Beberapa kali nanar menjatuhkan dirinya di pipiku sambil aku berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja. Wanita itu menoleh ketika aku mulai tersedak sebab tak mampu menahan lagi sandiwara ketegaran ini. Dia berbicara perlahan di dekat daun kupingku, "sudah, nduk, jangan menangis!" Kalimatnya sederhana namun aku bisa seketika merasa tenang dan lega. Lalu ia lekas berbicara pada wanita setengah baya di hadapannya, "kalau tidak boleh bertemu, tidak apa-apa tapi anak saya ini hanya ingin melihat saja dari kejauhan."
Aku tak mampu mengangkat mukaku untuk menatap pada perempuan yang diajaknya bicara itu. Tertunduk saja kepalaku tanpa alasan. Yang kulihat hanya selopnya, berwarna merah cetar, kemudian ujung-ujung jemari kakinya terdiri dari kuku-kuku cantik berwarna kutek merah. Kaki itu mulus, tanpa noda sedikit pun, kemudian aku menarik napas panjang sebab merasa lega, ia pasti nyonya yang banyak duitnya. Aku sebenarnya tidak bermaksud demikian, bukannya aku ingin mengukur kelegaanku berdasarkan berapa banyak duit yang ia punya, namun sungguh, sungguh sangat manusiawi jika aku merasa cukup bersyukur apabila ternyata aku menitipkan harta bendaku pada seseorang yang salah. Bahkan sedari lima belas menit yang lalu aku berdiri disini, aku tak sanggup menatap pada pintu pagar rumahnya, apalagi menengadah kepada dinding betonnya atau terasnya yang terbuat dari marmer. Aku tak mampu melakukan apa-apa kecuali tertangis.
Kembali lagi pada percakapan wanita yang tengah bersama dengan wanita dari rumah gedongan itu. Aku yakin pasti, wanita kaya itu menatapku. Ia mungkin jijik sebab kakiku penuh lumpur. Atau karena kejijikan yang lain? (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar