa Diana?
Kemana gadis kecil dalam
kandungannya Diana? Tiga tahun lalu mertua gue yang menghakimi mereka di
Singapura!
Coba, deh lu tanyain itu ke
dia!
Dalam satu - dua jam ke
depan, lu bakal bertemu dengan Anggara, kan? Dimana? Di kantor lu?
Coba tanyakan!
Hufffttt…!
Micah…
Astaga…
Wkwkwk. Ini terasa lucu
banget, tau nggak, sih? Butuh berbulan-bulan bagi kalian untuk saling membalas
email, tapi gue duduk manis disini cuma satu jam dan menyaksikan semuanya tanpa
merasa kaget, tapi justru lega. Gue nggak kaget, karena gue tau, Anggara itu
siapa?
Tapi elu? Elu tau dia siapa?
Okay, gue lega pula karena bisa
menulis ini ke elu. Meskipun gue nggak berharap kalau elu bakal mengerti dengan
bijaksana, atau berusaha memisahkan antara urusan personal dengan bagaimana
cara elu menanggapi semua ini secara profesional!
(Wkwkwk…mahasiswa S2 di
Jerman, lhoh!)
Jadi sekarang lu udah di
Jakarta beneran, kan?
Elu mau satu burung yang ada
di halaman rumah kami?
Kalo mau, jangan cuma
bertemu di kantor! Mampir, lah kemari! Gue yakin, lu juga pecinta burung, kan?
Sama seperti suami gue, wuahahaha,
Huhuyyyy…!
Kalo bukan sesama pecinta
burung, nggak mungkin dong bisa saling bercengkrama sampai sejauh ini?
Sama seperti ketika dia
memposting foto burung-burung itu di halaman facebook ataupun instagramnya.
Sama seperti ketika dia membiarkan kotoran burung-burung itu mengotori halaman
rumah kami yang selalu bersih. Sama seperti ketika dia selalu menyebut nama Ana
di dalam rumah kami. Elu sama seperti itu, kan? Secinta itu!
(Bahkan mungkin dia lebih
mencintai burung-burung itu ketimbang anak istrinya!)
Sama seperti ketika dia
jatuh cinta ke elu.
Mampir, Micah! Pintu rumah
gue terbuka lebar. Jangan hanya berdiri di halaman!
Supaya elu juga tau betapa
bersihnya rumah gue! Supaya elu juga jadi bisa bertemu langsung dengan lelaki
kecil yang bernama ANA!
Hahaha, ya ampun…asal lu
tahu, gue sampai harus membuatkan mantera untuk anak gue supaya dia bisa
mengendalikan dirinya saat menghadapi bapaknya sendiri!)
Aku anak baik. Aku anak
baik. Aku anak baik.
Begitu manteranya.
Dan sesulit itu gue
menghadapi semuanya ini, lantas dia seenaknya menulis nama Ana di setiap
emailnya ke elu?
Hahaha, Ana…oh Ana….! Kau
membuatku gila!
Sebenarnya siapa yang nggak
“paham”, sih? Elu atau dia?
Atau gue yang nggak paham?!
Entah! Berhubung profesi lu
psikolog, sebenarnya elu yang paling bisa menjawab. Tapi kemudian, kita juga
sudah tau, elu itu siapa???
Okeyyy, lah Mitjah!
Nggak papa. Lihat aja nanti, yah??!
Salam kenal.
Sampai ketemu di rumah Bapak Anggara, masuklah
ke dalam! Jangan cuma berdiri di halaman!
Kecuali kalau akhirnya Anggara yang memang
memutuskan untuk keluar!
---
from :marissa.sukmawati@gmail.com
to : mischa.purba_akamitjah83@ymail.com
date : Dec, 15 2018, 07.57
Oh iya, Micah, btw kenapa lu duduk disana?
Di reuni itu, kenapa lu memutuskan untuk duduk disana?
Kenapa lu
duduk di pojok depan, satu meja sama cewek-cewek cute itu, terus luwes banget
bergoyang bersama mereka dengan hebohnya?
Atau karena
cewek-cewek itu emang satu geng sama elu sejak kalian masih sekolah?
(Maaf, Micah. Gue nggak bermaksud
menghakimi elu. Terserah elu mau duduk dimana. Itu hak elu. Tapi andaikata hari
itu lu tidak berkaos polo warna pink muda yang mencolok mata ataupun tidak
memilih duduk bersama perempuan-perempuan centil itu di satu meja, mungkin hari
ini gue nggak akan tau, elu yang mana?!)
Kenapa lu
nggak duduk satu meja dengan Anggara atau temen-temen cowok yang lainnya?
Satu lagi, seperti
yang gue bilang, ada tujuh ekor burung di halaman rumah kami.
Dan Anggara
mencintai ketujuh-tujuhnya!
Jadi jangan
berharap kalau elu cuma satu-satunya!
Komentar
Posting Komentar