Langsung ke konten utama

(Novel) My Friend, Elena Part 1

Part 1
Me And My Friends

Lastri, Muji, Yanti, Siti, Mujiyanti. Aku sendiri, Susi. Begitulah orang Jawa memberi nama bagi anak-anak mereka. Kecuali kalau kamu ningrat, maka selain ada gelar Raden dan atau Roro-nya, maka namamu akan terdengar sangat aristokrat, contohnya Raden Roro Sekar Ayu Condrowati. Atau Rr. Kirana Purbaningsari.

Tetapi setelah berulang kali kusadari kembali, sebenarnya tidak begitu juga, sih. Mungkin karena Susi, Lastri, Muji, Siti dan Mujiyanti ini terlahir dari generasi yang tua-tua, sebab ada teman kami di pabrik ini yang usianya dua belas tahun lebih muda daripada Lastri -ketua gerombolan perawan tua keparat ini- dia memiliki nama yang Indah.

Bukan, namanya bukan Indah.

Sebentar, sebelum kesana, sesungguhnya aku bingung, memangnya nama Lastri dan Muji itu nama yang jelek ya? Bagaimana dengan Susi? Oh, hei...tahukah Anda? Kalau Siti itu artinya lemah. Bukan, bukan lemah lawannya kuat, lemah itu dalam bahasa Jawa berarti tanah. Itu nama yang indah, bukan? Tentu saja kalau kita tahu artinya.

Sedangkan yang lain, arti nama Lastri, Muji, Yanti, bahkan ada orangtua yang saking kurang kreatifnya memberi nama mereka dari dua nama anaknya orang lain, Mujiyanti. Aku tidak tahu arti nama orang-orang itu. Bahkan namaku sendiri aku tidak tahu, artinya apa? Aku tanya Bapakku, dia bilang, "tanya saja pada simbahmu! Dia yang memberimu nama."

Padahal simbahku sudah lama mati.

Baik, jadi begitulah jawaban Bapak, simbah yang memberiku nama, bagus lah, pantas saja namaku terdengar begitu "tua". Dasar orangtuaku yang kurang kreatif.

Tapi ada satu catatan, supaya terdengar dan terbaca keren, aku sering menulis namaku dengan ejaan : Suzy. Dimana-mana, contohnya di facebook. Ya, aku masih aktif di facebook bersama nama alayku. Nama profil whatsapp dan instagramku pun demikian. Teman-teman se-perawan tua, sepenanggungan denganku itu tidak pernah mengomeli apalagi menghujatku karena memasang nama yang terdengar ada Z nya dan mengganti huruf I dengan Y. Mereka malah memohon saran, bagaimana supaya nama mereka terbaca lebih keren pula. Aku bilang, "tidak ada! Nama kalian sudah mentok." Setelah itu, barulah mereka merasa pantas untuk menghujatku.

Ya memangnya kenapa? Buktinya, di belahan bumi lain, contohnya di Korea Selatan, ada orangtua yang rela memberi nama anaknya seperti seorang simbah disini memberi nama pada cucunya. Mirip to kalau dieja? Tetapi kata perawan-perawan tua itu, Suzy Miss A, Suzy-nya itu bukan nama aslinya, itu seperti nama panggung yang diberikan oleh agensinya. Hampir semua artis Korea pasti punya nama panggung. Aku bilang, "ya sama, Susi yang ini juga punya nama panggung." Mereka mencibir, "kamu cuma buruh di pabrik garmen, siapa yang mau jadi fansmu?"

Ok, cukup bercerita tentang Susi!

Suzy!!

Kembali pada nama seorang teman yang indah (sebab nama kami buruk semua, ndeso, kampungan, jadul). Kami punya seorang 'anak' disini yang namanya Clara. Masyaallah, aku pun terkejut, bagaimana bisa dia dinamai Clara? Padahal wajahnya Jawa tulen, dengan kulit sawo matang dan pipi yang tirus serta aksennya yang sangat medok ala Solo.

Tiga tahun lalu, ketika anak itu baru tiga hari menjadi karyawan training di pabrik ini dan belajar menjahit dengan Bu Lastri, Yanti sengaja menginjak kaki gadis muda itu di pedal mesin sehingga kain perca yang dijahit oleh Clara terjahit keseluruhan tanpa tersisa bolongannya. Padahal, meskipun itu cuma kain bekas untuk pelajaran menjahit bab 1, namun Clara membutuhkan jahitan yang rapi dengan bolongan sepanjang tiga belas koma dua centimeter sebagai bahan penilaian oleh Bu Lastri.

Clara menangis namun kami semua terkekeh dengan jahatnya. Kami semua tentunya bukan seluruh unit di pabrik itu, namun hanya segerombolan perawan tua yang bertindak sok kuasa dan anarki.

Aku bertanya pada Clara, "apa sakit?"

Dia hanya menunduk.

"Kakimu to? Yang sakit," tandas Yanti.

Lastri yang duduk di meja mandornya hanya mencibir, tidak peduli.

"Hatinya yang sakit," lanjut Muji. Dia tahu betul jawaban itu sebab sebelas tahun yang lalu, dia pernah mengalami hal yang sama di usia yang lebih muda ketimbang usia Clara hari ini.

Mujiyanti hampir menimpali, namun bel tanda istirahat dibunyikan. Beruntung sekali Clara, tidak mendapat ejekan dari Mujiyanti sebab mulutnya yang paling pedes seperti rica-rica mentok diatas wajan panas.

Seisi ruangan Sewing mulai keluar satu persatu, sekira tujuh puluh lima karyawati, mereka nampak hanya menggeleng-geleng saja, tidak peduli. Siapa yang mau peduli padamu, Clara?? Kasihan sekali. Mau melapor pada siapa pula? Bu mandor pun cuek-cuek saja.

Mana perwakilan buruh di tempat ini??? Wooooyyy....! Telah terjadi pelecehan terhadap buruh anak di tempat ini! Tolong, dong!!! Psssttt....! Clara ini usianya baru tujuh belas, dia masih bocah dan sudah harus bekerja! Dimana keadilan???? Mana suara aspirasi kaum margin yang mengatasnamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia??? Siapa dia yang bertanggung jawab atas mereka???

Ah, bangsat! Ternyata nama Susi yang tersemat sebagai ketua dalam struktur organisasi buruh di pabrik ini!

Susi yang sudah puluhan kali melihat lelucon brengsek tentang bagaimana kawanannya melakukan perbadutan kepada anak-anak baru, hanya selalu bisa tersenyum geli dan pasrah, seperti dilema namun tidak juga, sih sebab dia kan sama brengseknya.

Dulu, dulu sekali sebelum Clara yang malang diinjak kakinya sama Yanti, ada seorang "anak" pula yang memulai masa-masa training dengan wajah ketakutan seperti gembala yang melihat malaikat pada hari kelahiran Yesus.

Ya bagaimana dong, kawan??? Baru tiga hari dia disitu, bahkan masih bingung membedakan mana benang warna cokelat dan biru sebab nampaknya dia juga buta warna, dia sudah kabur. Aku bilang pada Lastri, seharusnya memang dia sudah ditolak, mana boleh anak buta warna masuk di unit ini bahkan di unit manapun di pabrik ini. Namun Lastri ngeyel, dia bilang kasih dulu kesempatan. Nah, malah yang ada, Lastri ini kasih kesempatan pada anggota gengnya untuk terus-menerus ngerjain cewek kecil yang entah aku lupa siapa namanya itu.

Sehari setelah gadis itu tak kembali, HRD memanggilku dengan nada halus namun mengejutkan "Susi, tolong ke kantor saya setelah makan siang." Kenapa mengejutkan? Sebab saya sedang makan siang, perasaan saya selalu kacau jika ada atasan yang tetiba mendekat meskipun mungkin nada bicaranya biasa saja, namun saya tetap tidak bisa menghabiskan makan siang. Jadi hanya setengah menit saja setelah Ibu HRD bicara padaku, aku langsung menutup kotak makanku.

"Kemana?" Tanya Lastri yang duduk di sampingku.

"Tanggung jawab atas perbuatanmu," kataku lantang, aku merasa seperti jadi pahlawan.

Lastri tersedak kuah sop buntut. Entah bagaimana muka anggota gangsterku yang duduk di sekeliling meja kantin itu, aku tak memperhatikan lagi sebab aku tadi sudah bilang, kan kalau aku pasti langsung panik jika berkaitan dengan "bisikan-bisikan" dari atasan. Sebenarnya aku sering mendengar bahwa seharusnya aku yang menguasai pabrik, bukan HRD, jadi aku tidak diperkenankan untuk panik, itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perburuhan di lingkungan pabrik. Namun, bunda, apa daya, saya ini kan hanya manusia biasa, yang saya takutkan bukan HRD nya, nyonya! Namun apa saya sudah sungguh-sungguh menjalankan fungsi saya sebagaimana mestinya?

Tahun itu adalah tahun kedua saya menjadi ketua dewan perburuhan disini dan saya masih muda sekali, jadi saya bertaruh untuk mempertahankan itu. Saya masih ingat betul, bagaimana wajah lugu gadis berjilbab yang diperbadutkan itu. Kejadiannya cuma sederhana, dia sudah benar menempatkan benang warna cokelat diatas mesinnya tetapi lima detik kemudian Lastri memanggilnya, gadis yang aku lupa siapa namanya itu, dia menuruti perintah Lastri dengan meninggalkan benangnya begitu saja. Dasar Lastri juga kurang kerjaan, dia sudah tahu sendiri kalau si gadis siapa yang aku lupa namanya, dia itu buta warna, dia sudah susah payah memisahkan warna cokelat dari biru dan hijau dengan bantuan insting dan bisik-bisik kawan-kawan seniornya, namun Lastri memanggilnya hanya untuk menggunting mal. Sampe detik ini, saya tidak tahu, Lastri ini sengaja memberikan kesempatan pada Mujiyanti untuk berulah atau karena dia memang beneran manggil si anak lugu yang aku tidak ingat lagi siapa namanya itu, sih?

Gadis itu bekerja menggunting mal dengan cepat, bahkan kutengok dari jauh, kerjaannya rapi. Ya, tentu saja. Dia cuma buta warna kawan, bukan bodoh. Dia cuma lemah mental dan ketakutan, bukan goblok. Dia sudah selesai, hendak kembali ke meja kerjanya. Namun mataku sekilas menangkap kalau Mujiyanti dan Siti sedikit berjingkat-jingkat dari meja kerja -mulai sekarang sebut saja dia si gadis lugu, mereka terlihat cekikikan seperti dua ekor monyet yang baru saja rebutan pisang.

Terus terang aku sebal, itu tidak lucu, tetapi jahat.

Jahatnya lagi, dua jam kemudian, Lastri mengomeli si gadis lugu karena jahitannya dipenuhi benang warna ungu. Nah kan, sudah mulai tidak lucu lagi.

Ini Lastri maksudnya apa? Kan dia sudah tahu kalau si gadis lugu buta warna, kalau dia mau komplain sama Ibu HRD sebab dikasih calon karyawati yang buta warna, ya tinggal protes aja dong! Kenapa malah menjadikannya badut di unit ini??? Dan Ibu HRD juga bodoh, kenapa dia menempatkan si gadis lugu di unit yang butuh orang-orang melek warna??? Jika dia ingin menjadi orang baik dan menyelamatkan kehidupan ekonomi orang lain, ya tempatkan kek dia di unit lain misalkan unit cutting, mereka tidak butuh warna, seekor kelelawar yang cuma kenal hitam dan putih pun bisa bekerja disana! Oh, sebentar....mereka tetap butuh orang yang tahu warna, sebab terkadang mandornya memerintah begini, "hei, tolong ambil warna merah di unit sebelah!" Atau, "potongkan yang biru saja!" Jadi dia juga tidak bisa di unit potong lah!

Baiklah Ibu HRD yang baik hati, coba tempatkan dia di unit kebersihan, kain pel tidak kenal warna untuk diusapkan ke lantai! Ini bukan diskriminasi secara apa-apa. Ini perusahaan, pabrik, kita punya kualifikasi secara personal terhadap orang-orang yang kita pekerjakan.

Dan seluruh pemikiran tadi berkecamuk di dalam jiwaku seketika saya melangkah menuju kantor ibu HRD di kala itu. Ya lagipula kenapa, sih hanya aku doang yang dipanggil? Tanyain dulu kek si Lastri gendut itu! Klarifikasi dulu sama dia yang punya unit, baru bertanya lah padaku! Supaya saya bisa tahu dari Ibu Lastri tentang apa yang mereka bicarakan, jadi kalau selanjutnya Ibu HRD memanggilku, saya kan sudah siap jawaban!

Di pabrik lain pun, nampaknya HRD dan ketua serikat pekerja itu tidak pernah duduk di satu meja. Lalu kenapa saat itu saya yang dipanggil? Ada konspirasi apa ini???

Susi ini siapa sebenarnya? Kawan bermainnya Lastri dan gangsternya? Aku bingung. Aku ini siapa? Aku sudah marah pada Lastri, kenapa sih harus begitu? Tapi sekarang, aku sendiri yang dipanggil oleh Ibu HRD.

Baiklah, anggaplah setiap orang hanya sedang melaksanakan tugasnya masing-masing.

Disitulah peran Susi dipermainkan. Susi hanya bermaksud, sebelum membadutkan manusia, sambil lihat-lihat juga dong reaksi mereka! Kalau kira-kira sudah mirip badut beneran, ya tolong berhenti! Atau langsung saja jelaskan kalau semua itu hanya permainan dan pura-pura belaka, kata teman-teman Susi yang berhasil masuk di perguruan tinggi, sebutannya perploncoan, sebuah tindakan "pembalasan" atas apa yang dilakukan oleh kating mereka dulu sebelumnya ketika mereka juga baru mulai masuk kuliah. Namun kami disini tidak untuk "balas dendam", ya...cuma apa? Cuma buat lucu-lucuan saja. Ya memang lucu kalau mengerjai anak baru. Supaya apa sih? Kalau mau tindakan ini dibenarkan, maka harus pakai alasan yang sedikit ilmiah dan nggak terdengar bodoh, dong! Jadi apa sebaiknya? Apa alasan yang tepat selain "badut", "lucu-lucuan"? Apa? Nah, baiklah, ternyata Susi yang brengsek itu yang kemudian merumuskan dengan lantang, "ya supaya mentalnya kuat!"

Lha bagaimana pula ini??? Saya sendiri juga malah pusing. Harusnya saya membela kaum buruh, tapi saya malah membela atasan saya di unit kerja kami.

Di ruangan HRD yang bersebelahan dengan ruang kerja manager operasional itu, suaraku menggema, bahkan di telingaku sendiri, aku bisa mendengar, "ya supaya mentalnya kuat!"

"Supaya mentalnya kuat!"

"SUPAYA MENTALNYA K-U-A-T!"

Mungkin saya punya lembaga riset sendiri yang mempelajari semua hal itu. Ada keterkaitan yang erat antara kegiatan perploncoan di lingkungan kerja dengan kekuatan mental calon karyawan. Nampaknya itu judul skripsi yang bagus. Saya sungguhan perlu mewujudkan penelitian itu disini. Saya serius! Begini begini saya juga pernah kuliah sampai semester tiga, terus kebanyakan keluyuran, uang semesteran dan UKT habis buat jajan, nongkrong & minum-minum, orangtua bercerai, Ibu tidak dapat harta gono-gini, jadilah saya dan Ibu melarat, makanya saya berhenti kuliah dan memutuskan untuk bekerja saja, mengabdi pada Ibu, hitung-hitung mau ganti rugi uang kuliah yang saya habiskan selama tiga semester. Yah, jadi intinya, saya ini pernah kuliah jurusan sosiologi di universitas swasta ya kawan-kawan. Udah sosiologi, swasta pula, untung sudah drop out, kalau tidak, keluar mau jadi apa? Jadi pithecantrophus? Kasihan Ibu saya, bisa tambah gila.

Baiklah, setelah saya mengatakan tentang sesuatu yang kuat kuat kepada Ibu HRD itu, satu detik setelahnya, saya yakin bahwa saya akan dipecat. Tetapi Ibu HRD hanya menggelengkan kepala sambil berkata. "jangan lakukan lagi, tolong! Kamu dan Lastri yang bertanggung jawab disana sekarang."

Saya hampir membantah, "kenapa jadi saya?"

Namun Ibu HRD nampaknya mengetahui isi pikiran saya dan wajah jahat saya yang merengut, mencari pembenaran diri, bandel dan melawan, dengan cepat dia berkata, "sudah diam! Jangan ngomong apa-apa lagi! 

Saya sempat membenci Lastri jadinya. Gaji aja gedean dia daripada saya. Saya cuma banyak makan dari acara-acara organisasi perburuhan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEBUR

     Ibu sungguh-sungguh terobsesi menjadikanku aktris atau apapun itu yang bisa ditampilkan di televisi. Aku diantarnya ikut audisi demi audisi: menari, bernyanyi, berakting dan apapun itu yang biasa ditampilkan di televisi.      Anak kecil tak pernah tahu tentang tujuan hidupnya, orangtua yang bertugas membimbing anak-anak untuk mencapai cita-cita .      Itu yang selalu Ibu katakan.      Tak pernah sekalipun aku melawan sebab memang cuma Ibu yang mengurusku sendirian.      Hanya saja kelak ketika aku lepas dari masa remaja dan menjadi dewasa, aku tahu kalau terkadang ia tak sedang sungguh-sungguh seperti apa yang ia katakan. ***      “Aku lelah, Bu,” ucapku, memalingkan muka.      “ Casting ini untuk pemeran pendukung perempuan.”      “Lantas?”      “Hei! Bulan lalu seluruh uang Ibu sudah habis untuk berbagai treatmentmu di klinik kecanti...

Rekomendasi Pantai Hidden Gem di Gunung Kidul, Cocok buat Kaum Introvert yang Pengen Foto Liburannya Bersih dari Foto Manusia Lain

    Hei, Anda yang (katanya) introvert atau emang bener introvert parah seperti aku dan bestieku ini, bukankah di dalam hati Anda yang paling dalam, Anda tetap ingin jalan-jalan lalu berpamer ria di sosial media? Hhhh! Ngaku aja, deh!      Sebenernya yang paling penting bagi kaum introvert (mendang mending) adalah bisa berkelana kemana aja tanpa perlu memikirkan "harus/bakal bertemu siapa?" Jadi orang introvert itu sama sekali bukan katak dalam tempurung?! Ya dong!  (Karena katak bukan orang! Oke, skip!)       Nah, sekarang sebelum Anda berpikir terlalu jauh tentang mau healing kemana, sama siapa, nanti akan bertemu siapa, maka hal pertama yang Anda perlukan adalah keyakinan bahwa dompet Anda ada isinya, terutama buat beli bensin.       Jadi kalau di dompetnya cuma ada sepuluh ribu, ya jangan berpikir untuk ke pantai atau gunung dulu, ya cuk! Jangankan buat ke pantai, buat beli bensin dan starter motor thok, bisa-bisa...

TIGA KERAMAT

Kepala Suku/Ilustrator : Smavel Deck Ada tiga macam upacara adat yang akan mereka lakukan selama tiga hari berturut-turut. Aku wajib untuk ikut satu dari antara tiga itu. Tiga merupakan angka yang sakral bagi masyarakat suku di lembah Cendana ini. Dalam tujuh hari, mereka hanya boleh 3 hari bekerja. Hari-hari lainnya dipakai untuk beristirahat dan mengolah makanan. Anak umur 3 tahun wajib disunat. Remaja lelaki 13 tahun wajib hidup mandiri di pondoknya sendiri. Remaja putri umur segitu, yang belum menstruasi, wajib bekerja mencari ikan di rawa-rawa selama 3 hari berturut-turut untuk keluarganya. Jika sudah menstruasi, maka wajib dikawinkan dengan lelaki usia 1 3 tahun atau lebih. Ngeri memang mendengarnya, namun memang itulah alasanku datang kemari. Aku ingin tahu betul, bagaimana cara mereka bertahan hidup di bawah aturan yang sangat ketat, terkait angka-angka sakral yang telah mereka tetapkan sejak berabad-abad lalu. Mereka pun sangat terisolasi, jauh dari peradaban, ha...