Langsung ke konten utama

(Cerpen) LUMPUR Part 1

Beberapa kali nanar menjatuhkan dirinya di pipiku sambil aku berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja. Wanita itu menoleh ketika aku mulai tersedak sebab tak mampu menahan lagi sandiwara ketegaran ini. Dia berbicara perlahan di dekat daun kupingku, "sudah, nduk, jangan menangis!" Kalimatnya sederhana namun aku bisa seketika merasa tenang dan lega. Lalu ia lekas berbicara pada wanita setengah baya di hadapannya, "kalau tidak boleh bertemu, tidak apa-apa tapi anak saya ini hanya ingin melihat saja dari kejauhan." 

Aku tak mampu mengangkat mukaku untuk menatap pada perempuan yang diajaknya bicara itu. Tertunduk saja kepalaku tanpa alasan. Yang kulihat hanya selopnya, berwarna merah cetar, kemudian ujung-ujung jemari kakinya terdiri dari kuku-kuku cantik berwarna kutek merah. Kaki itu mulus, tanpa noda sedikit pun, kemudian aku menarik napas panjang sebab merasa lega, ia pasti nyonya yang banyak duitnya. Aku sebenarnya tidak bermaksud demikian, bukannya aku ingin mengukur kelegaanku berdasarkan berapa banyak duit yang ia punya, namun sungguh, sungguh sangat manusiawi jika aku merasa cukup bersyukur apabila ternyata aku menitipkan harta bendaku pada seseorang yang salah. Bahkan sedari lima belas menit yang lalu aku berdiri disini, aku tak sanggup menatap pada pintu pagar rumahnya, apalagi menengadah kepada dinding betonnya atau terasnya yang terbuat dari marmer. Aku tak mampu melakukan apa-apa kecuali tertangis. 

Kembali lagi pada percakapan wanita yang tengah bersama dengan wanita dari rumah gedongan itu. Aku yakin pasti, wanita kaya itu menatapku. Ia mungkin jijik sebab kakiku penuh lumpur. Atau karena kejijikan yang lain? (Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEBUR

     Ibu sungguh-sungguh terobsesi menjadikanku aktris atau apapun itu yang bisa ditampilkan di televisi. Aku diantarnya ikut audisi demi audisi: menari, bernyanyi, berakting dan apapun itu yang biasa ditampilkan di televisi.      Anak kecil tak pernah tahu tentang tujuan hidupnya, orangtua yang bertugas membimbing anak-anak untuk mencapai cita-cita .      Itu yang selalu Ibu katakan.      Tak pernah sekalipun aku melawan sebab memang cuma Ibu yang mengurusku sendirian.      Hanya saja kelak ketika aku lepas dari masa remaja dan menjadi dewasa, aku tahu kalau terkadang ia tak sedang sungguh-sungguh seperti apa yang ia katakan. ***      “Aku lelah, Bu,” ucapku, memalingkan muka.      “ Casting ini untuk pemeran pendukung perempuan.”      “Lantas?”      “Hei! Bulan lalu seluruh uang Ibu sudah habis untuk berbagai treatmentmu di klinik kecanti...

Rekomendasi Pantai Hidden Gem di Gunung Kidul, Cocok buat Kaum Introvert yang Pengen Foto Liburannya Bersih dari Foto Manusia Lain

    Hei, Anda yang (katanya) introvert atau emang bener introvert parah seperti aku dan bestieku ini, bukankah di dalam hati Anda yang paling dalam, Anda tetap ingin jalan-jalan lalu berpamer ria di sosial media? Hhhh! Ngaku aja, deh!      Sebenernya yang paling penting bagi kaum introvert (mendang mending) adalah bisa berkelana kemana aja tanpa perlu memikirkan "harus/bakal bertemu siapa?" Jadi orang introvert itu sama sekali bukan katak dalam tempurung?! Ya dong!  (Karena katak bukan orang! Oke, skip!)       Nah, sekarang sebelum Anda berpikir terlalu jauh tentang mau healing kemana, sama siapa, nanti akan bertemu siapa, maka hal pertama yang Anda perlukan adalah keyakinan bahwa dompet Anda ada isinya, terutama buat beli bensin.       Jadi kalau di dompetnya cuma ada sepuluh ribu, ya jangan berpikir untuk ke pantai atau gunung dulu, ya cuk! Jangankan buat ke pantai, buat beli bensin dan starter motor thok, bisa-bisa...

TIGA KERAMAT

Kepala Suku/Ilustrator : Smavel Deck Ada tiga macam upacara adat yang akan mereka lakukan selama tiga hari berturut-turut. Aku wajib untuk ikut satu dari antara tiga itu. Tiga merupakan angka yang sakral bagi masyarakat suku di lembah Cendana ini. Dalam tujuh hari, mereka hanya boleh 3 hari bekerja. Hari-hari lainnya dipakai untuk beristirahat dan mengolah makanan. Anak umur 3 tahun wajib disunat. Remaja lelaki 13 tahun wajib hidup mandiri di pondoknya sendiri. Remaja putri umur segitu, yang belum menstruasi, wajib bekerja mencari ikan di rawa-rawa selama 3 hari berturut-turut untuk keluarganya. Jika sudah menstruasi, maka wajib dikawinkan dengan lelaki usia 1 3 tahun atau lebih. Ngeri memang mendengarnya, namun memang itulah alasanku datang kemari. Aku ingin tahu betul, bagaimana cara mereka bertahan hidup di bawah aturan yang sangat ketat, terkait angka-angka sakral yang telah mereka tetapkan sejak berabad-abad lalu. Mereka pun sangat terisolasi, jauh dari peradaban, ha...